Melalui saluran Youtube saya, ada seorang pemirsa yang bertanya, bisakah menghasilkan uang dari hobi street fotografi? Kalau bisa, bagaimana caranya?
Sejujurnya, bisa saja, kalau jumlah uangnya tidak spesifik ditentukan besarannya. Jika ditentukan misanya $500.000,- setahun seperti pada video Eric Kim, sayang sekali saya tidak tahu caranya. Karena misalnya saya tahu, pasti saya sudah punya Leica beberapa biji (walau tetap saya bakal nyetrit pakai Ricoh GR kok). Kendati demikian, kalau sekadar tahu caranya sih ya saya tahu, contoh dekatnya ya buku yang kalian pegang ini, saya ‘kan dapat uang dari menulis buku tentang street fotografi.
Oke ada beberapa cara yang bisa diusahakan. Sebagian cukup mudah, sebagian lagi tidak begitu mudah
Pertama, dan ini cara paling keren, adalah menjadi ambasador brand kamera. Bakal saya katakan di awal, bahwa peluang kamu masuk ke dalam sebuah merek itu secara realistis hanya bakal mentok sebagai fanboy. Bukannya mengajak untuk pesimis, tapi mari realistis. Di Indonesia, setiap brand kamera biasanya punya dua-tiga fotografer resmi di tiap genre. Brand top macam Canon dan Nikon sudah punya nama-nama beken di tiap divisi: divisi landscape, divisi portrait, divisi wildlife, dan semcamnya. Apakah mereka punya divisi street? Mungkin saja, seandainya mereka ingin masuk dalam segmen ini.
Dalam hemat saya, brand yang “street banget” di Indonesia adalah Olympus, kemudian Fujifilm. Walau peluang dilirik Olympus atau Fujifilm rada lebih ringan daripada Canon-Nikon, namun tetap saja super berat. Jago saja tidak cukup, kamu harus sudah jelas punya eksistensi yang panjang (bukan berarti tua, tapi normalnya sih usia matang), punya “nama”, punya pengikut yang banyak dan loyal, dan ini itu. Seandainya kamu sekaliber Sambara sih enak, selesai dari satu merek, masih banyak merek lain yang mengantri.

Kemudian juga, selain mesti super hebat dan terkenal, kamu mesti punya koneksi. Ini bukan rahasia bahwa fotografer yang sudah “masuk” bakal merekomendasikan nama lain untuk dipertimbangkan kalau-kalau merek tersebut ingin menarik lagi fotografer untuk jadi bagian marketing mereka. Soal ambasador ini, saya punya pengalaman buruk, tahun lalu saya sudah bolak-balik ke Jakarta, ke kantor pusat sebuah merek kamera, untuk dijadikan ambasador. Eh… dia banting haluan, jadi fokus di videografi… batal deh saya, sampai sekarang saya sakit hati, dari fans no 1, jadi hater no 1.
Sekali lagi, mari realistis. Bukannya tidak bisa sama sekali, tapi sebelum mengejar target jadi ambasador brand kamera, kejarlah dulu target-target yang lebih mungkin. Toh sebenarnya walau sudah jadi ambasador kamera, bukan berarti kamu dibayar ratusan juta. Biasanya kamu “hanya” akan dipasok kamera dan lensa model terbaru. Tapi memang kalau kamu sudah masuk jadi “orang kamera”, berarti sejak sebelumnya kamu sudah sangat punya nama, dan sudah punya penghasilan sendiri dari memotret bahkan sebelum dikontrak. Biasanya fotografer weding atau produk, memang sudah dapat bayaran dari pemotretan mereka. Masalahnya, apakah ada yang bayar kamu untuk pemotretan street? Lalu juga, bakal ada penghasilan banyak dari mengisi workshop… ini ‘kan bisa kamu lakukan tanpa menjadi ikon sebuah merek. Nah, inilah peluangnya.
Ah, iya. Kamu bisa juga jadi ambasador perlengkapan fotografi. Bayarannya tidak sebaik ketika disponsori kamera langsung, tapi tetap saja lumayan dan bikin keren. Saya sering melihat fotografer landscape yang didukung segala macam mulai dari tripod, filter lensa, sampai minyak angin supaya hangat ketika di gunung. Eh tapi kita street tog ‘kan gak banyak peralatan ya, haha. Mungkin tas kamera atau strap kamera, bisa diusahakan. Separah-parahnya kamu tidak dikasih uang tapi diberi produk gratis. Itu terhitung masih lumayan, karena nama kamu bakal dikenal luas.
Sedikit banyak, apapun yang berkaitan dengan sponsor, membutuhkan keseimbangan antara faktor internal diri dan eksternal memang. Kemampuan, nama, eksistensi, dan nilai jual diri, bakal bertemu dengan… koneksi, persaingan, dan orang dalam. Bagi saya, sah saja kamu ingin dapat sponsor, namun jadikan sebagai bonus saja, tidak sebagai target utama menggeluti fotografi.
Kedua, menerbitkan buku atau zine foto. Nah ini jauh lebih realistis. Kamu tidak mesti menerbitkan buku yang diterbitkan Elex Media karena walau itu keren, tapi kamu tidak akan dapat royalti sebesar kamu menerbitkan sendiri secara indie.
Seorang street fotografer di kota saya, merilis buku kumpulan foto yang tidak tebal-tebal amat, di angka Rp250.000,-. Walau sistemnya pre order alias bebas resiko tidak balik modal kalau tidak laku. Menurut saya itu mahal karena dengan harga yang sama saya bisa mendapatkan buku Zack Arias yang tebalnya 300 halaman, dan tentu lebih berbobot. Namun menimang gaya-gaya orang Indonesia, yang budaya beli bukunya sedikit aneh, kadang keberatan mengeluarkan 100rb untuk buku yang sangat bagus, namun rela-rela saja beli yang 200rb karena judulnya bikin penasaran, maka peluang ini terbuka luas.
Oke, oke. Menulis buku seperti Q&A Zack Arias itu sulit, saya akui. Bagaimana kalau bukunya hanya berisi foto, gak usah pakai banyak tulisan seperti buku saya ini? Itu ide bagus. Saya membeli buku foto Daido Moriyama seharga 500rb setelah pajak. Mengapa saya mau? Karena foto-fotonya selain bagus, tidak bisa saya nikmati di internet. Buku foto kamu, mesti super bagus dan ekslusif. Harus punya nilai dan manfaat, setidaknya enak dibaca atau enak dilihat kalau foto.
Zine, ya semacam majalah. Tapi saya jarang melihat zine yang harganya mahal, karena biasanya zine hanya untuk eksistensi, dan dibagikan dalam komunitas terbatas. Kamu tidak bisa berharap menjadi kaya karena menerbitkan zine. Yang lumrah, zine street fotografi ya kayak majalah tipis sekitar 30 halaman, fotonya ngeblur ala fine art, dan diberi judul spektakuler dengan istilah mitologi Yunani kuno kayak nama tempat dalam God of War.
Namun sebagai awal, jelas langkah yang baik, karena bisa menancapkan nama kamu di kancah dunia fotografi. Saya sih mending buku foto sekalian, karena kalau kalian tahu modal mencetak buku dibandingkan harga jualnya, kalian bakal segera mengumpulkan niat untuk menulis.
Ketiga, pemasukan sampingan street fotografi yang agak lumayan, ikuti berbagai lomba. Kalau kamu selalu update, itu lomba street fotografi ada saja tiap pekan. Saya sih jarang ikut karena tahu gaya foto saya bukan tipikal yang bakal dibuat menang, dan saya tidak berniat pura-pura ganti gaya demi menang lomba. Tapi untuk kebanyakan fotografer, ini peluangnya besar.
Lomba street fotografi yang hadiahnya besar biasanya diadakan oleh BUMN, atau pun yayasan apa saja yang disokong sponsor raksasa. Kadang kala temanya sederhana, semisal… human interest. Yang mana dengan memotret petani lagi kepruk-kepruk gabah dan diberi tone dramatis pun, kamu sudah sangat berpeluang.
Namun sudah bukan rahasia umum kalau tidak semua panitia lomba itu jujur. Sering sekali yang dibikin menang adalah orang dalam atau kerabat. Jangankan lomba yang diadakan oleh lembaga yang belum jelas konstelasinya, sekaliber merek kamera aja, sering bikin kecewa dengan keputusan-keputusan aneh, baik dari kualitas foto pemenang, hingga pemilihan pemenang. Saya tidak mau mengajarkan untuk nepotisme atau menjilat orang dalam untuk menang. Saya lebih suka memberi saran bahwa sebelum ikutan lomba, cermati dulu riwayat penyelenggaranya, karakter jurinya, sejarah foto-foto yang pernah juara, dan sebagainya.
Karena jika lagi rejeki kamu, hadiah dari lomba foto bisa sangat menggiurkan buat sekadar bertahan hidup satu-dua bulan sih.
Keempat, cobalah peluang jadi pengajar fotografi dan fotografer lain secara umum. Tidak mesti spesifik jadi mentor street fotografi apalagi semodel Eric Kim yang menghajar $1.500,- per kepala per sesi workshop. Itu terlalu muluk. Selama eksistensi kamu terlihat, sekadar jadi mentor basic fotografi, kamu bisa banget. Saya pernah mengajar kelas fotografi di beberapa kampus dan lembaga kursus, juga mengadakan kelas gratis di cafe-cafe. Saya ‘kan tidak melulu berkelakar tentang street, melainkan lebih fotografi secara luas. Bayarannya lumayan.
Kemudian, ketika eksistensi dan gaya kamu sudah rada dikenal, orang akan berdatangan. Saya suka memotret cewek di tengah hiruk pikuk jalanan, nah itu, banyak yang meminta saya untuk sesi portrait dengan gaya hitam-putih saya. Menyenangkan, karena saya dapat bayaran tanpa harus berbelok arah.
Perlu disadari bahwa ketika kamu sudah dikenal sebagai fotografer handal apapun genrenya, orang-orang terdekat bakal meminta kamu untuk sesi foto. Mudah-mudahan mereka cukup dermawan dengan tidak membayar dengan secangkir kopi. Saat ada orang yang minta dibikinkan foto produk, jangan menolak, lakukan! Ada pemohon foto arsitektur, terima! Mungkin terdengar di luar genre kamu, namun pastinya masih di dalam bidang kamu.
Pada akhirnya kamu disebut profesional bukan karena lebih jago daripada amatiran, melainkan karena kamu menerima upah dan bisa hidup dari kegiatan fotografi kamu. Kalau kamu punya spesialisasi memotret yang tidak dipunyai orang lain, itu luar biasa layak digali. Misalnya kamu ahli memotret orang mati, atau apapun, maka kembangkan dan pertajam, buat eksistensi kamu meluas sampai pada titik ketika orang melihat foto semacam itu, maka yang ada di benak mereka adalah kamu.

