Ini benar-benar terjadi lho, dan kiranya masih eksis sampai sekarang. Pemahaman-pemahaman yang saya rasa tidak relevan dan sangat bisa diperdebatkan, terus beredar entah dari mana datangnya, merecoki pikiran mereka-mereka yang baru saya “terjun” ke dunia street fotografi. Apa sajakah itu?
Pasar
Ah… jangan marah dulu. Tidak ada yang salah kok dengan memotret di pasar. Yang salah adalah saat kita mengira bahwa “nyetrit” itu harus melulu di pasar, atau dimulai dari pasar, atau atau… ah…
Coba deh, kamu cari acara “hunting bareng” komunitas street apa saja di kita, cek di mana lokasinya. Di mall apa di pasar?
Tes aja, klik tagar street fotografi lokal, nyaris 50% lokasi pengambilan fotonya… di mana?
Jelas saya sadari bahwa pasar itu adalah lokasi yang sangat ramai, dan kemungkinan terjadi momen-momen yang “street” itu luas. Tapi ketika suatu tempat terlalu banyak digunakan, dan suatu “momen” terlalu sering diulang-ulang, apa sih asyiknya? Tentu saja, foto seorang ibu pedagang yang lagi menyusun cabai keriting di bawah lampu 5 watt, sudah menjadi sebuah foto yang layak dan memenuhi standar. Atau katakanlah ada truk yang lagi bongkar muatan, para orang bertenaga yang kerja di situ saling mengoper semangka dengan cara dilempar, kemudian… kemudian…
Poin saya begini lho, street fotografi itu artinya memotret di ruang publik. Ruang publik ya: bisa mall, kuburan, gedung kesenian, jembatan penyeberangan, dan apapun. Bagaimana bisa, tempat hunting pertama yang terpikirkan adalah pasar? Saya cukup bergidig ketika melihat street fotografi kita kok rasanya begitu identik dengan motret di pasar. Tatkala saya menanyai pendapat seorang idola saya dari Inggris, bagaimana kesan dia mengenai street fotografi Indonesia, dia balik bertanya kepada saya, “mengapa begitu banyak foto di pasar tradisional? Apakah sebuah keharusan?”
Ayolah, masih banyak lokasi lain untuk dijelajahi. Jangan batasi kreatifitas, dan jangan membuat kesan bahwa dunia street kita itu identik dengan nuansa tradisional yang dibuat-buat juga dipaksakan.
Human interest
Beberapa tahun lalu saya membaca cuitan Arbain Rambay mengenai human interest, dia kata, human interest fotografi itu bukan fotografi tentang orang kesusahan. Nah! Kala itu saya puas sekali, rupanya apa yang selama ini membuat saya gelisah, ditegaskan oleh seorang pakar. Berarti bukan cuma saya yang berpikir demikian…
Memang, kesedihan dan keprihatinan adalah tema yang selalu laku. Kalau tidak, mana ada orang-orang yang like dan ketik “amin” untuk sebuah foto mayat usus terburai. Dalam kaitannya dengan fotografi, entah siapa yang memulai, memotret kakek tua pengemis, diambil pakai lensa tele – seolah yang difoto adalah burung – , tunggu dulu sampai ekspresi paling sedih, lalu upload ditambahi caption pelipur lara. Lalu kemudian yang begitu itu sah sebagai genre “human interest”, setidaknya di Indonesia.
Bagaimana bisa, ketika seorang “fotografer” mengabadikan nenek yang sudah pasti tua lagi dorong gerobak berisi sampah menggunung, difoto pakai lensa tele, boleh disebut human interest sejati. Sedangkan ketika saya memotret wanita muda cantik yang sedang merenung di depan mall, pakai lensa wide 28mm, dikatakan pencuri foto, stalker, predator, dan semacamnya. Bukankah keduanya manusia?
Hooh, namanya saja “human interest”. Jelas “human” itu artinya manusia. Mau dia pria perlente pakai jas, mau pelacur, mau petani, asalkan merekam tentang manusia yang sedang… apapun, itu adalah human interest. Bukannya mau meributkan definisi, tapi ketika definisnya seolah jadi menyimpang, itu berbahaya. Kita adalah contoh untuk pemula yang baru bergelut di genre ini, jangan membuat orang lain tersesat. Jangan membuat human interest bersinonim dengan eksploitasi kemiskinan. Oh, human interest itu salah satu cabang dalam street fotografi, makanya saya bahas.
Candid
Ketika seorang kawan bertanya pada saya apakah mengambil foto secara “candid”, saya tanya balik, “candid” itu artinya apa. Dia bilang, secara diam-diam, jangan ketahuan. Segera saya katakan padanya bahwa itu tidak mungkin. Karena sekalipun saya pakai kamera super kecil, fokus sunyi, dan tidak bersuara apapun ketika foto diambil (Ricoh GR), focal lenght kamera tersebut adalah 28mm, yang memang kesukaan saya. Dengan FL segitu, untuk mendapatkan komposisi yang saya harapkan, maka saya harus berhadap-hadapan sekurangnya satu meter di depan subjek. Bagaimana bisa saya “tidak ketahuan”?
Memang ada cara supaya kita bergerak seperti ninja, sepertinya saya bahas pada salah satu bagian buku ini, namun jelas itu tidak selalu berhasil. Anggapan mesti candid inilah yang bikin sebagian street fotografer pemula, bawa-bawa lensa tele panjang ke jalanan. Mereka memperlakukan situasi di jalanan selayaknya lagi membidik singa yang berburu zebra, atau situasi ricuh di perbatasan Gaza. Saya tidak suka dan tidak mau pakai lensa dengan kaliber terlalu besar di jalanan, karena akan membuat foto jadi sumpek, bikin subjek terisolasi dari lingkungannya. Itu tidak wajar, dan tidak enak dilihat… setidaknya untuk saya.
Pada akhirnya memang tujuan kita adalah mengambil foto, apapun metodenya. Makanya, daripada ngotot harus “candid” atau “tidak candid”, mendingan diganti pola pikir dan tindakannya, menjadi “permisi” dan “tanpa permisi”, mau ketahuan atau tidak. Pada bagian lain buku ini saya coba jelaskan cara supaya membuat keberadaan kita tidak mengganggu orang lain, atau setidaknya bikin orang tidak menghindari kita di jalanan. Yang jelas, kamu tidak harus invisible. Kamu hanya harus mengambil foto, karena yang tercetak di kertas atau tampil di layar smartphone adalah foto, yang tidak akan muncul tulisan “ini candid” dan “ini tidak candid” saat diterawang ke lampu.
Harus cahaya alami
Sudah barang tentu, memotret akan lebih menyenangkan saat cuaca cerah cahaya melimpah, daripada mendung. Makanya ada istilah “golden hour” ‘kan?
Sayangnya yang terjadi tidak selalu begitu. Tidak semua orang bisa terus-terusan memotret pagi hari atau sore hari. Cuaca pun tidak selalu cerah, dan malah seringnya hujan kalau di sini. Lalu juga ada fotografer seperti saya yang malah sukanya motret malam hari.
Menggunakan flash, tentu saja boleh. Bagaimana bisa, sesuatu yang bermanfaat, kok ilegal. Kita tidak bisa mengatur cahaya matahari, tapi kita bisa (dan harus) mengatur cahaya dalam foto kita. Itu kamera kamu kok, terserah kamu. Saya sih mau siang mau malam, selalu pakai flash bawaan kamera. Bukan apa-apa, saya ingin subjek lebih “pop-up”, sedikit lebih menonjol daripada latar belakang.
Makanya buat saya, menggunakan cahaya tambahan itu sah. Asal mau jangan bawa peralatan lighting studio ke jalanan, karena bakal bikin orang ogah lewat jadinya… hehe.
Edit sederhana
Di masa lalu, saat belum ada olah digital, tentu saja foto yang sudah dicetak adalah benar-benar apa adanya dari yang dipotret. Di masa kini, banyak street fotografer yang tidak begitu suka mengolah fotonya terlalu rumit. Saya setuju saja, namun itu tidak mutlak.
Pada kamera ada pilihat foto dalam format RAW, jelas boleh digunakan. Di laptop setiap fotografer pasti ada Photoshop, kenapa tidak? Minimal di smartphone masing-masing pasti terpasang Snapseed atau VSCO, untuk dipakai ‘kan?
Photoshop itu milik semua pihak, bukan monopoli fotografer lanskap atau portrait. Selagi kamu tidak dibayar dalam melakukan street fotografi, maka satu-satunya pihak yang harus dipuaskan adalah diri kamu sendiri. Kalau kamu puas tanpa edit, itu bagus. Namun jika kamu baru puas jika sudah diolah di aplikasi olah foto, sekadar percantik warna atau jadikan hitam-putih, itu juga bagus. Selagi kamu tidak membohongi diri sendiri, misalnya menghilangkan objek dalam foto, atau menambahkan objek yang sebetulnya tidak ada, maka olah foto sangat boleh. Street fotografi adalah kejujuran, dan mengolah tone foto itu tidak membohongi siapapun karena semua yang lihat pun tahu foto itu sudah diolah. Tapi kalau kamu membuat foto polos dan ditempeli siluet-siluet burung beterbangan, wah… ngapain sih?

