AI Bukan Fotografi…!



Hidup sedang susah-susahnya, termasuk juga cari model untuk portrait. Ehhhh… ada saja fenomena unik yang terjadi di dunia fotografi…

Dewasa ini aku agak kesulitan mencari sosok untuk portrait. Kalau di jalanan, sudah gak usah ditanya… populasi makin habis. Itu belum termasuk gangguan seperti spot berburu yang makin tergerus akibat banyaknya fotografer keliling dari Candi Borobudur yang hijrah ke Bandung haha. 

Kalau cari di Instagram ya harus spesifik di kawasan Bandung. Begitu nemu, scroll albumnya dan ada satu saja foto ngangkang di bola batu raksasa kawasan Braga, auto skip. Ada yang agak lumayan hasil fotografer idealis, harganya agak-agak berat untuk kondisi saat ini, mana harus kontak manajer segala. Kadang kepikiran cari di ekosistem wibu saja, sudah pasti murah kadang gratis (walau aku tetap akan bayar). Eh… mereka itu ya… di feed saja pakai masker, foto sebiji, dan mau dikirim pesan saja tidak bisa, padahal di bio tertulis “DM untuk job”. 

Di tengah proses pencarian yang bikin malas, lewatlah foto “portrait” yang luar biasa bagus. Aku klik orangnya, semua fotonya berkelas sekali, berteknik tinggi! pas baca captionnya, AI ternyata. Maka tak heran sebagian besar komentar, isinya kecaman. Mungkin kalau tidak pakai tagar #photography sih tidak masalah, ini malahan sekalian #streetphotography . Apanya yang street…

Lalu aku tersadar, beberapa tahun lalu kita masih takjub sekaligus asing dengan hal yang demikian. Namun dewasa ini, sepertinya makin terbiasa. Dan sewaktu Photoshop mulai memperkanalkan command khusus untuk memerintahkan AI berpikir… di situlah kegusaranku muncul.

AI pada photoshop bisa disuruh menghaluskan kulit, meratakan cahaya, membuang objek dll. Yang mana bukan hal baru karena dari dulu pun olah digital itu sudah ada. Maka dengan adanya command itu, kiranya mempermudah pekerjaan, menghemat waktu dan ujung-ujungnya meningkatkan kualitas hidup. Aku tidak ada masalah dengan itu.

Namun kalau AI disuruh bikin “foto” dari nol sama sekali, itu lain cerita…

Beberapa bulan belakangan, aku melihat reels proses olah foto jalanan, bisa ditonton di sini . Intinya dia bikin garis-garis siluet jadi semakin tajam dan menggigit. Yang mana sebetulnya bisa saja didapatkan secara alami, namun ada saja fotografer yang berbeda prinsip. Kendati saya berpegang teguh untuk tidak mengubah apa pun kecuali warna, tapi orang lain ‘kan belum tentu. Kolom komentar reels itu dibanjiri pada “street tog murni” yang menyayangkan bahkan mengecam.

Gimana ya… saat kita makan di restoran, normalnya jika kita menambahkan garam berarti rasa masakannya kurang asin. Tapi kalau sampai bawa ayam dan sayuran sendiri untuk dicemplungkan pada masakan restoran, kokinya pasti marah dan kita mungkin diusir. Begitu juga foto, saya selalu berpikir bahwa foto itu harus sudah 90% jadi ketika selesai diambil. Editan tidak boleh mengubah rasa, apalagi secara frontal.

bisakah aku tambahkan siluet-siluet bohongan supaya lebih dramatis? bisa saja, tapi untuk apa…

Kendati itu hak dia, dan cerminan dari sikapnya dalam hal ini foto jalanan. Namun street fotografi itu tentang spontanitas dan realita. Bahkan banyak street tog handal yang sama sekali tidak mengedit fotonya, apalagi terlampau brutal. Kalau sampai sebegitunya, antara tidak jujur pada diri sendiri, atau memang tidak jago… karena toh tanpa diedit berlebihan pun bisa kok adegan seperti itu didapatkan. 

Tapi kalau bahas street fotografi dan kejujuran, bisa panjang lagi lah. Selama tidak diikutkan untuk lomba, mungkin juga tak ada yang akan usil mengkritisi.

Nah kembali lagi ke portrait super sempurna itu. Saya bisa menduga dengan mudah bahwa dia adalah ilustrator yang hebat, tapi fotografer yang buruk. Kalau bisa, tidak usah ngaku-ngaku fotografer, karena tidak ada fotografinya. Bukan hanya soal gear yakni kamera vs komputer, tapi juga soal mental. Fotografer betulan sudah pasti ingin foto yang bagus hasil menjepret, bukan tempel sana-sini.

Saya tidak anti tekologi, dan bahkan saya ini termasuk anak hi-tech lah… namun khusus hal ini, saya berpegang pada pakem yang kolot. Foto ya harus jepretan, bukan diciptakan oleh artificial intelligence.  

saya yakin dia tidak beriat menipu pemirsa kendati memang banyak yang tertipu karena tidak baca caption yang ternyata menipu sih karena tagarnya fotografi semua…

Perhatikan foto itu. Apakah harus menggunakan AI untuk menghasilkan foto semacam itu? tidak! simpan saja model di depan tembok, kasih cahaya, selesai. Berapa persen dari foto itu yang diambil dari objek nyata? saya rasa hanya temboknya, atau bahkan tidak ada sama sekali. Ini tidak sama dengan menyuruh AI meratakan tekstur kulit agar terlihat mulus berdasarkan subjek nyata. Ini sosok aslinya tidak ada sama sekali. Maka jelas orang itu tidak punya motivasi memotret sama sekali, karena kalau dia punya kamera, model, dan kemauan… ngapain dia membuat sosok fiksi dari olahan grafik komputer?

“Tapi… tapi ‘kan bikin sosok fiksi dari dulu juga ada, dalam anime atau game.”

Ya, tapi tidak ada yang ngaku-ngaku sebagai karya fotografi. Dengan melihat hasil AI yang semakin realistis, namun tidak berbanding lurus dengan kejujuran dalam berkarya, maka jangan heran jika di masa depan akan ada polemik di berbagai lomba foto, mana yang AI mana yang asli.

Itu adalah foto karya Alan Schaller, sesepuh Leica dan fotografer beneran. Kurang lebih isi fotonya mirip dengan foto AI pertama ‘kan? bedanya, dia beneran menjepret. Foto ini memiliki tingkat kesulitan, lantaran subjek harus steady minimal sedetik supaya ada motion blur dari movement orang-orang di sekitarnya. Ini susah, karena banyaknya orang hilir mudik yang gerakannya tak terduga. Itu belum kalau kita menyinggung, dia pakai kamera analog yang sudah pasti tidak ada IBIS dan OIS. Tapi apakah fotonya berhasil? tentu saja! Kalau ada keinginan dan kemampuan, bisa kok.

Itulah mindset seorang fotografer sejati. Jika dia punya sebuah gagasan untuk diwujudkan, maka dia akan ambil kamera lalu membuat foto yang dia inginkan. Dan foto itu termasuk sulit untuk dibuat. Apa kabar mereka yang bikin “fotografi AI” dengan isi cuma cewek berdiri doang? apakah sudah tidak bisa ya memotret foto yang mudah-mudah saja?

Kenapa meributkan istilah? ya tentu saja! fotografi itu kegiatan yang dilakukan fotografer. Mengabadikan dalam bentuk foto dari momen yang terjadi di dunia nyata. Jika tidak pernah terjadi, apa bisa disebut sebagai foto?

Walau mungkin bakal mengancam profesi fotografer dan model, tapi saya tidak dulu bahas itu lah, kendati kecenderungannya mengarah ke sana. Akan ada yang punya gagasan bahwa kalau bisa mudah dan murah, ngapain mahal. Kalau bisa dibuat sendiri pakai AI, ngapai sewa jasa fotografer dan model. Kalau umroh cuma demi bikin foto untuk dibingkai, ngapain jauh-jauh ke tanah suci, selfie saja depan green screen.

Apakah masih akan ada orang-orang yang idealis nan tradisional? banyak! dan saya harap akan terus banyak! saya tidak anti dengan perkembangan teknologi, namun tidak semua hal harus diserahkan pada teknologi.

Aku meyakini portrait itu adalah cerminan dan gagasan sosok sang fotografer yang kemudian diperagakan oleh sang model. Itulah mengapa aku tidak suka pakai lensa yang terlalu dekat, karena bokeh semua, peran saya sebagai pengatur komposisi dll agak berkurang jadinya. Kehilangan background saja saya marah, apalagi kehilangan peran sama sekali dalam memotret.

aku selalu menjepret berkali-kali demi dapat ekspresi yang sesuai bayanganku.
ini disebut portrait karena aku harus berusaha menyampaikan ide dan gagasanku dengan harapan sang model bisa menerjemahkannya melalui ekspresi. btw, menghilangkan jerawat saja saya ogah, apalagi manipulasi besar-besaran.

Ada banyak hal yang membuat portrait itu indah. Dan sebagian besar, terjadi saat proses menjepret. Maka jika tidak pernah ada proses menjepret, jangan sebut itu sebagai portrait.

Tapi dengan pesatnya teknologi dan bisnis, jangan heran sih kalau hal-hal absurd terjadi dan mulai dinormalkan. Ambil contoh, aku tidak pernah setuju main game Mobile Legend atau Dota disebut sebagai E-Sport. Apa yang “sport” dari itu? semisal gamenya F1 lalu balap dalam simulator berbentuk mobil, itu okelah. Tapi game tembak-tembakan? 

Kenyataannya, malahan main game sudah masuk cabang di Olimpiade. Dan itu menjadi normal. Jadi bisa saja di masa depan, foto hasil AI dalah sesuatu yang normal, baik untuk komersil atau apapun. Namun jika berbicara soal rasa dan kesenian, tidak, tidak akan pernah. Aku menghargai profesi ilustrator dan banyak bersahabat dengan ahli AI, dan tidak ada satu pun dari mereka yang menyebut itu “fotografi”.

Dulu aku sering berpikir. Aku ini jago menggambar, sering menang lomba menggambar atau bikin manga. Tapi kenapa aku tidak bisa main gitar? padahal sama-sama pakai jari. Sedangkan temanku yang handal main gitar, sama sekali tidak bisa menggambar. Jawabannya adalah… karena walau sama-sama pakai tangan dan jemari, itu adalah dua hal yang berbeda. Dan aku percaya, orang yang betulan jago memotret, tidak akan pernah membuat foto 100% nyuruh AI. Karena mereka punya kemampuan dan kemauan untuk melukis lewat kamera dan cahaya, bukan melalui rekayasa digital.

Kesimpulan saya adalah… silakan saja bikin pakai AI, itu hak kalian, dan kelihatannya menyenangkan. Tapi jangan pernah sebut itu sebagai karya fotografi.

X
Facebook
WhatsApp
Email
Pinterest
Telegram