“Kak mau tanya, Kakaknya asli Bandung…?”

Entah harus viral berapa kali lagi serta nambah korban dulu, sampai pihak terkait turun tangan untuk memberangus hyena-hyena itu dari jalanan kota Bandung. Apa harus hukum rimba yang bertindak?!

Yang saya bicarakan adalah gerombolan pemuda kurang kerjaan yang tersebar di tempat-tempat strategis kota Bandung, yang kegiatannya mencegat orang yang lagi jalan, kemudian memanggil “kakak kakak” sampai si korban menoleh lalu berhenti. Lantas dengan rentetan kalimat yang seperti sudah diprogram untuk selalu sama, mereka berkelakar tanpa ada jeda konon lagi ada “kegiatan pemuda” bahkan “tugas kewirausahaan mahasiswa” yang intinya menjual kopi botolan hingga voucher seharga 150 ribu yang bakal disumbangkan bla bla bla.

Lihat reels ini. Lihat juga komen siapa yang paling banyak disukai.

Kalau kalian pernah ke Bandung, pasti familiar dengan yang macam itu. Orang-orangnya selalu berganti (entah menyerah atau tobat), tapi semangatnya tak pernah mati. Yang menyerah dan gugur akan diganti oleh kader-kader baru. Gilanya, ternyata di Jakarta juga ada, dan bangsat sekali mereka ngaku-ngaku dari Bandung. Ini sangat mempermalukan nama Bandung. Jauh lebih nyata dari premanisme di sinetron Preman Pensiun, karena jauh lebih besar kemungkinan kita ketemu yang beginian di jalanan daripada copet atau tukang todong.

Satu pertanyaan aja kakak…” – setelah satu pertanyaan, kamu cut pembicaraan, pergi.

Cuma semenit kok kak…” – setelah satu menit, kamu cut pembicaraan, pergi.

Kita gak jahat kok kak…” – kamu pelototi dia lalu sentak, “kamu gak jahat, saya yang jahat!”

Tidak mesti diadakan penelitian khusus untuk tahu bahwa segala yang mereka lakukan itu bohong dan omong kosong. Tidak ada mata kuliah kewirausahaan di kampus mana pun yang menyasar anak SMA yang lagi selfie di Braga, untuk ditodong 150 ribu kemudian dikasih voucher yang tidak berlaku. Bahkan harus saya katakan, pelakunya bodoh dan naif… apa dia kira, bertahun-tahun mereka melancarkan aksi, tidak ada yang sadar dengan kebohongan mereka? sayang sekali, jawabannya iya, memang ada saja yang masih tertipu atau memang tidak bisa “melepaskan diri” dari cengkeraman mereka setelah nyahut dipanggil.

Itu jualan kopi / keripik 50 ribu ngaku tugas kewirausahaan kampus… astaga. Gak beres-beres bertahun-tahun, padahal dengan melihat betapa mengguritanya bisnis mereka padahal cuma tugas kampus, harusnya mereka sudah diangkat jadi dekan. 150 ribu untuk sumbangan? hm… mending kalian cari lembaga zakat deh kalau memang niat menyumbang. Saya tahu benar, uang kalian itu berakhir di kantong siapa.

Ambil contoh di sekitaran Braga, lokasi yang saya familiar betul, sudah memotret bertahun-tahun di sana. Saya bisa menyimpulkan, setiap sebulan maksimal dua bulan, para pelakunya ganti jadi baru lagi. Tapi sekali lagi, semangatnya tidak pernah mati. Saya harus mengapresiasi Satpol PP kota Bandung yang akhirnya sadar bahwa daripada semua anggota berkumpul di Asia – Afrika, alangkah baiknya dikasih beberapa orang untuk menjaga ketertiban Braga, yang dalam hemat saya jauh lebih banyak dikunjungi turis luar kota. Ini pun setelah berkali-kali viral pengamen maksa dan cenderung anarkis.

Namun menangkapi hyena-hyena “kakak asli Bandung” jauh lebih rumit. Karena kalau pengamen, mudah sekali dikenali karena pasti bawa gitar atau biola. Sedangkan orang-orang itu terlihat seperti pemuda biasa, hanya saja durasi hangout di Braganya yang luar biasa, bisa dari pagi sampai malam. Itu pun masih dengan catatan bahwa Satpol PP memang ada niat untuk memberantas praktik-praktik menjijikan itu. Karena seperti pada kalimat pembuka tulisan ini, entah harus viral berapa kali lagi serta nambah korban dulu, sampai pihak terkait turun tangan untuk memberangus hyena-hyena itu dari jalanan kota Bandung. Apa harus hukum rimba yang bertindak?!

Bisa dibilang saya ini sudah jadi penduduk Braga. Sudah tidak akan ada yang berani ngamen atau nodong-nodong saya. Tapi orang lain ‘kan tidak. Terutama anak-anak sekolah yang lagi main di Braga, dengan uang jajan yang tersisa, kemudian dicegat oleh mereka tanpa bisa melawan. Alih-alih untuk jajan, uang mereka raib “disumbangkan”. Saya agak frontal sih, kalau lagi hunting street lantas mendapati gadis-gadis remaja (apalagi cantik), sedang dicengkeram oleh hyena-hyena itu, suka langsung saya selamatkan. Orang dewasa juga begitu, sekiranya si hyena sudah keluar kalimat “boleh kota ngobrolnya agak ke pinggir, takutnya kesenggol mantan.” itu artinya sudah masuk ke perangkap. Saya akan membuat kontak mata dengan calon korban, memberi isyarat untuk “cut”, pergi, jangan, bubar.

Saya punya banyak informan di sini. Makanya saya tahu, ini adalah sindikat. Jadi di Braga, ada satu orang yang bertindak sebagai bosnya. Kerjaan dia nongkrong di Braga Citiwalk, mengawasi anak buahnya bekerja. Dia membawahi 30 orang, dan setiap orang ditargetkan menjual 50 voucher per hari. Bayangkan, berapa besar omset dia untuk ratusan orang yang tertipu tiap harinya. Apakah ada dampaknya untuk kota Bandung? Ada! alih-alih bikin kota ini jadi keren, malahan image buruk yang terus berkembang. Lama-lama orang akan pikir seribu kali untuk berwisata ke Bandung.

Kelihatannya saya tahu betul ya struktur organisasi dan cara kerjanya? iya, saya bisa saja berlagak preman di Braga lalu mengumpulkan anggota untuk menjalankan bisnis seperti itu. Tinggal beli botol dan toples kosong untuk jualan kopi dan keripik, juga tinggal ke percetakan bikin buku kecil berisi voucher fiktif agar sumbangannya terlihat nyata. Apakah saya akan melakukan itu? tidak, tidak akan pernah! Tiap hari saya memotret khusus yang indah-indah saja, demi mempromosikan kota Bandung di mata dunia. Makanya saya akan marah sekali jika image kota tercinta ini dirusak oleh oknum-oknum tertentu yang hanya memikirkan kantong sendiri.

Itu baru di Braga saja, belum di lokasi lain. Contohnya di BIP, karena secara tata letak jalannya tidak monoton seperti di Braga, mereka dengan kurang ajarnya bertengger di tengah jembatan penyeberangan juga di akses menuju jembatan. Selain bikin macet, calon korban pun tidak bisa kabur.

Kalau kalian sudah tahu segala praktik mereka, baguslah. Tinggal melengos abaikan. Kalau mau ajak debat atau tantang berkelahi pun saya tidak melarang. Tapi target mereka, ya yang tidak tahu. Yang tidak akan melawan, yang gak enakan untuk menolak.

Saya punya sahabat di Braga, seorang kakek yang jualan buku tuntunan sholat dan mengaji. Buku mungil itu harganya sepuluh ribu saja, bisa menyelamatkanmu di kehidupan berikutnya. Saya selalu bercanda sama si kakek, dia suka nawarin ke ibu-ibu yang potongannya bu haji banget. “Pak, dia ‘kan pasti udah bisa sholat, gak butuh lagi…” ujarku. “He he he, saya ingin jualan sekaligus cari amal jariyah… mana tahu nanti dikasihkan ke orang yang baru mau belajar agama. Saya juga dapat pahala…” jawabnya.

Ironisnya, kakek itu malah kerap berurusan dengan Satpol PP. Sedangkan puluhan hyena yang mematok 150 ribu untuk sumbangan paksa, bebas-bebas saja melenggang.

Untuk kalian yang sering jalan-jalan di Bandung, saya harap menambah kewaspadaan. Apalagi kalian para wanita, kalau jalan sendirian terus gak bisa lepas dari yang begitu, panggil saja orang lain atau street fotografer yang ada di sekeliling, nanti kami selamatkan. 150 ribu itu banyak… dibelikan es krim bisa untuk sekeluarga.

Dan untuk pihak berwajib… solusi saya, pakai “polisi berpakaian preman” biar tahu kenyataannya di lapangan seperti apa. Kalau pakai seragam, mereka akan pura-pura jadi orang biasa. Dari sini saja bisa kelihatan, kalau memang kegiatannya resmi dan betulan, ngapain takut. Karena anggotanya selalu berganti, maka yang harus ditangkap ya bos-bosnya. Saya siap bekerja sama tanpa dibayar, demi terciptanya ketentraman di kota Bandung, yang walau agak-agak berantakan sana-sini, tapi bukan berarti harus kita biarkan… melainkan, mari benahi sedikit demi sedikit. 

X
Facebook
WhatsApp
Email
Pinterest
Telegram