Kamera yang Terlupakan – Nikon Coolpix A

Aku beli lagi kamera ini. Bukan karena sangat ingin, melainkan perlu. Juga disebabkan karena pilihan lainnya sudah tidak masuk akal harga bekasnya, sedangkan ini kondisinya baru. Maka setelah kupikirkan sejenak, akhirnya aku beli lagi…

Kalau mau baca cerita awalnya, ada di sini.

Tapi seriusan, walau lima jutaan untuk kamera pocket itu tidak bisa dibilang murah, dengan melihat bahwa harga bekas GR II dan Fuji X70 sudah bisa-bisanya menembus sembilan juta, rasanya kamera ini jadi sangat layak. Lima jutaan kondisi baru dan segel. Dan ini lebih murah daripada aku beli lagi Lumix GX85 (yang mendadak rusak), karena walau bodi GX85 cuma empat jutaan, dia membutuhkan lensa lagi. Anggaplah sama-sama 28mm maka aku harus beli lensa Lumix 14mm F/1.5 yang harganya dua jutaan.

Kendati demikian, karena aku pernah punya ketiganya, mudah saja menyimpulkan… kalau harganya sama-sama lima jutaan, mendingan GR II atau Fuji X70 daripada kamera ini. Tapi ‘kan kenyataannya tidak begitu, lagipula entah kapan lagi GR II atau Fuji X70 ada di Tokopedia dengan harga wajar.

Ini adalah Nikon Coolpix A. Pernah dengar? pasti pernah, kata “Coolpix” cukup familiar sih, tapi kalau spesifik merujuk kamera pocket Coolpix yang sensornya APSC, bahkan anak kamera sekalipun mungkin merasa asing.

Padahal kamera ini lahir beberapa bulan lebih awal daripada GR I lho… haha. Tapi entah bagaimana, discontinue begitu cepat, boro-boro ada penerusnya. Makanya saya kaget juga ketika ada yang jual BNIB, garansi resmi pula. Namun melihat sejarahnya, ya Nikon di tahun itu (2013), jangankan pocket premium, mirrorless saja mereka bikin asal-asalan… Ingat Nikon 1? sensornya 1″ dan populasi lensanya bisa dihitung jari. Jadi jangan heran, di masa itu memang Nikon (dan Canon) cenderung tidak antusias di dunia mirrorless, dengan tetap mengutamakan DSLR. Bisa dimengerti sih, tapi efeknya terasa sekarang, ketika mereka mulai serius di mirrorless, para user baik baru atau lama sudah kadung pakai Sony, Fuji atau Lumix.

Anyway, dulu aku pernah punya kamera ini sih. Tahun 2018, beli baru juga, harganya kurang lebih sama. Sayang sekali tidak aku miliki dan pakai untuk waktu lama, karena satu dan lain hal yang sedih sekali kalau diceritakan. Namun aku selalu ingat, ini kamera yang sama sekali tidak jelek kok, malah dalam beberapa hal lebih oke daripada GR II atau X70.

Seperti itulah tampilan kameranya. Kotak doang. Full metal, ada tulisan “Made in Japan”. Lensanya 28mm F/2.8, keluar masuk sehingga lambat laun akan menyedot debu. Grip tidak senyaman GR, tapi cukup aman. Flash ada, dan pasti bisa speed 1/2000″ karena ini leaf shutter. Sensornya APSC (atau DX) 16mp tanpa low pass filter. Layar 3″ resolusi sejuta dot kurang dikit. Tombol FN cuma ada dua dan entah mengapa yg ada tulisan ISO bisa diubah jadi apapun tapi FN yang di depan bisa diganti jadi apapun kecuali ISO, padahal menyenangkan kalau bisa, jadinya gak usah susah payah ganti ISO pakai dua tangan. Tombol empat arah tidak bisa diganti jadi apa-apa, hanya untuk geser titik fokus. Roda atas untuk ubah shutter speed, roda bawah untuk F. Ini saja sudah salah, selain tidak bisa ditukar, itu roda atas agak berat muternya mirip kayak roda mode, sedangkan yang bawah ringan enak. Dalam hemat saya, kita lebih sering ubah shutter speed daripada F, jadi ini kebalik.

Dan semua tombol di kiri itu penempatannya salah untuk kamera seukuran ini. Untuk DSLR sih oke, untuk kamera pocket harusnya semua bisa dioperasikan satu tangan. Tombol zoom pun tidak usah ada karena bisa diwakili oleh roda atas. Sudah demikian, lagi-lagi tidak bisa diganti jadi fungsi lain.

Ya spek lainnya sih umum-umum saja.

Bicara soal layar, 920k dots dan 1m dots itu ‘kan bedanya dikit saja ya, jadi tidak terlalu gimana-gimana soal ketajaman dan membedakan sudah fokus atau tidak. Warna layarnya oke, natural… mirip layar Olympus. Hanya saja tidak ada pengaturan layar “constant preview” kayak di Lumix, jadi ini gayanya kayak GR. Eksposur layarnya dibilang mengikuti setting ISO F dan SS pun tidak, tapi ngaco pun tidak, dia stay di eksposur yang menurut dia normal. Barulah ketika setengah press AF, preview berubah mengikuti seting eksposur. Buat saya ini brilian, karena kita tidak harus pindah-pindah setting. Dan saya gembira untuk mengabari, lightmeternya akurat.

Terkadang kalau motret pakai F/5.6 ke atas, saat membidik atau juga ngecek hasil foto agak susah melihat subjek fokus atau tidak. Entah apakah kurang 100k dots lagi untuk mencapai standar 1m dots haha. Solusinya mudah, zoom saja fotonya nanti juga kelihatan bidang tajamnya. Ini tidak merepotkan. Seandainya lagi portrait dan ternyata tidak fokus, ya ulangi lagi saja. Kalau lagi snap street terus ternyata tidak fokus, ya sudah… ‘kan momen juga udah lewat.

kenapa si kakek tidak fokus? karena titik fokusnya saya simpan di tengah. Memindahkannya cukup butuh effort karena layarnya tidak sensitif sentuhan kayak Lumix…

Interface dan tampilan menunya… saya sangat tidak familiar. Ini pasti mirip dengan DSLR D7100 dan semacamnya. Mesti dipelajari lagi supaya bisa lincah kalau di jalanan. Ngatur ISOnya harus tahan tombol ISO sambil putar dial, kolot sekali haha. Di pinggir body ada swith AF MF macro, saya menduga bakal sering pakai MF untuk zone focus karena kecepatan AF kamera ini… di bawah standar. Selain hanya contrast detect AF, ya memang sudah dari sananya begitu…

Uh baiklah, soal AF. Saya bisa katakan, pada kondisi banyak cahaya, kecepatan fokusnya… cukup. Walau sama-sama cuma contrast AF, tapi AF kamera ini jauh sekali dibandingkan MFT Lumix atau Olympus. Oh iya, kamera ini punya mode makro, yang sialnya harus diaktifkan manual lewat cetrekan di samping. Dan ketika saya mencoba memotret sesuatu yang jaraknya -+30cm, AFnya menolak, kursornya merah terus, harus switch dulu ke makro. Padahal jarak 30cm itu belum terlalu dekat sih.

Tapi ketika kondisi cahaya, ceritanya makin beda. AFnya bakal susah sekali fokus, niscaya itu kursor titik fokus tidak akan pernah hijau. Ya ini memang teknologi 2013 tapi perasaan Ricoh GR I gak gini-gini amat haha. Saya sudah tahu bakal begini sih karena memang pernah punya, dan sudah berencana dari awal untuk pakai zone focus. Saya bingung juga sih, kadang kursornya merah seperti tidak dapet, tapi hasilnya fokus tajem. Jadi dia kelihatannya gak mau fokus padahal fokus. Tapi kalau kotaknya hijau, itu dia gak bohong pasti udah fokus kok. Ini kayaknya masalah interface deh… kamera lain kalau standby kursor area focus pasti putih, berubah hijau kalau dapet, merah kalau gagal. Ini by default warnanya merah… gila. Belum apa-apa udah kayak pesimis hahaha…

Intinya saya tidak tahu, kotaknya merah itu posisi “netral” atau apa, saya lebih suka warnanya putih saja. Oh iya, kamera ini tidak ada “focus peaking”. Bukan karena kameranya tua, tapi ya memang dia tidak kasih.

akibat coba-coba slow sync flash siang hari

Anu… walau agak mendingan daripada Lumix atau Olympus yang tidak ada meteran jarak MF di layarnya, tapi kamera ini agak merepotkan juga. Alih-alih bisa simpan pre distance jarak macam GR, ini setiap kameranya dimatikan maka jaraknya reset ke infiniti. Dilema juga kalau di jalanan, untuk menghemat baterai tentu kamera jangan nyala terus, matikan saja dan begitu momen datang, on langsung snap. Kalau reset lagi, lama lagi. Sudah demikian, kamera ini tidak bisa memotret dalam kondisi layar padam (GR sih bisa). Lengkap sudah kesulitan, di atas semua itu… AFnya lambat haha.

Demikian, jelas tidak semua orang gaya motretnya seruduk keramaian seperti saya. Untuk yang motretnya casual nan santai, aman-aman saja sih.

Untuk situasi street, selain layarnya tidak sensitif sentuhan, juga tidak bisa ditekuk. Pada shoot low angle, ada lampu kecil sekali menghadap ke atas. Kalau pakai AF, nanti menyala hijau semisal fokusnya dapet. Fokusnya ke subjek atau background ya bergantung kalian taruh kursor fokusnya di mana. Tapi kalau malam dan agak sulit fokus, nanti lampunya merah. Ini lumayan berguna. 

Bagaimana rasanya memotret pakai kamera ini? jawabannya biasa-biasa saja kok, tidak ada bedanya.

Hasil fotonya saya suka sekali, warnanya natural. Ketajaman mirip-mirip GR dan X70. Detail sangat kaya. File RAWnya sangat bisa diangkat. Selaku biasa pakai Lumix, saya bahagia sekali. Tapi kalau asalnya pakai Fuji ya biasa saja. Eh, ukuran filenya juga kecil, sangat ramah storage, padahal RAWnya uncompressed.

file RAW sangat fleksibel, enak

Ketika flash slow sync, efek motion blurnya agak gimana ya… lebih blur dan bergelombang, gak tau kenapa. Ini menyenangkan. Dan untuk foto seperti ini sudah pasti kita harus pakai zone focus semeter… AFnya gak kuat kalau malam.

dan kadang efek slow sync flash tidak muncul sama sekali -,-

ISO sampai 3200 masih terpakai, di atas itu sudah sangat berbintik. Saya sih tidak masalah karena daripada angkat ISO saya lebih suka angkat flash. Ada auto ISO tapi setingnya di dalam, dan sekali pilih auto maka tidak bisa geser ke manual, harus balik lagi ke dalam. 

Baterainya seperti yang dipakai di Nikon 1, saya cek masih banyak yang jual Kingma dan Wasabi jadi aman lah. Performa lumayan, lebih bagus daripada X70 dan GR. Bukan karena baterainya baru, tapi ya saya bisa merasakan lah bedanya, lagian ukurannya memang lebih besar. Oh iya, tidak ada wifi, jadi untuk SOOC mania… ya harap lebih bersabar, atau pakai USB card reader saja.

Kamera ini tentu saja bisa untuk rekam video tapi jangan harap hasilnya bagus. Disebut layak pun susah. Selain karena ini teknologi 2013, dari awal pun memang bukan untuk video. Bahkan tidak ada record button di kamera ini, lalu jika sangat ingin masuk mode video pun… agak tersembunyi. Tidak ada di mode dial, adanya di paling bawah shooting drive mode. Sepertinya Nikon tidak ingin kita bikin video pakai kamera ini. 

So, gimana, layak beli gak? kelihatannya ada banyak hal yang saya keluhkan ya, dan gilanya dari awal saya sudah tahu kok dan tidak berharap banyak. Mungkin karena saya semakin hebat jadinya kameranya tidak usah hebat-hebat. Lain cerita kalau kamu bodoh, ya kameranya yang harus pintar.

Sejujurnya saya tidak begitu nyaman pakai kamera ini, tapi tidak ada pilihan lain. Kebanyakan kendala yang saya alami ya sistemnya. Bukan kolot, tapi memang tidak cerdas. Ricoh GR pun tampilan menunya rumit tapi logis dan lengkap. Satu-satunya yang bagus hanya hasil fotonya. Sisanya gak enak.

Hal yang umum dan biasanya ada di kamera serupa nan seumuran tapi TIDAK ADA di kamera ini :

layar sentuh, pengaturan preview exposure, wifi, pilihan aspect ratio, kursor titik AF dengan warna selain merah -,- , focus peaking, pre distance focus yang tidak reset kalau kamera mati, sleep mode (langsung mati, ga ada sleep), kustomisasi tombol FN, menggatur nama file dari kamera, auto ISO langsung, record button, kustomisasi JPEG, hapus foto sekaligus banyak, dll.

Banyak hal yang tidak ada lho. Bukan berarti GR atau X70 kaya fitur, melainkan Coolpix A banyak hilangnya. Ibaratnya sama-sama mau naik gunung, si GR dan X70 peralatannya bawa banyak lengkap… si Coolpix ini cuma bawa baju dan celana yang menempel di badan.

Dari semua poin di atas, ada yang sangat krusial, ada juga yang tidak penting-penting amat. Kalau bisa berdamai dengan hal-hal itu, ya silakan cari benda ini… memang hemat banyak daripada X70 atau GR II (dan ini baru bukan seken), tapi apakah kalian juga mau berhemat-hemat soal fitur…?

bersama zine terbaru STORYOFTHESTREET, bisa dibeli di sini

Lagian pertanyaannya, bukan layak beli atau tidak, tapi barangnya ada atau tidak. Kalau harganya mirip dengan GR atau X70, jangan ambil ini. GR dan X70 lebih mudah digunakan, aksesoris lebih mudah dicari, dan ketika bosan ingin dijual pun bakal lebih cepat laku. Namun dengan melihat GR dan X70 semakin gaib dan digoreng harganya, berharaplah kamera ini mendadak banyak di Tokopedia dan tidak ikutan digoreng.

Tapi susah sih, lapak yang saya beli mendadak kosong setelah saya bikin artikel sebelumnya. Warga binaan saya ikut-ikutan beli. Ya.. saya harus gimana? menyembunyikan fakta bahwa masih ada hidden gems di dunia pocket premium? saya rasa sih kalau kamu punya uang dan memang ingin, ya belilah. Saya juga gak tahu kenapa beli ini… saya tidak mau menyarankan orang untuk beli kamera karena hasil fotonya doang karena kalau soal hasil fotonya bagus, ya gimana orangnya, dan juga kecocokan dengan kamera itu sendiri. Jangan-jangan karena pakainya pusing, kemampuan jadi gak keluar, ‘kan bahaya juga…

Kelihatannya saya benci sekali ya pakai ini, sebenernya enggak. Dari segala kerumitan itu, malah bikin saya suka sih. Buktinya saya bisa bikin foto yang serupa dengan kamera lain, artinya dia berfungsi sebagaimana yang saya butuhkan. Sudah kadung dibeli juga. Kalau saya jual lagi pun belum tentu ada yang beli, atau minimal nyari…

Karena kamera ini sudah dilupakan kok. Bahkan oleh pembuatnya.

X
Facebook
WhatsApp
Email
Pinterest
Telegram