Digicam yang Agak Mendingan

Karena semakin hits dan digoreng, aku kasih referensi nih. Dengan uang yang sama, kalian bisa dapat digicam yang jauh lebih bagus dan menang banyak.

Ini adalah Leica Dlux 6. Oke.. oke.. kata “Leica” dan “menang banyak” sangat rancu untuk digabungkan dalam satu kalimat, dan memang benar. Itulah mengapa aku tidak tulis “Leica” pada judulnya, karena beli kamera ini pun sejak awal sudah boncos alias mengeluarkan dana lebih untuk sesuatu yang sebenarnya lebih terjangkau. Dlux 6 adalah saudara kembar dari Lumix LX7. Keduanya adalah kamera yang sama persis 95%, yang membedakan hanya desain menu, logo merah, dan format RAW. Sisanya sama…

Ya seharusnya aku pakai LX7 sih, tapi apa daya adanya ‘kan ini. Maka anggap saja yang sedang dibahas ini adalah LX7. Jika selanjutnya saya menyebut kamera ini sebagai LX7, harap maklum. Oh iya, ini pun bukan punya saya, melainkan punya sahabat saya Pak Yogi, dititip di saya untuk dipakai dan kalau perlu dijual.

Seperti itu bentuknya. Sebetulnya kalau yang versi Lumix, malah lebih bagus karena ada grip karet di depannya. Yang Leica lurus-lurus saja, dan tren itu berlangsung sampai sekarang di era LX100 II – Dlux 7.

Baiklah… aku sudah beberapa kali membahas digicam (bukan sekadar membahas, tapi aku memang beli dan pakai). Semuanya sama, gitu-gitu aja, memang benar kecil dan praktis tapi kalau ingin mencari tone vintage, sebetulnya hanya ilusi semata, tetap saja bakal diedit lagi. Namun demikian, kadang seru juga karena ya hasilnya memang burem, dan masuk banget ketika pakai preset-preset analog. Tetap saja kadang aku mendambakan, seandainya saja ada mode M (karena sepintar-pintarnya mode auto, tetap saja bodoh) dan bisa RAW.

(semua foto dalam artikel ini, mencerminkan 80% hasil asli kameranya.
saya hanya edit color balance agar terlihat vintage. tuh ‘kan.)

Jenis kamera seperti LX7 ini posisinya di antara digicam kekinian kayak Canon A3200 dan sebagainya dan Canon G7X II yang sensornya 1″ serta full manual mode. Jadi dari segi pengoperasian dia sudah seperti kamera mirrorless, tapi sensornya tetap lebih kecil. Boleh dibilang, jenis-jenis LX7 ini adalah cikal bakal dari LX10, G7X II, RX100 dll yang sensornya CMOS 1″.

Sensor LX7 / Dlux 6 adalah MOS. Tapi hasilnya lebih vintage daripada CCD Canon Powershot. Inilah mengapa CCD / CMOS tidak bisa jadi patokan vintage atau tidak. Lagian semua itu hanya ilusi, tinggal pakai Photoshop aja. Seandainya tidak baca spek di DPreview mungkin saya akan menyangka LX7 ini sensornya CCD, dan sebaliknya bakal salah duga bahwa Canon A3200 pakai CMOS.

Jadi pada jaman dahulu kala, kamera-kamera beginilah yang segmennya agak lebih enthusiast dibanding pocket point and shoot. Makanya dari segi kontrol, menu serta fisik ya ini lebih dekat ke kamera 1″ daripada point and shoot. Dan di jaman sekarang saat digicam hits kembali, buatku ini adalah sweet spot, karena masih bisa dapat hasil foto yang lawas tapi di saat bersamaan tidak mesti serba auto alias bisa lebih eksplorasi cara potret.

Yang khas dari seri LX adalah switch aspek rasio pada lensa, dan itu bukan crop hasil foto melainkan memang langsung potong dari sensor. Saya tidak terlalu peduli sebenarnya karena motret RAW jadi pasti 4:3 haha. Lensanya bisa zoom dengan bukaan terbesar F/1.4.

Kamera ini agak berat lho. Memang Lumix seri LX lawas itu Made in Japan semua, benar-benar solid. Unit yang saya pegang sudah banyak lecet-lecet, tapi tidak ada dent atau retak di body. Lensanya juga penuh debu dan ada jamur, tapi tidak mempengaruhi hasil sejauh ini. Jangan khawatir sama debu di lensa… nah kalau di sensor, barulah bakal kerasa bintik-bintik.

Di luar dugaan AF kamera ini cepat sekali. Walau aku agak kesusahan bikin komposisi karena layarnya vignet parah plus juga dia tidak mencerminkan aslinya, tapi aku tidak khawatir karena setiap aku buka filenya di laptop, wah hasilnya enak sekali. Warnanya teduh, noisenya alami, tajam cukup. Hanya saja jangan berharap bisa angkat shadow banyak-banyak dari RAWnya.

Serius, ini jauh lebih bagus daripada digicam point and shoot apa pun. Apalagi bisa RAW, makin fleksibel saja mengolah warna serta eksposur.

Jadi begini… sebagai gambaran, beberapa bulan lalu aku beli Canon A3200 yang bener-bener point and shoot, harganya 1.7 juta. Mana hasilnya terlalu bening pula si Canon… nyesel saya beli. Lalu harga segitu kurang lebih sama dengan LX7 yang jauh lebih mumpuni dan bisa diandalkan. Sensor LX7 tuh 1/1.7” jadi lebih besar daripada sensor point and shoot kebanyakan, walau ya jangan dikira bisa gelap-gelapan karena tetap saja kecil. Tapi dengan full manual kontrol, artinya kita bisa ngeflash dengan riang gembira.

Ini bisa jadi solusi karena digicam 1″ semakin langka. Cari saja G7X II, dijamin tidak ada. Atau LX10, sama saja. Sedangkan digicam point and shoot pun yang kondisinya bagus, sudah menyentuh dua jutaan. Ya mending beli kamera semacam LX7. Setidaknya sampai para makelar paham bahwa kamera jenis ini agak lebih bagus, dan nantinya jadi kena goreng juga.

Ada beberapa kamera yang jenisnya begini, yaitu Lumix LX3, LX5, Olympus XZ1, XZ2, Canon S95, S100 dll dsb. Pokoknya tetap deh, walau tidak bisa jadi patokan, tapi kita cari yang sensornya CCD low megapixel dan bisa RAW dan full manual deh… (ya walau si LX7 ini MOS, sisanya CCD semua) . Harganya tidak akan melebihi dua jutaan sih. Ini sebenarnya LX7 itu di bawah dua juta, tapi kalau sudah rebrand jadi Dlux 6 ya dua kali lipat lebih mahal.

Tapi karena ini titipan dan saya disuruh jual di harga bebas, ya saya pasang saya di Tokopedia dengan harga murah haha.

Poin plus lainnya adalah baterai lebih mudah dicari, charger juga.  Memang agak sedikit lebih berat daripada bawa digicam point and shoot biasa, tapi hasilnya sangat sebanding. Juga alternatif murah daripada kamera 1″ sekaligus alternatif lebih canggih daripada digicam biasa kalau memang ingin menikmati nuansa foto yang seolah vintage.

Targetku berikutnya sih cobain Canon S95 yang legendaris itu, dan juga mungkin point and shoot Lumix seri TZ. Sensornya kecil juga ‘kan, tapi jauh lebih modern, penasaran juga sih…

X
Facebook
WhatsApp
Email
Pinterest
Telegram