Ketika orang lain pada upgrade kamera, aku justru sebaliknya. Program downgrade sudah dimulai…
Seriusan. Selama beberapa bulan terakhir aku pakai Lumix GX9, itu kamera yang luar biasa bagus, mungkin paling worth it di harga tujuh jutaan, sama sekali tidak mahal. Kendati demikian, tetap saja kamera itu terlalu bagus untukku. Dan saat tulisan ini dibuat, kameranya sudah tidak ada… karena kalau ada, pasti akan saya foto sebelah-sebelahan dengan kamera yang akan dibahas, sebagai perbandingan ukuran. Tapi ya memang sudah kujual…
Aku beli Lumix GF3. Kamera keluaran tahun 2011. Walau aku pernah punya kamera itu dahulu sekali, tapi tetap saja ada rasa ragu. Bukan takut fotonya akan buruk, tapi khawatir pakainya tidak enak. Namun demikian, harganya sulit sekali ditolak…
Ada sebuah ungkapan, semakin kita tidak punya kontrol akan lingkungan memotret (semisal di pernikahan atau lapangan bola), maka semakin bagus kita butuh kamera. Ini ‘kan saya motretnya di sana-sana saja, sedangkan kemampuan saya semakin meningkat, maka rasanya pakai kamera murah nan lawas tidak akan kenapa-kenapa.

Ada sebuah lapak di Tokopedia, dia menjual beberapa unit GF3 stok lama tapi kondisi baru. Sepaket dengan lensa pancake 14mm F/2.5 II, cuma 2.5 juta. Dengan melihat bahwa harga lensa tersebut di second hand market saja sekitar dua juta, artinya aku dapat body hanya 500 ribu. Dengan baterai baru, charger original, box, dsb semuanya baru. Ini adalah obral!
Maka seandainya percobaan kali ini gagal, aku hanya keluar 500 ribu karena lensa 14mm mudah sekali dijual. Bahkan pun aku tidak bakal rugi, toh kalau kameranya kujual pasti di atas 500 ribu. Ya sudah, aku beli deh…
Sekadar cerita, dahulu aku pernah punya kamera ini sih. Bahkan ini adalah kamera pertama saya ketika baru mengenal fotografi. Tapi dahulu kala, gaya fotonya tidak seperti sekarang.
Aku tidak khawatir hasil fotonya buruk, belakangan malah aku sering pakai digicam. Bahkan seandainya digicam yang kupakai ada mode M dan RAW, mungkin aku akan pakai digicam saja karena ringan.
Tahukah kamu, GF3 ukurannya hanya sedikit lebih besar dari digicam yang sangat mungil? tuh saya sertakan foto perbandingannya.

Baiklah. Poin dari tulisan ini bukan untuk membuat hipotesa apakah kamera tahun sekian masih layak di tahun sekian, karena tidak ada gunanya. Karena semuanya kembali pada diri sendiri, apakah kita mampu menyesuaikan diri, serta mengompensasi segala kompromi yang ada, agar tetap mendapatkan hasil maksimal.
Ingat… ini kamera tahun 2011 ya… haha. Dan karena ketika dulu pakai kamera ini saya masih cupu serta gaya fotonya normal saja, maka semua sampel foto dalam tulisan ini saya ulangi pakai gaya street yang biasa-biasa saja… (kecuali yang foto flash)
Desain dulu deh. Kalau kamu cukup tua untuk merasakan periode awal munculnya mirrorless, maka kamu tidak akan kaget lihat kameranya semungil ini plus (atau minus) tombolnya sedikit sekali. Karena pada masa itu, mirrorless hanya untuk amatir, yang cuma hobi. Pekerjaan kasar tetap harus pakai DSLR. Oleh sebab itu tidak ada fitur-fitur “pro”. Ah saya tidak suka sebetulnya menyebut “pro” dengan acuan spesifikasi teknis, karena memang bukan itu. Intinya mirrorless kala itu tuh hanya untuk orang awam, yang pengen ringan, yang tidak mau ribet-ribet.
Handling pada kamera ini… sangat buruk. Bukan karena tidak ada grip, tapi karena kameranya kecil sekali… bingung juga megangnya gimana. Padahal tangan saya termasuk kecil… dan terus bermimpi dilahirkan kembali dengan jemari lentik seandainya reinkarnasi itu ada. Oh, kamera ini besi semua gak ada karet gak ada plastik… made in Japan pula, bener-bener “hampeg” dan solid. Tidak ada hot shoe, jangan harap bisa pasang flash selamanya…

Walau tetap saja aku menyayangkan, kenapa pula tidak ada roda P-S-A-M di bagian atasnya. Alih-alih, malah tombol “intelegent auto”. Tapi ya begitulah… kamera ini memang dirancang untuk orang yang baru hijrah ke kamera beneran, makanya difasilitasi dengan tombol IA segede gitu… bahkan nyala pula warna biru duh… dan itu tombol AI tetap selalu ada di kamera Lumix sampai GF8 (2016), namun agak mendingan nanti sudah ada roda P-S-A-M. Akhirnya mereka sadar bahwa orang amatir pun nantinya bakal jago, ya walau kalau sudah jago tidak akan pakai Lumix seri GF (entry level termurah).
Tapi pilihan mode ada kok, namun harus masuk menu dulu. Karena aku selamanya bakal pakai mode M, jadi setting sekali saja setelahnya tidak usah. Nah pakai mode M artinya minimal F dan SS aku harus atur sendiri, dan kamera ini tombolnya sedikit sekali. Jadinya F dan SS ada di satu tombol yang sama. Untuk ISO, ada di quick menu.
Berlanjut ke interface. Ya… gimana ya, kamera jadul, ya tampilannya seperti Windows XP. Tapi dari dulu sampai sekarang, untukku menu Lumix adalah yang terbaik, karena paling mudah dan logis. Kamera ini sudah touch screen tapi sebatas untuk titik fokus saja, tidak bisa sampai ke dalam menu seperti GX9. Tapi bisa dipakai untuk mengakali minimnya tombol dengan bikin tombol virtual, ya walau aku tidak pernah gunakan karena bikin sempit layar. Intinya sistem menu pada kamera ini sangat cocok untuk pemula. Karena ada juga kamera pemula yang menunya rumit, yaitu Olympus Pen.
Turun ke layar. Ini yang tadinya aku khawatirkan, bukan karena resolusinya cuma 500k dots sekian, yang mana itu nyaris 1/3 dari GX9… melainkan karena teknologinya. Jadi kalau sekadar untuk komposisi atau mengecek fokus sih lebih dari cukup. Yang aku khawatirkan adalah… kamera ini layarnya seperti DSLR, tidak menampilkan preview foto sesuai dengan eksposurnya. Jadi mau ganti ISO atau F, ya tetap saja begitu eksposurnya. Kendati untungnya itu lightmeter dia sangat akurat. Hal ini tidak akan jadi soal kalau motret pakai mode semi auto apalagi auto. Tapi kalau pakai manual, ya harus kayak user DSLR jadul… test jepret dulu.

Tapi warna dan kecerahannya cukup kok.
Sensor… ya, sensornya Micro Four Third 12 megapiksel. Ah itu lebih dari cukup, jangan khawatir. Ukuran fotonya ‘kan tetap sekitar 4000×3000 jadi kalau cuma dibuka di layar Macbook sih masih penuh dan tajam. Apalagi sekadar buat sosmed…
Auto fokus pada kamera ini… cepat. Kayaknya saya gak pernah nemu kamera Lumix yang lambat sih, santai aja. Bisa lewat layar sentuh juga. Namun untuk nyetrit macam saya, tetap saja aku mendambakan ada meteran jarak fokus di layar supaya enak snap zone. Ini bukan salah GF3 karena sampai GX9 pun hal itu tidak pernah ada, solusinya ya pakai lensa Olympus 17 atau 12mm, selesai. Tapi kalau kamu keukeuh mau zone focus ya tinggal pakai MF aja terus arahkan ke pohon atau apapun yang jaraknya semeter, lalu lanjut jalan… seterusnya bakal semeter asal ring fokus jangan diputer-puter.
Semua sampel foto di tulisan ini pakai AF. Saya paksa, coba dulu AF sampai kameranya menyerah dan saya terpaksa pakai MF. Sayangnya dia tidak pernah menyerah hahaha. Malam pun tetep sangat cepat. Selama itu single point ya, jangan pakai tracking atau apapun.
Pokoknya jalan bawa kamera ini, fun banget. Kalau khawatir dengan layarnya yang tidak sesuai eksposur, pakai saja mode P / A / S, atau IA sekalian. Mode IA dia cukup smart kok, dan masih bisa RAW. Untuk foto-foto casual, santai aja.
Pada banyak situasi, mode IA cukup membantu, dia akan bikin foto dengan eksposur yang benar. Sebatas “benar” ya, karena jika yang dicari estetika, memang sebaiknya manual.


Barangkali nanti jika saya tidak mau pusing dengan layarnya, akan pilih mode A saja. Aperture saya atur, sisanya terserah kamera. Dan hanya dengan mode-mode auto begini, ISOnya bisa auto. Di mode manual, ISOnya tidak bisa auto. Kalau full auto (IA), tidak akan estetik jika cahayanya sulit.
Secara umum hasil fotonya ya… seperti Lumix. Motret melawan cahaya harap agak dikurangi, karena DR tidak terlalu luas. Warna akurat, detail cukup. Ini saya sudah pasti pakai RAW, selain karena potensi salah eksposur cukup besar (karena layarnya), ya biar maksimal saja… kendati demikian tetap saja tidak bisa berharap banyak bisa angkat shadow dan turun highlight. Ah untuk orang normal yang motretnya di pagi cerah, kayaknya bakal fine-fine saja sih. Sekalian pula untuk berlatih mengurangi ketergantungan pada post processing.


Lensa jelas sangat berpengaruh… lensa 14mm ini sama tuanya. Rasanya aku sudah punya lensa ini berkali-kali, tidak pernah mengecewakan, namun puas banget pun tidak. Saran saya kalau beli kamera dengan kit ini, jual lensanya untuk nambah dikit jadi Olympus 17/1.8. Walau rasa kompak bakal agak hilang.
Dengan susah payah aku motret flash jarak semeter kayak biasa. Ya tentu saja bisa… gaya ini ‘kan sudah ada dari dulu. Hanya saja bikin efek slow sync flashnya susah sekali haha, soalnya di menu flashnya gak ada, cuma ada normal dan anti mata merah. Hasil sih agak lebih noise dari biasanya, tapi buatku sama sekali gak jadi soal. Dan karena ini kamera jadul maka teknologi shutternya pun ya jadul… bukan lagi “cekrek” suaranya, melainkan “bletak”.

Jangan tanya IBIS karena tidak ada. Wifi pun sama saja. Entahlah, lagian kalau aku pakai Ricoh GR atau Coolpix A pun sama-sama 28mm dan tak ada IBIS jadi biasa saja. Pada MFT biasanya stabilizer ada di body bukan di lensa, jadi tidak banyak juga lensa OIS. Palingan kit zoom. Ngomong-ngomong soal lensa, 14mm ini sudah ada sejak dulu… hasilnya kadang terlalu tajam, dan flarenya aneh. Tapi karena murah dan ringan, tetap banyak yang suka.
Baterai pada kamera ini sama dengan GX9 haha. Syukurlah tidak saya jual sekalian, repot juga beli-beli lagi. Sebetulnya bentuknya sama, hanya tipenya seolah dibuat beda, padahal itu-itu juga barangnya. Walau entah kenapa, baterai GX9 terasa agak sempit keluar masuknya. Dan aku bisa mengabarkan, performa baterainya… cukup. Ya sekali hunting bawa dua minimal sudah aman sih.

Bagaimana kesimpulannya…?
Sekali lagi, melihat harganya, ini untung karena baru tapi harga bekas. Namun anggaplah kamu beli terpisah apapun keadaanya, gak bakal lebih dari sejuta ini body GF3. Selama tidak ada penyakit atau cacat, ya gak akan salah… sejuta itu harga digicam, ini dapat mirrorless dengan sensor jauh lebih besar. Soal ukuran ‘kan mirip-mirip (selama kamu pakai lensa pancake).
Kalau untuk kerja atau foto yang lebih serius, jelas sudah agak susah. Bukan karena hasil fotonya buruk, tapi pakainya gak enak kecuali mode IA. Jika sekadar untuk street sehari-hari sih, ini lebih bagus daripada HP apapun, atau digicam yang lagi hits itu. Tinggal invest di lensa Olympus 17mm, sudah bisa nyetrit dengan leluasa, namun sekali lagi menghilangkan sisi ringkas dari kamera ini.

Beberapa tahun lalu harga bekas kamera ini sekitar dua juta kurang (body saja ya, kalau lensa sih selalu dua juta). Di luar kejelian saya nemu toko barang antik, sekarang dua jutaan sudah sekalian lensa bagus, oke lah.
Aku malah tidak menganggap lagi beli mirrorless. Aku anggapnya beli digicam, jadinya merasa untung karena di harga segini dapat sensor besar, mode manual, RAW, dll.
Apa saya merekomendasikan? ya gimana ya, barangkali setelah tulisan ini tayang, tidak ada lagi yang jual. Tapi untuk dana mepet ingin kamera di bawah sejuta (belum dengan lensa), gak akan salah sih. Ada banyak mirrorless jadul di harga 2,5 juta begini tapi pasti bekas dan lensanya kit jelek. Ini baru dan lensanya fix nan mantap.
Kendati jika ingin lebih eksplor serta lebih puas, tambahin dikit lah budgetnya… cari Olympus E-PL7, sama-sama mungil tapi cara pakai jadi agak lebih normal serta fitur lebih banyak : IBIS, layar lebih bagus + sesuai eksposur, ada hot shoe dll dsb. Bahkan saya bisa merekomendasikan banyak sekali kamera lantaran itulah asyiknya MFT, cari harga di bawah 5 jutaan malah banyak dan menarik.
Ya setidaknya di kala harga kamera sudah semakin ngeri, kita masih punya pilihan untuk motret low budget… walau mungkin hanya sebagai kamera selingan.

