Aku melihat foto-foto lama yang kuarsip dengan rapi. Kadang juga langsung kepikiran, “orang-orang ini kabarnya gimana ya sekarang…?”

Begitulah caraku kalau lagi datang yang namanya malas memotret. Apalagi sudah masuk musimnya, sore itu pasti mendung. Jangankan dengan cahaya yang buruk ‘kan, di kota ini cahayanya bagus saja masih agak engap-engapan untuk bisa bikin foto yang bagus.
Selain juga sesekali aku nonton video-video street fotografi luar negeri, yang walau lumayan agak bikin bersemangat tapi setelah aku ingat bahwa kondisi di sini dan di sana sama sekali berbeda, ya begitulah. Maka cara paling bener ya flashback lihat koleksi foto-foto lama. Soalnya ya… itu ‘kan fotografernya aku sendiri, lokasinya juga aku tahu. Kalau di masa lalu aku bisa bikin foto begitu, mestinya di masa sekarang tidak ada masalah.
Tapi tidak sesimpel itu juga…

Dari semua foto yang pernah kuambil, ini adalah foto yang paling aku sukai. Hanya foto sederhana saja sebetulnya, tapi menyimpan banyak kenangan. Di tahun 2017, lokasi pada foto itu masih sangat ramai, pokoknya menyenangkan kalau hunting di sana. Malang, selepas pandemi zombie, tempat itu tidak pernah pulih lagi. Seberapa pun aku berharap, mengembalikan kehidupan di sana seperti semula hanya tinggal angan-angan.
Dan seberapa besar pun keinginanku untuk berjumpa dengan dua sosok di dalam foto itu, sepertinya tidak bisa. Aku tidak kenal siapa mereka, memang tidak pernah kenalan juga, itu foto snap-snap stranger. Padahal motretnya dari jarak sangat dekat, itu pakai Ricoh GR jadi sudah pasti settingnya snap 1 meter. Aku sekadar ingin berterima kasih saja pada mereka. Namun anggaplah tiba-tiba aku bikin sayembara, temukan sosok dalam foto itu nanti kuberi hadiah, ya susah juga… wajahnya memang tidak terlihat.
Rasanya kok seperti melihat foto orang yang sudah mati ya. Mustahil benar untuk berjumpa lagi.
Untuk foto di atas okelah, karena murni snap-snap orang asing dan tidak terlihat juga wajahnya. Namun sering juga aku meminta orang asing untuk berpose atau minimal diam untuk satu dua menit untuk aku jepret. Apakah kisahnya berbeda…?

Tidak juga sih. Jaman dulu aku ini murni hanya di jalanan, tidak mau sengaja janjian dengan model di suatu tempat. Akibatnya, setelah menjepret, aku hanya mengucap terima kasih lalu melanjutkan hunting. Tanpa punya ide untuk berkenalan atau tukar kontak, supaya di kemudian hari bisa foto-foto lagi. Sialan… dahulu aku terlalu idealis. Aku meyakini, sesuatu yang tidak direncanakan malah akan selalu lebih bagus daripada pertemuan berikutnya, rasa asyik dan alami akan jauh berkurang. Makanya daripada repot-repot kenalan dan bikin rencana, mendingan aku berburu yang baru.

Mungkin dari setiap seratus orang yang kucegat untuk street portrait, hanya satu yang bertukar kontak denganku. Itu pun kalau ceweknya yang minta dan benar-benar terlihat bersahabat. Apakah setelah tukar kontak ke depannya bakal ada sesi foto berikutnya? bisa iya bisa tidak. Ada yang berlanjut, ada juga yang tidak.

Apakah aku menyesal tidak minta satu per satu kontaknya? tidak sepenuhnya sih, walau mungkin kita seharusnya lebih terbuka terhadap kemungkinan lain di masa depan.
Sekarang ketika aku mulai menyukai portrait beneran, ya walau pun masih di jalanan, aku kerap membayangkan… seandainya bisa bertemu lagi dengan orang-orang ini. Dahulu aku penuh semangat di jalanan, lihat sosok yang keren, langsung aku samperin… kadang sampai ngejar ke atas jembatan penyeberangan, di antara tukang makanan, atau malah ikutan naik ke angkot. Tapi ya itu dulu, situasi sosialnya pun beda dengan sekarang. Masih gampang menemukan cewek cantik berjalan di trotoar atau berdiri tepi jalan menunggu bus / angkot. Di era ojek dan taksi online ini, sekarang semuanya naik dan turun depan pintu.


berharap bertemu dia lagi kayak waktu dahulu…
Faktor lokasi hunting pun berubah sama sekali. Sehubungan dengan lokasi kesukaanku yang mati total, aku terpaksa pindah. bagaimana pun, tujuan utamanya adalah menemukan keramaian, terpaksalah aku geser ke kawasan Braga, mainstream sekali. Awalnya sih lancar-lancar saja, walau semasa pandemi orang-orangnya pakai masker. Sudah mah backgroundnya dari ujung ke ujung begitu-begitu saja, kumuh, orangnya juga jadi kelihatan mirip semua.

Namun menjamurlah yang namanya “jasa foto keliling”… sebetulnya aku ingin sekali terlihat netral dan tidak ikut campur karena bagaimana pun mereka kerja cari makan. Namun efeknya terasa sekali, selain spot-spot potensial mulai habis diklaim, mengajak orang asing street portrait pun jadi susah. Belum apa-apa mereka kabur lihat kamera, pasti tadi sudah ada yang nawar-nawarin. Sering aku harus menjelaskan bahwa aku tidak akan minta uang, kalau perlu aku yang bayar. Tapi ya begitulah…
Seandainya diadakan voting dan suaraku ini ada nilainya, maka aku akan memilih untuk tidak usah ada. Namun kenyataannya ‘kan tidak demikian.
Saking sukanya portrait dan ingin punya lagi model yang bisa rutin diajak foto, aku sampai menghadiri acara-acara cosplay. Namun tidak lama juga karena rasanya tidak sesuai dengan ambisiku. Sudahlah, balik lagi saja ke lokasi yang potensinya tidak terbatas… : jalalan.
Kembali lagi ke sosok-sosok yang ada dalam foto. Ya.. pada akhirnya, mereka hidup di dalam foto. Seperti kalau rindu mantan, yang kita rindukan ‘kan bukan sosoknya melainkan kenangannya. Syukurlah aku sempat memotret mereka, walau aku tidak kenal juga siapa. Walau kadang kepikiran, bagaimana kehidupan mereka sekarang, tapi ya aku tidak tahu juga jawabannya. Aku sih berharap mereka sehat-sehat saja dan makin cantik.

lalu kakak ini apakah masih kerja di sana…?
Aku terus memotret di jalanan kok. Kalau suatu hari bertemu lagi mereka, aku pasti ingat dan akan kusapa, kutunjukkan foto-foto di masa lalu. Semoga mereka pun tidak pernah melupakanku.

