Sempat Kaya dari Jualan Kamera, Tapi… (part 1)

Alkisah awal tahun lalu, saya dihubungi oleh akun resmi sebuah brand kamera dari negara Inazuma. Konon untuk mencoba sekaligus memberi impresi pada produk baru yang akan segera diluncurkan. Saya senang bukan main, kok bisa-bisanya saya masuk radar mereka. Apresiasi yang luar biasa, artinya saya dianggap bisa memotret dengan benar. Ha ha.

Agar tidak ada unsur promosi, setiap nama orang, merek (dan logonya) serta lokasi akan disamarkan menjadi nama-nama di Genshin Impact. Harap maklum.

Tak lama setelah saya nyatakan kesanggupan, ada orang pemerintahan sebut saja namanya Thoma, menghubungi saya. Dia ini semacam marketing. Saya ditanya ini-itu, lantas deal dijanjikan akan dikirim kamera pada tanggal sekian. Saya bakal dipinjamkan kamera merek “Lightning” tipe E4, itu baru akan diluncurkan bulan depan di negara Sumeru.

Kamera pun tiba, ngaret dua pekan dari tanggal yang dijanjikan, dengan lensa yang sangat tidak saya banget yakni 50mm. Tapi saya sangat senang, rasanya keren sekali. Bahkan suatu waktu ketika nyetrit di Springvale, saya bertemu para fanboy brand ini lagi pada hunting bareng. Saya nimbrung, mereka pada kaget saya pakai kamera yang belum resmi ada, dengan nomor seri “SAMPLE”. Gagah betul rasanya, macam orang dari DPreview hehe.

Ya sudah, saya sudah bikin review. Sebulan kemudian E4 dikembalikan. Tapi aku masih lanjut chat dengan Thoma. Aku bilang, aku lagi mencari kamera jadul tipe Pro2, kalau dia punya benda itu di kantor, mau aku tukar sama uang. Ternyata ada, dia malah kasih opsi, mau Pro2 atau T3. Wah karena uangku cukupnya satu saja, ya aku pilih Pro2 dengan dua lensa. Dia kasih harga, dan… bukan main murah, cuma setengah dari harga pasaran bekas. Aku bayar, dia kirim, esoknya datang. Wah, mulus, lengkap pula. Sorenya saya pakai hunting dan pamerkan di Instagram. Follower saya bertanya, mau dijual gak. Lantas saya berpikir, jual aja ya harga normal, uangnya belikan lagi T3 ke Thoma… dapet untung cepat dong. Oke, saya jual. Haha.

Aku enggan terlihat tidak berterima kasih, dikasih harga murah untuk dipakai malah lantas dijual. Aku transferkan sebagian keuntungan ke rekening Thoma.

“Mas, cek rekening…”

“Wah, buat apa ini kang.”

“Buat beli rokok, mas.”

“Terima kasih kang, uang apa gitu…?”

“Jadi begini mas…”

Kuceritakan apa adanya.

“Begitulah mas. Saya bisa menjual dengan cepat. Gimana kalau kita berbisnis?”

“Boleh kang. Boleh.”

Esoknya, ada kurir ekspedisi datang ke rumah saya, bawa peti kayu besar sekali. Isinya beberapa unit kamera T2, T3 dan Pro2. Selaku aku dapat jauh di bawah harga pasaran, maka aku pun jual di bawah harga pasaran. Pasang di forum Facebook, komen banyak banget rebutan, bahkan para pedagang pun bermunculan… memang harga yang kupasang, bener-bener murah. Gak ada sehari, sold semua. Yang enak, aku tidak harus bayar duluan ke Thoma, aku baru bayar ketika sold, toh gak sampai sehari… lalu aku berikan komisi 500rb per unit, sebagai terima kasih sekaligus “bunga” sudah boleh bayar belakangan.

Pekan demi pekan berlalu, semakin banyak body dan lensa yang kuterima. Bagiku yang baru saja meninggalkan bisnis lama, berjualan kamera model begini menyenangkan sekali. Kujual murah pun bisa profit dua juta per unit. Tabunganku mulai sehat. Sampai di sini, aku tidak banyak tanya sumber kamera itu. Thoma memang orang brand itu, barangkali di kantornya bergeletakan kamera-kamera. Tapi dia berpesan pada saya, jangan pernah mengupload kamera dalam jumlah banyak di Instagram, karena banyak petinggi brand mengikuti saya di sana.

Paket demi paket datang dan keluar dari kamarku. Menyenangkan sekali. Akhirnya aku tanya, kalau memang barangnya banyak dan luar biasa murah, kenapa gak dia jual sendiri di Tokopedia. Jawabannya kurang jelas, intinya mereka tidak boleh jualan atau semacamnya lah. Gak ngerti sih saya, aku ‘kan beli ke mereka… apa bukan jual beli namanya? haha. Tapi dengan memilih untuk jadi penjual, saya tidak bisa lagi kalau mau jadi influencer. Ya tak apa sih, jualan lebih menghasilkan.

Makin lama makin banyak saja unitnya. Suatu hari aku jual dengan cara COD di minimarket depan komplek saya. Yang beli seorang pemuda seumuran, sebutlah namanya Bennett. Kaget sih, kok ada orang desa saya beli kamera semacam T3, saya kira orang sini tahunya 1200D dan semacamnya.

“Kalau ada banyak, saya siap beli semua kang!” katanya.

“Habis nih, ini terakhir hari ini.”

“Ntar kabari saya ya kalau masuk lagi.”

“Tapi harga tetep user ya…”

“Gak masalah, harga akang udah mantap kok.”

Si Bennett ini ternyata memang pedagang, tapi bukan pedagang kamera. Katanya ingin coba-coba. Dan memang, pegang kamera saja masih gelagapan. Tapi belinya T3 yang 15 jutaan…

Gelombang berikutnya saya dapat barang jauh lebih banyak. Tapi Thoma memberi kabar, kalau tidak bisa lagi dibayar belakangan, meskipun cuma berjarak sehari. Jadi sebelum barang keluar, sudah harus lunas. Wah… walau tabunganku sudah rada banyak, tapi bayar di muka sampai ratusan juta tuh… berat juga. Tiba-tiba aku ingat si Bennett.

“Kalau saya ajak kerja sama, ada modal gak…?”

“Berapa pun ada, kang.”

Akhirnya saya agendakan bertemu. Dia siap menyokong bisnis saya, keuntungannya dibagi, tapi saya “tidak boleh” lagi menjual dengan harga terlalu murah jauh di bawah pasaran. Lebih murah boleh, tapi jangan terlalu murah. Masuk akal juga, karena memang sekarang keuntungan bukan hanya untuk saya sendiri, alias ada pemegang saham lainnya. Aku tidak merasa membagi dua keuntungan itu merugikan, malah aku terbantu karena bisa nyetok kamera dalam jumlah banyak, dan kalau pun ada unit yang lakunya lama, bukan dibeli pakai uang saya. Aku setuju, kami berdua sepakat. Lalu berjabat tangan.

Di sini kisah baru dimulai…

Bersambung…