Mungkin aku sudah gonta-ganti kamera hampir seratus kali, tapi baru kali ini pegang yang mereknya… Sony. Haha.
Jujur saja, karena memang tidak pernah tertarik. Baik sejak awal-awal era mirrorless, ketika Sony masih bikin kamera NEX yang tipis-tipis itu, hingga jaman full frame mirrorless A7 series. Selama masih ada merek lain, aku bakal beli merek lain. Bahkan pun di era sekarang semisal aku diharuskan pakai mirrorless full frame, yang mana sudah terseda A7 series yang sangat mapan dan lensanya banyak, tetap tidak akan kubeli… mungkin aku bakal beli Lumix S atau Nikon Z saja.
Tapi itu hanya berandai-andai, karena tidak pernah ada situasi aku membutuhkan kamera dengan sensor full frame. Sekali lagi, tidak ada.
Kendati demikian, sejak dulu ada satu kamera Sony yang selalu membuatku penasaran. Karena secara khusus aku menyukai jenis premium compact, dan hampir semua pernah kucoba kecuali ini. Tapi karena mahal, dan… Sony, ya aku tidak mau beli. Kamera itu adalah Sony RX1. Sekarang kameranya ada di tanganku, tentu saja tidak beli. Ini kepunyaan sahabat saya Mas Nanung, entah ada angin apa tiga bulan lalu beliau beli kamera ini dan hebatnya dapat dalam kondisi segel BNIB. Mahal bukan main, tapi ya terserah dia haha. Lantaran dia sudah beli lagi kamera lain, maka RX1 dikirimkan ke saya untuk dipakai sepuasnya kalau perlu dijual. Ah… terima kasih Mas Nanung, akhirnya saya bisa cobain dengan puas.

Baiklah sedikit sejarah singkat, RX1 diluncurkan September 2012. Disusul beberapa bulan kemudian lahir RX1r. Hilang beberapa tahun, nantinya ada penerusnya yakni RX1r II.
RX1 dan RX1r adalah kamera yang sama persis, kecuali yang “R” sensornya tidak pakai anti aliasing filter, alias lebih tajam. Itu saja. Tidak salah sih kalau menduga R itu artinya “resolution” karena memang begitulah pada A7 dan A7R. Namun di RX1, tidak kok, keduanya sama-sama 24mp. Barulah pada 2015 ada RX1r II yang 42mp, mirip seperti A7R II. Akan tetapi tidak ada yang namanya RX1 II, cuma ada yang RX1R II. Penamaaan yang membingungkan, dan hebatnya walau anti Sony tapi saya bisa paham betul ya haha.
Wah dulu harganya mahal sekali. Sekarang juga masih sebetulnya… Mas Nanung beli ini hampir 16 juta. Dan karena kameranya sudah lama sekali di gudang, tidak heran baterai CMOSnya soak… tentu langsung dia klaim, dan mesti bisa, karena embel-embelnya tetap garansi resmi Sony Indonesia satu tahun.
Oh iya, kamera ini pakai sensor 24mp full frame tapi bukan ngambil dari A7, karena RX1 lahir duluan. Mungkin saja A7 yang ngambil dari RX1. Tapi kata beberapa reviewer, ini sensor yang mirip dengan yang ada di DSLR Sony A99. Kalian yang FOMO dan baru beli Sony ketika era A7 III sudah pasti gak tahu, tapi ya tak apa.
Baiklah, karena kameranya sudah ada di sini, dan saya bisa mencoba luar dalam, kurang lebih akan saya review dari sudut pandang seorang street fotografer. Haha.

Desain, Handling, Kontrol.
Jujur sih, desainnya keren banget. Sebagai perbandingan, saya foto berjejer dengan Nikon Coolpix A yang biasa saya pakai sehari-hari. Secara umum ya kotak doang, tapi yang bikin gagah tuh lensanya. Tidak seperti Ricoh GR atau Coolpix A yang lensanya keluar masuk, RX1 lensanya tidak bisa diapa-apakan lagi, ya begitu saja. Memang terlihat gak seimbang dan berat ke depan, tapi entah mengapa keren aja gitu.
Saya pernah punya Leica Q, dan bentuknya mirip-mirip termasuk ukuran lensanya. Hanya saja bodi RX1 jauh lebih kecil, cuma segede kamera NEX jaman dulu. Ditambah grip yang nyaris tidak ada, kamera ini sangat menyiksa untuk dipegang terus menerus (jika kamu pakai wrist strap seperti saya). Dan kamera ini berat sekali… semuanya logam, made in Japan.
Desain lensanya aku suka sekali. Banyak ukiran angka, dan juga lengkap. Ring F ada, manual fokus tentu juga ada bahkan ada satu ring lagi untuk mengatur apakah mau mode makro atau 0.3 meter – tak terhingga. Ya ini berfungsi, itu yang utama. Walau bisa saja cukup pakai tombol, tapi Sony bikin desain yang keren sekali. Ooh iya, lens capnya premium sekali, tapi licin dan saya yakin bakal mudah dent / lecet-lecet. Kalau hilang pasti mahal banget, makanya langsung aku ganti pakai lens cap sepuluh ribuan.
Namun ada juga hal yang tidak keren yakni switch AF – MF di depan. Selain daripada DMF itu entah apaan, ini penempatannya sangat-sangat salah dan juga tombolnya keras sekali. Jangan berpikir bisa dengan enteng dicetrek pakai tangan kiri, ini sangat keras dan tempat untuk jari nyangkut hanya secuil. Salah-salah bisa lecet kena kuku. Semestinya switch itu di samping saja seperti Fuji X100 atau Coolpix, selain lebih mudah diraih, bikin desain depan jadi lebih bersih.
Dan sialnya, aku pasti sering pakai itu cetrekan, soalnya…
AF / MF
AF pada kamera ini sangat lambat. Jangan kamu berpikir karena ini Sony sudah pasti ngebut. Bagaimana pun ini kamera tahun 2012, ya walau saya rasa mirrorless Lumix di tahun yang sama jauh lebih cepat.
Pada kondisi cahaya cukup, ya masih bisa dibilang oke. Sebatas oke saja. Jika dia sudah membidik, pasti bakal fokus kok karena akurat, tapi sayangnya tidak cepat. Saat hari mulai gelap, jangan ditanya lagi lah… jangankan pas malam, siang pun saya tetap pakai zone fokus.

pakai Coolpix A haha. cewek pula…
Tadinya saya kira MF pada Coolpix A tuh sudah paling menjengkelkan, karena jarak yang sudah diatur selalu reset ketika kamera dimatikan walau sejenak. Ternyata ini RX1 lebih parah lagi… selain selalu reset, meteran jarak pada layarnya hanya muncul jika kita putar ring fokus. Ini gila karena bisa saja kita menganggap jaraknya masih satu meter misalnya, eh ternyata sudah reset jadi infiniti. Pada Coolpix setidaknya meteran jarak akan selalu ada, selama kita di mode MF. Saya sudah mencari solusi untuk hal ini termasuk cari firmware update. Sayang sekali, hal itu tidak pernah dibuat oleh Sony haha…

Namun ya setidaknya AF pada RX1 masih berfungsi, tidak seperti Coolpix yang mustahil untuk fokus apapun kondisi cahaya serta subjeknya. Well selama tidak foto sport atau apa pun yang ngebut, saya rasa masih oke sih. Sialnya gaya street saya membutuhkan AF yang cepat, atau zone focus yang layak. Keduanya tidak ada di kamera ini. Untunglah hasil foto pada kamera ini…

Interface, saat memotret
Ya… di luar menu yang sama sekali saya tidak familiar, Ya sebetulnya menunya gak rumit-rumit amat, cuma memang tidak smart. Ini macam Coolpix A, mau hapus banyak foto sekaligus saja harus masuk dulu ke dalam menu, dll dsb yang bisa panjang karena lebih banyak yang tidak ada daripada yang ada haha.
Layarnya… bagus sekali. Bahkan untuk standar jaman sekarang, resolusinya sangat lumayan, 1.3 juta dots. Kalau mau hemat baterai sebaiknya kecerahan diatur otomatis, tapi dia cenderung bikin gelap padahal masih sore. Yang anehnya ketika kita mau lihat hasil foto, mendadak layarnya jadi terang banget. Sedangkan interface live view ‘kan begitu-begitu saja, jadi harusnya tidak ada masalah apa-apa.
Aku rasa kalibrasi layarnya sangat bagus. Warna foto di layar sama dengan warna ketika aku buka di Macbook. Biasanya aku khawatir, kamera lama layarnya tidak akan mengikuti eksposur, syukurnya pada kamera ini, aman. Bahkan dia cukup pintar, ketika flash dibuka, layarnya langsung menyesuaikan. Ini mirip pada Lumix, aku suka sekali.
Pengalaman saat memotret… ya enak-enak aja. Dial ada banyak, sekadar segitiga eksposur dapat dengan mudah diatur. Yang agak pakai effort tuh memindahkan titik fokusnya, selaku saya lebih suka pakai single point. Sisanya sih aku rasa bisa ditemukan pada menu cepat, jadi tidak perlu selalu masuk ke menu utama. Soalnya menu utamanya… uh memusingkan sekali.

Aku juga berharap itu roda custom 1 2 3 di atas agar lebih cerdas untuk memasukkan serta mengingat setingan yang disimpan, tapi itu minor lah. Intinya sih fine-fine aja, tidak ada kesulitan berarti. Yang terbiasa pakai Sony pasti sudah sangat familiar.
Selanjutnya, aku tidak banyak seting apa-apa. Cuma RAW. Tidak pakai filter bawaan, eye face detection, atau apa pun. Motret pakai mode full manual. Dan karena kamera ini leaf shutter maka flashnya bisa terpicu pada speed berapa pun. Suara shutter pun nyaris tidak ada, sangat cocok lah untuk di jalanan.
Hasil foto
Bagaimana hasilnya…? ya… begitu-begitu saja. Haha. Namun aku harus agak menyesuaikan diri karena sensornya besar jadi DOF lebih sempit. Selaku terbiasa pakai MFT yang pada F/5.6 pun sudah tajam semua, di RX1 F/8 kadang masih terlihat blur di luar area fokus.
Memang ini sensor jadul teknologi jadul, tapi tetap saja full frame, sensornya besar. Oleh sebab itu hal pertama yang kurasakan adalah penggunaan ISO yang lebih hemat. Normalnya saat memotret sore hari, aku pakai ISO 800 di F/8, sekarang dengan bukaan yang sama, ISO paling cuma butuh setengahnya. Artinya apa? bisa pakai shutter speed yang lebih cepat, dan itu adalah hal yang bagus.

Dan sepertinya saya salah baca spek atau entah gimana. Pada menu video, ada tulisan SteadyShot, itu istilah dia untuk stabilizer ‘kan. Sedangkan pada menu foto, tidak ada sama sekali. Bingung juga, antara ada tapi tidak dikasih pilihan ON / OFF atau malah memang tidak ada. Namun dari yang kurasakan sih sepertinya tidak ada, soalnya pada speed 1/80 terasa banget sudah blur fotonya. Saya ini punya tangan yang terlatih dan cukup stabil, biasanya speed segini bukan masalah. Namun ya karena ISO cukup hemat, tak ada salahnya naikkan saja shutter speed.
Oke… foto hasil RX1… sangat bagus. Ya sudah, mau bahas apa lagi? memang sudah seharusnya.
Warna bawaannya cenderung warm, namun bukan masalah karena motretnya RAW. Ketajaman saya rasa standar saja, karena sensornya masih ada aliasing filter. Ketika edit RAW di Photoshop memang terasa, dynamic range sangat luas, naik turun shadow highlight nyaman sekali. Ya selama cahaya baik, tidak akan ada masalah apa pun (kecuali AF yang biadab). Ah, untuk ukuran RAW 24mp, agak lebih enteng dibukanya daripada file Fuji tapi tentu tidak senyaman DNG Leica / Ricoh.
Saat cahaya minim, masih enteng lah, dan seharusnya memang daya tarik sensor sebesar ini ya sensitifitas cahayanya yang mantap. Perlu diingat, semakin gelap AFnya semakin kewalahan juga. Memang saya pun jarang motret malam dengan cara biasa, pasti main slow sync flash. Syukurlah menu flashnya lengkap, tapi sekali lagi, penderitaan yang dibahas di awal akan kembali muncul : tombol cetrekan AF MF yang luar biasa keras serta meteran jarak yang reset senantiasa.
Jika pakai flash bawaan, mulai terasa sesuatu nih yang berkaitan dengan baterai. Setelah sekali jepret, flashnya butuh istirahat nyaris semenit. Lalu juga setelah motret beberapa frame dalam waktu singkat, terkadang kameranya sibuk writing ke SD card. Padahal ini adalah SD card yang biasa saya pakai.

Hasil fotonya sendiri saat main flash slow sync, ya bagus-bagus saja. Hanya saja efek cahaya-cahayanya tampak kurang begitu menggairahkan. Butuh effort lebih untuk bikin efek melintir, padahal dengan tidak adanya image stabilizer mestinya lebih mudah.
Intinya untuk foto, sudah pasti bagus. Terlepas proses saat motretnya kadang menyenangkan kadang menjengkelkan, tapi hasilnya sangat memuaskan.
Baterai
Ini yang sangat perlu diperhatikan. Saya tidak heran dalam paket yang dikirimkan Mas Nanung, baterainya ada tiga. Kamera ini pakai baterai yang sama dengan RX100. Dan itu adalah baterai yang sangat kecil untuk kamera sebesar dan sehaus tenaga ini. Dengan kondisi baterai yang masih sehat saja, saya sudah kehabisan baterai dalam dua jam, itu pun kondisi layar redup dalam semenit. Jangan lupa, kamera ini hanya mengandalkan layar sebagai jendela bidik, tidak ada EVF. Tidak ada cara menghemat baterai kecuali dimatikan layarnya, syukurnya kita bisa custom satu tombol untuk itu. Unik juga sih, gambarnya jadi hitam tapi angka-angka shutter speed dan F masih nyala. Perkaranya, jenis panelnya ‘kan bukan OLED melainkan TFT, jadi walau hitam ya tetap nyala sebenernya haha…
Pun demikian baterainya sangat mudah dicari dan murah, jadi beli saja beberapa. Tidak bikin berat tas juga. Gila ini sih baterai paling kecil yang pernah saya pakai, bahkan ukurannya lebih kecil dari baterai Ricoh GR. Mau bawa beberapa biji pun gak bakal bikin tas penuh.
Yang agak bikin saya bingung ya chargernya. Kabelnya panjang sekali, dan harus dihubungkan lagi ke adapter, untuk berakhir menuju colokan USB ke body. Ini seperti ngecas laptop, dan ini gila, karena hanya itulah charger yang dia kasih. Kenapa tidak berikan saja charger desktop??? ngecas di body langsung tuh tidak sehat karena bikin panas, kebayang jika punya beberapa baterai. Untungnya teman saya sangat paham hal ini, sehingga dia beli charger desktop yang bisa ngecas dua baterai sekaligus, bahkan colokannya type C.
Berhubung saya tidak pernah punya Sony sebelumnya jadi saya tidak paham juga apakah dari dulu sampai sekarang seperti itu. Pokoknya saya tidak merekomendasikan siapa pun dan untuk kamera apa pun mengecas baterai di dalam bodi. Ngemodal seratus ribu, belilah charger desktop Kingma yang dual slot.

Value
Ini bisa sangat subjektif apalagi harga kamera pocket premium semakin hari semakin gila. Sebenarnya saya pun sulit mengatakan RX1 adalah kamera pocket, karena tidak akan masuk ke saku apa pun.
Dahulu harga asli kamera ini nyaris 20 juta. Dan itu adalah nilai yang sangat besar. Walau memang tidak ada perbandingannya. Kamera yang jenisnya mirip ini adalah Fuji X100T, itu pun tiga tahun lebih muda plus ukuran sensornya APSC. Namun kala rilis, X100T harganya 12jt. Leica Q adalah kamera yang bisa head to head, walau juga lebih muda tiga tahun. Tapi jika bicara harga Leica, ya sulit, karena harganya suka-suka dia.
Jika menghitung inflasi, maka harga RX1 bisa diterjemahkan sekitar 30-35 juta hari ini. Itu pun jika kondisinya BNIB, dan niscaya tak akan ada yang mau beli di harga segitu.
Faktanya Mas Nanung beli kamera ini seharga 15.9 juta, segel BNIB garansi resmi. Di luar segala macam aksesoris yang dibeli terpisah, ya segitulah harganya hari ini jika kamu berhasil menemukan unit baru ya. Harga bekasnya bervariasi bergantung kondisi dan kelengkapan, tapi saya ambil rata-rata saja, sekitar 12.5 juta. Well, duit segitu akan menghasilkan Fuji X100F atau Ricoh GR III. Lebih baru, penuh fitur, cepat, dan sepertinya lebih mudah dijual kembali kalau BU.
Tapi kembali lagi, levelnya beda. Kamera ini ibarat hewan, ya walau tua tapi singa. Sedangkan GR tuh chetah… (bukan mengacu pada kecepatan baterainya habis ya, haha). Bagaimana pun, ini full frame, dan harus dibandingkan dengan Leica Q yang sekarang harga bekasnya anteng di angka 30 jutaan. So secara teknis, kamu akan dapat kamera yang mirip-mirip dengan harga hanya setengah Leica Q. Perkara gengsi dll lupakan dulu, kita bicara nilai.
Jujur saja ya, tidak worth it untuk value per money. Bukan kamera ini jelek, tapi kita bisa merakit kamera serupa atau bahkan lebih baik dengan hanya mengeluarkan setengahnya. Jika aku berniat mengeluarkan 15 juta untuk kamera premium pocket, aku akan beli Ricoh GR II seharga 8 juta, kembalinya aku belikan satu lagi mirrorless MFT. Bahkan Sony fanboy sekalipun mungkin bakal beli A7 II ditambah lensa 35mm. Terlepas bahwa itu adalah kamera yang sama sekali berbeda.
Faktor jual kembali pun harus diperhitungkan. Di luar kamu belinya baru kayak ini, atau seken di harga 12an, tetap saja nanti pas dijual kembali, bakal menghadapi calon pembeli yang mendang-mending. Fakta bahwa saya masih melihat iklan RX1 bekas yang anteng bertahun-tahun di Tokopedia dengan puluhan wishlist tapi tak ada yang check out, sudah membuktikan sesuatu. Orang bakal pilih X100F, itu adalah kamera yang lebih superior terlepas ukuran sensor yang tidak seberapa penting bagi saya. Full frame tentu bagus, tapi kalau cukup dengan APSC, apa masalahnya ya kan.
Tapi itu ‘kan saya, entah kalau kamu.

Demikian, ini adalah kamera yang segmented banget. Sudah pasti dijual terbatas dan lebih sedikit lagi yang punya. Kamu harus benar-benar ingin, karena itu bukan duit sedikit. Orang yang berpikir pragmatis pastilah akan pikir-pikir untuk mengeluarkan 15 juta demi kamera yang lensanya tidak bisa diganti. Ini hanya untuk orang hobi yang punya keleluasaan finansial dan tidak butuh / sudah punya kamera lain untuk diajak kerja keras. Karena sekali lagi, kamera ini seperti singa tua… gagah dan anggun, tapi kerjanya cuma tidur dan makan.
Lagipula ini adalah kamera yang keren sekali untuk dibawa-bawa di street, saya yakin tidak bakal ketemu yang samaan. Hasil foto pun sangat bisa dibanggakan. Mungkin jika kamu seorang kolektor Sony dengan kocek tebal, saya rasa kamera ini sah-sah saja dibeli. Toh tidak ada lagi kamera yang seperti ini.
Kesimpulan
Kalau suka dan uangnya ada, ya beli. Lebih baik nyesel beli daripada nyesel gak kebeli, hahaha. Entahlah, review ini terasa sangat familiar karena saya merasakan banyak sekali kemiripan pakai kamera ini dengan Coolpix A. Dia bisa bikin foto yang bagus, terlepas dari minimnya fitur serta cara pakainya yang kadang bikin jengkel. Bedanya, RX1 tiga kali lebih mahal. Tapi juga tiga kali lipat lebih ganteng dan berkarisma di jalanan.
Catatan : sahabat saya (Mas Nanung) memberikan saya kebebasan pakai kamera ini sambil dijual. Kamera serta kelengkapannya ada di rumah saya. Sudah saya pasang juga di Tokopedia, klik saja semoga masih ada. Tapi tidak berarti saya bagus-bagusin reviewnya agar cepat laku, jangan kuatir. Saya selalu netral, buktinya orang-orang percaya dan ikutan beli kamera yang saya pakai.
Walau sayangnya, orang yang biasanya paling potensial untuk beli kamera setelah lihat konten-konten saya adalah… ya Mas Nanung sendiri… haha.



