Motret Pakai “Digicam” – part 2

Belakangan kameranya aku bawa ke mana-mana. Ya karena kecil juga, jadi kenapa tidak. Namun terlepas dari itu, rasanya memang aku menemukan sesuatu…

Anu, sebetulnya kamera Pentax ini tidak terlalu “kecil”, ukurannya lebih kurang mirip Ricoh GR, malahan lebih gendut, kendari dari segi bobot saya yakin jauh lebih ringan karena plastik semua. Tapi itu salah saya, sebelum beli hanya baca spek sensor dll, tapi lupa baca dimensinya haha. Untuk ukuran digicam di tahun itu, ini termasuk bongsor.

Namun demikian, tidak jadi masalah karena tetap ada space dalam tas kamera saya. Soalnya, kamera utama yang saya pakai adalah Lumix GX9 beserta lensa 17mm, cukup ringkas juga sehingga masih sisa banyak ruang. Sejujurnya, seandainya space dalam tas memadai, aku lebih suka bawa kamera lain alih-alih bawa beberapa lensa.

bahkan pada sesi portrait hari ini, GX9 turun pangkat, kebanyakan cuma jadi properti

Tadinya memang aku kalau jalan-jalan, ya tetap menggenggam si Lumix, Pentax dalam tas saja, karena ya hanya aku anggap mainan. Nanti aku keluarkan kalau ada sesuatu yang pas, yang mana sulit juga aku jelaskan apa itu “sesuatu yang pas”. Tapi pada akhirnya, sudah tiga kali hunting, aku kebanyakan pakai yang Pentax.

Tidak… hasil fotonya tetap bagusan Lumix, sampai kapan pun, teknologinya beda jauh. Akan tetapi, aku menemukan sebuah perasaan yang… segar. Mungkin karena lagi jenuh aja sih, aku pun tidak punya kewajiban untuk selalu memotret dengan kualitas tertinggi, jadi ya dinikmati saja…

tidak fokus… tapi kok malah seneng…

Begini, aku ini orangnya sangat teknikal. Aku sudah punya pakem-pakem tertentu, apalagi dalam settingan eksposur. Aku tidak mau pakai mode semi auto apa pun. Itu P-A-S hanya hiasan, karena aku cuma pakai mode M. Aku tidak mau mempersilakan kamera mengatur F, shutter speed atau ISO. Bukannya aku tidak percaya pada kameranya, namun rasanya ada satu kerjaan saya yang jadi hilang karena diserahkan pada sesuatu yang tidak lebih pintar dari saya.

Ketika pakai digicam ini, ya… ‘kan tidak P-A-S-M, semuanya serba auto. Inilah point and shoot yang sebenarnya. Aku benar-benar tidak harus mengatur apa-apa yang berkaitan dengan eksposur. Sebagian bakal berkata itu bagus, sehingga kita cukup fokus saja pada komposisi. Ah… padahal enggak juga sih, ngatur-ngatur F atau shutter speed ‘kan tidak bikin kita jadi kehabisan waktu untuk komposisi.

Tidak bisa tidak, karena 100% auto jadi ya terserah kameranya saja. Masalahnya, teknologinya ya segitu-gitunya haha. Makanya aku kebanyakan pasrah saja. Dalam hal ini, kita pakai auto bukan karena awam, tapi karena tak ada manual. Rasanya tapi kok malah itu yang bikin seru ya. Agak gacha jadinya, entah hasilnya gimana. Sekadar fokus atau tidak pun, kadang tak pasti.

Kamera ini tidak ada mode RAW. Hanya ada JPEG. Dari situ saja aku sudah tahu, kalau ada apa-apa, ya terima saja. JPEG mau diapakan sih…?

Eeeh… kamu tahu VSCO? aplikasi edit warna yang filternya vintage? sejak dulu aku punya, bahkan yang full pack, namun jarang aku pakai. Sedikit banyak sih karena saya payah soal warna, namun juga aku merasa bahwa hasil kamera modern sangat tidak pas dipasangi tone warna vintage. Hasil kamera modern… ya terlalu modern.

karena satu dan lain hal, pas foto yang ini flashnya gak nyala… noise semua, tapi tetap saya pakai karena ini doang yang kucingnya nengok ke kamera
pas pakai Lumix… ya tentu saja aman. tapi ada feel yang hilang

Bandingkan dengan hasil digicam begini… tidak tajam, detail pun sedih, dynamic range juga payah. Maka ketika dikasih preset VSCO, jadinya masuk banget. Terasa klop, tidak kawin paksa. Aku tidak menemukan cara mempersuram foto dari kamera modern, sehingga bisa sejelek digicam… akan selalu tajam dan detail.

Pakai ini… wah noise parah… detail gak ada. Kadang malah gak fokus. Tapi rasanya seneng-seneng aja, gak tahu kenapa. Semestinya sih kita tidak boleh gembira dengan hasil seadanya, tapi selama itu adalah batasan dari teknologinya, ya mau gimana lagi. Yang penting sebagai fotografer, kita jangan menurunkan kaliber dengan memotret seadanya semisal tiang listrik atau pot bunga. Entah kenapa saya suka membahas itu, mungkin karena sering lihat foto analog yang seadanya haha.

Aku pernah menonton film dokumenter Daido Moriyama… dia nyetrit pakai digicam kok. Cuma JPEG, warna pula. Ya terlepas dia tetap pakai Silver Efex Pro (itu pun nyuruh asisten), tapi foto-fotonya ajaib semua. Mungkin karena gak banyak mikir settingan. Kalau aku sih, gak bisa edit JPEG jadi monokrom. Tapi ada kalanya, mungkin tidak selalu foto kita harus super hi-res tajam detail, jika memang ada hal ajaib lain yang bisa ditonjolkan.

Ini tidak berarti bahwa saya bakal pindah pakai mode auto ketika pakai mirrorless. Selama ada mode manual, ya saya pakai manual. Mana bisa saya snap orang lari-lari atau ngeflash stranger pakai mode auto ‘kan. Pakai auto ya saat pakai kamera ini saja.

Sekarang aku paham kenapa digicam sangat disukai, bukan hanya oleh para awam, melainkan juga expert. Aku gabung grup Facebook, dan kayaknya lebih dari separuhnya adalah cewek. Biasanya, mayoritas ‘kan cowok… mereka yang awam dan berangkat dari kamera ponsel, tidak akan merasa linglung akibat kebanyakan setingan. Sedangkan mereka yang expert, sejenak bisa rehat dari kamera berat nan canggih, untuk jepret-jepret tanpa beban.

Aku rasa yang bikin menyenangkan tuh bukan karena semua serba auto sih, melainkan karena kita tidak menetapkan ekspektasi yang tinggi, makanya apapun hasilnya bakal diterima. Ingat, tidak ada foto yang gagal kecuali foto yang tidak diambil. Dan setiap foto bisa dikatakan berhasil, apabila sang fotografer merasa bahagia setelah melihat hasilnya.

Ooh iya… kalau kalian gabung grup dan lihat foto-fotonya unik-unik warnanya, jangan keburu mikir itu SOOC bawaan kamera. Kebanyakan diedit di VSCO atau Lightroom kok. Ya gak apa-apa. Aku kok merasa, foto hasil digicam tuh jauh lebih berhak diedit-edit warnanya daripada foto hasil kamera modern. Karena kita beli beginian emang nyari tone warna jadulnya, maka ketika hasil SOOCnya tidak terlalu berwarna, ya poles-poles dikit lah. Lain cerita kalau sudah pakai kamera 20jt dan yang ditonjolkan adalah tone warna hasil Lightroom… wah.. apa saja kerjamu…? komposisi dan cerita masih belum bisakah walau sudah pakai gear mahal? haha.

Pokoknya aku lagi seneng-senengnya. Sampai kadang aku lupa kalau bawa Lumix GX9 dalam tas. Asyik menjepret pakai digicam, aku lupa menyisihkan satu-dua frame yang pakai kamera bener. Soalnya aku cuma mau majang foto monokrom dan biar konsisten, selalu pakai Silver Efex. Rasanya aku gak tega aja, ngedit JPEG di Photoshop. Nah kalau edit VSCO ‘kan di hp atau iPad, JPEG pun cukuplah. Apalagi, JPEG digicam masuk banget dengan VSCO.

Entah sampai kapan kesenangan ini berakhir? ya sampai bosan aja kayaknya. Yang jelas sekarang aku lebih suka lihat foto-foto burem digicam ini daripada foto hasil mirrorless. Oh iya, kamera Pentax ini aku belinya patungan sama sahabat saya. Gila ya, 800 ribu aja patungan, haha. Soalnya tadinya ini untuk properti portrait… eh malah aku pakai, Lumixnya yang jadi properti.

kalau lagi bener, ya fokus ketajaman dll terlihat normal. sayang, seringnya gak bener haha

Nanti sih kalau laku, aku berencana beli lagi digicam tapi yang agak kecilan. Pentax ini gedenya serasa bawa kamera beneran. Kalau mau bawa yang segede gini, ya sudah saja aku bawa GR III ‘kan. Apakah aku berharap untuk punya digicam yang agak lebih canggih? semisal bisa RAW atau ada mode manual…? hm kayaknya enggak sih. Biarkan saja tetap point and shoot, biar terasa feel refreshing dan mainannya. Aku tetap menetapkan batas, tidak akan beli yang di atas satu juta, supaya tidak terlalu canggih dan kalau tiba-tiba rusak, gak terlalu nyesek.

Hayu…