Akhirnya kemarin aku “mengorbankan” satu hari hunting dengan hanya pakai digicam. Untuk street dan portrait, hingga aku bisa menyimpulkan sesuatu.
Tapi sebetulnya hari itu aku tetap bawa mirrorless sih, yang tadinya bakal aku keluarkan jika ada kondisi yang mendesak. Ternyata tidak perlu, aku bisa menyelesaikan satu hari hunting dengan digicam. Oh iya, kamera yang aku bawa bukan Pentax yang dibahas di part 2 ya… kamera itu sudah kujual, karena mengingatkan pada momen bulan puasa, motret seseorang pakai kamera itu huhu…
Aku beli Canon Powershot A3200. Tidak ada alasan spesifik, karena nemu yang like new aja sih. Mahal juga, hampir dua jutaan, tapi ya memang seperti baru.

Ceritanya begini… beberapa hari sebelumnya aku beli Canon Powershot SX240. Nah kalau yang itu, alasannya jelas, karena ada P-S-A-M mode dan juga bisa manual fokus. Artinya aku bisa nyetrit yang agak rusuh, alih-alih motret seadanya karena cuma ada mode auto. Sayang sekali kameranya datang dalam kondisi rusak, makanya langsung saya retur. Prosesnya berbelit-belit karena penjualnya beratitud buruk, ah pokoknya saya tidak akan lagi beli ke toko itu.

Nah aku pengen beli kamera serupa tapi dengan kondisi yang lebih mulus dan kalau bisa dikirim dari yang dekat-dekat saja, eh tidak ada. Nemu deh si A3200 ini, mulus banget. Sayangnya kamera ini tidak ada mode S-A-M cuma ada P. Dan ketika datang, ya memang mulus, tapi kecil sekali, yang SX240 jauh lebih solid dan pas ukurannya.
Oh iya, aku pernah bercerita mengenai sensor CCD. Canon SX240 yang aku retur tuh sensornya CMOS, tapi fiturnya lengkap dan ada filter macam-macam terutama “Positive Film”. Nah yang A3200 ini CCD tapi malah tidak ada filter menarik, palingan standar BW sepia yang gitu-gitu lah. Ini agak aneh, apakah penambahan filter tuh untuk mengompensasi sensor CMOS yang hasilnya modern atau apa. Pada SX240 yang ada mode M, malah tidak ada pilihan flash “slow sync”, sedangkan pada A3200 yang serba auto malah ada. Aku bingung, kenapa harus begini, kalau di yang satu ada, di yang lain malah gak ada… jadinya tidak pernah lengkap kameranya.

Tapi bagaimana pun, ini kamera tahun lawas, jadi ya terima saja. Tadinya aku senang karena bisa retur kamera CMOS jadi yang CCD, tapi setelah pakai beberapa saat… Canon A3200 ini hasilnya bening sekali. Itu bagus sih, tapi ‘kan bukan itu yang kucari. Ini hasilnya terlalu modern dan minim sekali karakteristik tone vintage khas digicam. Dan tentu saja tidak ada RAW, jadi jangan harap mengedit terlalu jauh dari aslinya karena hasil akan rusak.

Sebenarnya “tone vintage” itu sebagian besar hanya ilusi sih. Memang foto hasil digicam jauh lebih suram daripada kamera modern, namun segala warna-warna unik itu tidak benar-benar ada sih, tetap saja harus campur tangan VSCO dan Lightroom.

Ya walau aku memang berencana motret pakai mode auto, namun kalau ada mode M aku lebih gembira lagi. Tapi ya sudahlah, aku pakai saja…
Seperti biasa, hari Sabtu saatnya street dan portrait. Ya… untuk foto yang santai-santai sih bisa saja, tapi kalau mau snap-snap dari dekat orang yang jalannya cepat apalagi pakai flash, itu jelas tidak bisa. Jadi kalau ada yang bertanya apakah digicam (yang full auto) bisa buat nyetrit, ya jelas bisa asalkan…
1. Tidak ngeflash malam-malam subjek yang bergerak cepat
2. Tidak memotret sesuatu yang membingungkan auto metering, semisal siluet atau membelakangi matahari.
Kedua hal tersebut aku yakin tidak berlaku jika ada mode M dan manual fokus pada kameranya, alias full manual terserah yang motret, soalnya pada teknik slow sync flash malam, yang lebih utama adalah shutter speed. SX240 walau tidak ada pilihan slow sync flash, tapi dia bisa set shutter speed jadi lambat. A3200 walau ada pilihan langsung slow sync flash, tapi shutter speed masih terserah kameranya… untuk portrait okelah, untuk street susah.

Tapi susah bukan berarti tidak bisa. Jangan juga menyerah dengan keadaan lantas menurunkan kaliber dalam memotret semisal jadi cuma motret tiang listrik atau pohon. Aduh…
Manual fokus juga akan sangat berpengaruh, karena AF pada kamera lawas begini… lambat bukan main. Pada SX240 bisa diset pakai jarak, alias bisa zone fokus, potensi jenis gaya street yang lebih liar jadi terbuka.
Satu lagi kelemahan dari kamera yang hanya bisa auto, ya… karena semuanya terserah kamera, kadang eksposur ngaco. Apalagi teknologi meteringnya ‘kan jadul, kadang foto terlalu terang jadinya. Ini belum menghitung bahwa di masa depan bisa saja kameranya kena penyakit “over eksposur”. Nah kalau ada mode M, ya gak ngaruh toh semuanya kita yang ngatur.

SX240 terkesan seperti kamera yang layak sekali ya sebagai daily driver… memang iya. Yang ngeganjel paling ya sensornya CMOS modern bukan CCD jadul. Tapi dengan melihat bahwa A3200 pun yang CCD hasilnya bening-bening saja, aku mulai merasa jenis sensor tidak sepenting itu.
Bagaimana pun, hasil bening bawaan kamera bisa diolah jadi vintage, sedangkan hasil bawaan yang vintage tidak akan bisa diubah jadi bening. Ya ini cuma sedikit panduan, agar tidak terpaku pada jenis sensor ketika nanti memilih kamera. Yang sepertinya juga tidak ada yang peduli, karena pembeli digicam kebanyakan orang awam… yang penting bentuknya lucu haha.


‘Kan memang begitu. Hal menarik dari digicam adalah jenisnya yang banyaaaak sekali. Aku yakin hanya 1% orang yang hapal tipe-tipenya, apalagi pakai angka. Mungkin cuma saya yang ketik “Canon SX240” di Tokped, orang kebanyakan mungkin hanya input kata “digicam” lalu disuguhi hasil secara umum. Nanti paling milih yang mereknya familiar dan bentuknya lucu.
Buat kalian yang mau cari digicam… aku harus kasih tahu bahwa sebagian besar unit bekas yang beredar di pasaran, adalah sampah-sampah dari Singapura yang masuk lewat Batam. Kadang ada yang rusak diperbaiki, ada juga yang memang masih layak pakai. Hanya sebagian kecil saja penjual yang benar-benar menjual warisan dari ayah misalnya. Oleh sebab itu saranku adalah…
1. Biarin agak mahal dikit, yang penting kondisi prima dan kelengkapan fullset.
2. Batas minimal unit yang layak tuh sekitar 1.2jt . Di bawah itu, pasti ada saja minusnya.
3. Jangan lebih dari dua juta.
4. Kalau memungkinkan cari yang ada mode P-S-A-M untuk keleluasaan memotret.
5. Megapiksel dan jenis sensor tidak penting.
6. Pilih yang batre dan charger gampang dicari, termasuk juga pakai SD card umum.
7. Pilih dari merek yang umum.
Saat tulisan ini dibuat, aku baru saja beli beberapa unit lagi. Sama sih, aku pun beli merek Lumix banyak sekali nih… ya karena aku tahunya Lumix. Mau saya bagi-bagikan ke warga binaan saya yang tiap akhir pekan hunting bareng. Mereka tidak pernah motret sok-sok diedit tone Jepang, pakai lagu Jepang, caption hurup Hiragana dll… tapi atitud mereka seperti orang Jepang, tepat waktu. Maka akan kuhadiahkan kamera-kamera brand Jepang ini haha.

Ya begitulah… walau sudah pegang beberapa, tapi setiap hari aku masih mencari, aku masih ingin SX240 atau apapun yang ada mode M dan kondisinya normal. Nanti kalau dapat, rasanya aku bisa beralih total untuk street dan portrait, cukup pakai digicam saja gak usah bawa-bawa mirrorless lagi… aku mulai merasa, semakin lama ingin pakai kamera yang makin murah dan jelek. Supaya ketergantungan pada gear berubah jadi peningkatan skill.

