Tempo hari secara tak sengaja alias dipaksa melihat entah muncul dari mana, sebuah reels yang memperlihatkan orang pegang kamera siap membidik dalam mode landscape… lalu dia teringat bahwa ini adalah 2023, dan dia “terpaksa” memutar orientasi kameranya jadi portrait…
Mari kita runut dari awal. Sebagian besar fotografer menggunakan Instagram sebagai galeri mereka. Dan aplikasi Instagram selalu portrait. Bahkan meski pakai iPad, tetap tegak 9:16 meskipun kita rotasi layarnya. Saya sangat mengerti, kalau kita memajang foto yang tegak semisal orientasi 3:4, layar akan lebih penuh otomatis fotonya pun jadi lebih besar daripada foto yang normal 3:2 apalagi 16:9. Tapi dari dulu juga Instagram sudah begitu, dan sudah sejak dahulu pula itu orientasinya portrait. Tapi tidak pernah sih kayak sekarang, sampai mempengaruhi fotografi sedemikian besarnya. Dulu aku jarang sekali menemukan foto street atau pemandangan dengan orientasi portait, apalagi video. Ini karena Tiktok dan semacamnya.
Untuk genre tertentu seperti portrait atau produk, saya rasa pakai orientasi tegak ke atas memang pas. Tapi untuk street dan pemandangan… ayolah… sama sekali tidak ada komposisi, diperparah lagi kalau ngambilnya pakai tele…
Saya benar-benar mengunggah foto yang dipotong begitu kok, cek aja. Bukan karena ingin rasionya begitu, melainkan bisa bikin continue slide ke samping (foto yang bersambung). ‘Kan kalau disusun utuh, foto saya tetap landscape 3:2. Layar juga penuh, tanpa mengorbankan komposisi. Jangan mau diatur Instragam, kita yang harus mengatur segalanya.
Untuk diketahui, manusia itu berjalan ke depan atau kanan atau kiri, tidak pernah melayang ke atas. Bangunan juga berderet-deret bukan bertumpuk-tumpuk. Saya juga belum pernah melihat ada proyek pengerjaan jalan yang dibikin vertikal 90 derajat ke langit. Maka, astaga… untuk genre foto street yang notabene kita harusnya membuat subjek dan lingkungan sekitar berkolaborasi, akan sangat tidak pas kalau diambil orientasi tegak. Ada kehidupan pada bagian kanan kiri subjek yang menghilang, digantikan langit saja… duh.

Saya paham kalian ingin eksis dan bikin dalam sekali scroll, layar hape pemirsa tuh terisi penuh oleh satu foto kalian. Yang menjadi keliru adalah, ini klasik, ketika kita memotret hanya untuk Instagram.
Begini ya… anggaplah kita sedang nyetrit, lalu nemu sebuah momen, misalnya anak-anak berlarian mengejar ayam. Lantaran sudah punya pikiran nanti bakal diunggah ke Instragram dan pemirsanya pun melihat foto tersebut lewat layar hape, maka lantas itu adegan yang harusnya dijepret keadaan horizontal, malah diambil tegak vertikal.
Kebayang gak nanti kalau suatu hari Instagram sudah tidak ada, dan file yang kalian simpan tuh… hanya cocok untuk di Instagram saja. Tidak cocok untuk dicetak dan dibingkai. Tidak cocok untuk dimuat di surat kabar. Tidak cocok dibuat billboard jalanan.
Jangan mau dikendalikan oleh platform. Kita yang harus pegang kendali. Jangan berkarya untuk sosial media. Sosial media yang harus mengikuti idealis kita. Apa tidak gila, foto pemandangan gunung plus matahari terbit, diambil tegak…? nama genrenya saja “landscape”… artinya bentang alam, alias alam yang membentang… bukan meninggi.
Saya akan menceritakan sesuatu yang ilmiah. Bahwa kamu tidak harus memaksakan segala hal dipotret dengan orientasi tegak.
Pernah lihat berita TV yang liputannya mengambil dari rekaman viral tegak? cuma 30% layar terisi, sisanya diisi space negatif. Mau suatu hari fotomu dipresentasikan di workshop gede, yang saya yakin layar tancapnya landscape, munculnya cuma seuprit? media visual itu tidak melulu layar hape.
Foto street rasio 3:2 akan masih masuk akal untuk dibelah dua jadi portrait. Tapi foto street tegak yang rasionya 2:3, coba aja belah jadi dua foto orientasi landscape… paling jadinya dua foto yang gak nyambung, satu isinya jalan, satu lagi isinya langit. Sudah jelas ‘kan? harus membidik lalu memotret dengan orientasi apa kalau di jalanan.

Saat ini kebanyakan layar hape tuh punya resolusi 1080×1920 atau di atasnya sedikit, tapi anggaplah segitu. Dulu pernah sih QHD, tapi sejak era refresh rate 120hz jadinya resolusi dikorbankan. Kecuali beberapa hape Sony, tetap mantap QHD tapi siapa juga yang pakai.
Nah, anggaplah kamu pakai mirroless Sony atau Fuji yang 24mp. Maka kamu akan punya file foto dengan ukuran 6000×4000, dengan asumsi kamu tidak utak-atik apa pun dan biarkan rasionya standar 3:2. Nah itu foto semisal dibelah jadi dua dengan masing-masing punya rasio tegak 3:4 , kamu masih punya file dengan resolusi 3000×4000. Masih lebih dari cukup untuk sekadar bikin layar hape penuh. Dan bahkan masih sangat cukup kalau kamu harus mencetak di atas kertas seukuran jendela kamar.
Maksud saya begini, untuk hal yang seharusnya diambil dengan orientasi landscape, ya biarkanlah sesuai takdirnya. Kamu cuma butuh untuk Instagram ‘kan? crop saja. Nanti suatu hari kamu butuh file yang utuh dan normal, kamu masih punya. Ini berlaku untuk street dan foto pemandangan ya. Daripada kamu maksain foto segala hal tegak, cuma demi sosmed. ‘Kan sayang banget. Memangnya kamu butuh file ukuran 4000×6000 untuk Instagram?

Saya yakin perhitungan di atas juga dilakukan oleh videografer profesional. Mereka bikin reels atau Tiktok kok, tapi mereka tetap merekam dan bikin versi penuhnya ya landscape… karena saya tidak pernah lihat layar bioskop atau TV, tegak ke atas haha. Untuk reels, mereka crop saja, toh masih layak. Itu dia poin saya, kita harus bisa memilah mana yang dijadikan primer mana yang sekunder.
Suatu hari kamu akan menyesal karena maksain memotret atau merekam hanya demi sosial media.
Memang orang-orang yang hidupnya sangat terpengaruh sosial media tuh biasanya generasi baru. Para sepuh-sepuh yang saya kenal, street lensa fix wide, itu sudah pasti pakai orientasi landscape. Orang-orang yang upload foto street tegak, bisa dilihat lah focal length lensanya berapa… pasti di atas 80mm, atau pakai lensa zoom yang memang sudah bikin pemalas, makin malas lagi cari komposisi di jalanan.
Foto yang terlalu gelap masih bisa dibuat terang. Tapi foto yang salah pengambilan, selamanya akan begitu.



