Kamera 5 juta vs 25 juta, di Jalanan…

Dalam rangka kampanye motret hemat dan efektif, akan saya komparasi antara kamera murah dan kamera mahal dalam situasi yang nyata, yakni di jalanan…

Supaya tidak ada perang antar merek, maka dua kamera yang digunakan berasal dari merek yang sama yaitu Fujifilm. Ya karena saya sangat familiar dan punya untuk waktu yang lama. Jadi saya tidak akan membandingkan benda yang tidak pernah saya punya, karena itu tidak masuk akal dengan hanya melihat spek di atas kertas tanpa pernah memiliki dan menggunakan dalam jangka waktu yang cukup.

Catatan : saya bukan fans Fujifilm. Saya netral dan beli kamera dari merek apa saja.

Keduanya berjenis sama yaitu “premium compact” (atau apapun istilahnya), sama-sama tidak bisa ganti lensa, dan juga sangat dikenal sebagai “kamera street”, yaitu X70 mewakili kamera 5 jutaan (walau kadang lebih) dan X100V alias si hipster yang harganya semakin digoreng.

Komparasi ini sangat jauh dari ilmiah, tidak akan ada studio test, resolusi dan sebagainya, karena situasi itu tidak nyata dan saya hanya akan berfokus pada rasa memotret di jalanan. Bahkan foto yang disajikan pun tidak side by side diambil bersamaan, ya karena saya tidak pernah punya dua kamera itu secara bersamaan. Tapi percayalah, saya selalu memotret subjek yang sama, dengan cara yang sama, dan dengan pencahayaan serta seting kamera yang sama. Saya tahu apa yang saya bicarakan, jangan khawatir.

1. Handling dan kontrol di jalanan

Secara dimensi dan bobot agak jauh, termasuk baterai dan SD card, X70 beratnya 340 gram, sedangkan X100V 478 gram. X100V juga lebih bongsor, kendati banyak orang masih bisa menyebutnya “kompak” dan cocok untuk di jalanan, tapi ya X70 lebih akurat lagi untuk dapat segala predikat tersebut.

Keduanya punya layar yang bisa ditekuk, tapi X70 bisa flip sampai posisi selfie, yang mana sangat tidak penting buat saya haha. Juga keduanya sensitif sentuhan, membantu untuk secara cepat memindahkan titik fokus, kendati X100V juga dilengkapi joystik yang fungsinya sama tapi penerapannya berbeda. Joystik itu bisa digunakan ketika kita tidak bisa menyentuh layar, pada situasi apa? pada situasi kita membidik pakai viewfinder tentunya… X100V memang punya hybrid OVF yang sudah terkenal sejak dulu. Belum termasuk resolusi layarnya yang 160% lebih tajam dari X70, bikin foto terlihat auto bagus.

X70 masih pakai susunan tombol tradisional seperti X-E2 dan sejenisnya, sedangkan X100V sudah menghilangkan tombol empat arah. Saya selalu mempertanyakan hal ini, karena yang hilang hanya tombolnya saja, ruang kosongnya masih ada. Lain cerita kalau ruang yang seharusnya untuk tombol tuh dibuang sekalian, nah itu mantap, jelas tujuannya, membuat kamera lebih ringkas. Ini sih cuma bikin susah orang saja.

Terlebih, saya sangat tidak suka dengan roda ISO manual yang satu rumah dengan shutter speed. Harus diangkat dulu, cukup butuh effort. Ini cerdas memanfaatkan ruang tapi tidak enak dipakai. Itulah sebabnya saya selalu set satu tombol FN khusus untuk ISO semua stop. Pada X70, lebih banyak tombol FN fisik yang bisa saya kustom sesuai kebutuhan dan kenyamanan. Di X100V tidak begitu, paling cuma satu atau dua, itu pun rebutan dengan fungsi lain yang ingin juga saya bikin pintas.

Tapi seperti Fuji lainnya yang agak baru, X100V bisa bikin tombol FN sebagai menu di tampilan, ya mirip-mirip Lumix tahun 2011. Namun penerapannya sangat kurang enak, harus swipe layar dulu dan kadang tidak respon. Ini kontradiksi… dia bikin kamera modelnya full analog, tapi tombol FN dioperasikan secara terlalu modern.

X100V memang tahan hujan, selama kita pasang UV filter dan hood, aman. Sayang sekali, orang-orang di jalanan tidak. Dengan FL 35mm, sudah pasti apa yang ingin kamu portret harus ada di hadapanmu. Percuma kameranya tahan hujan kalau tidak ada apapun di jalanan saat hujan. Kendati demikian, jelas itu lumayan berguna untuk ketenangan batin saat mulai gerimis.

Overall, kecuali saya berniat flexing kepada user X-A5 yang bertebaran di Braga, saya lebih nyaman bawa-bawa X70 daripada X100V. Lebih ringan, simpel, dan tanpa kerumitan yang tidak perlu. Pakai X100V memang bisa membidik pakai OVF tapi itu tidak mau saya terapkan di jalanan karena bikin saya terlihat jelas sedang membidik sesuatu, bikin subjek foto jadi waspada dan malah menghindar.

Skor : X70 1-0 X100V

2. Auto fokus

Tentu sangat penting sekali terutama di jalanan, yang mana situasinya kadang tak terduga. Di sini, usia berbicara. Selisih beberapa tahun serta dua generasi prosesor, X100V menang telak. Pada cahaya melimpah dan situasi yang santai-santai saja, X70 tidak bisa dikatakan lambat kok. Namun begitu agak redup apalagi malam hari, langsung tuh AF hunting terus-terusan karena kewalahan… sedangkan X100V adem-adem saja.

Sejujurnya tidak butuh juga sih X100V 25 juta untuk bisa AF nyaman malam-malam. Kurang lebih Sony A6300 yang hanya 7 jutaan juga secepat itu atau bahkan lebih. 

Kalau lagi pakai X70, kondisi malam sudah pasti saya pakai zone fokus (malah siang-siang juga, bukan karena AF siang buruk tapi saya memang sukanya zone fokus). Dan memang sebaiknya ring MF pada X70 dipakai untuk set zone fokus sekali saja, jangan terus-terusan sengaja MF kalau tidak penting, soalnya lensa kamera ini tipis sekali, muter-muter tidak enak, mepet sana-sini. Di X100V agak mendingan, lebih tebal beberapa mili walau sama juga tidak enak.

Intinya, ya… X100V menang. Jauh.

Skor : X70 1-1 X100V

Saat kalian membaca tulisan ini, pre-order sudah berakhir… tapi kayaknya ada stok deh di Tokopedia , cek aja.

3. Daya tahan baterai

Karena di jalanan, kita bisa memotret sampai lupa waktu. Dari dulu sampai sekarang, mirrorless ya begitu, nyaris pasti kita harus punya baterai cadangan. Pertanyaannya, berapa banyak yang harus dibawa…?

Well, saya bisa mengabarkan dengan yakin, bahwa tidak ada kegilaan berarti pada daya tahan kedua kamera. Tidak seperti Ricoh GR III yang bisa tewas dalam setengah jam, pada Fuji aman-aman saja sih.

Tapi ukuran baterai serta teknologi efisiensi memang berbeda, walau pakai NP-W126s yang sudah ada beberapa tahun di pasaran, X100V jauh lebih hemat daripada X-T3 dan semacamnya yang pakai baterai serupa. Kadang satu baterai masih sisa setelah saya nyetrit sepanjang sore. Sedangkan X70 pakai NP-95 yang tipis itu. Dari dimensi saja sudah setengahnya, dan memang begitu… untuk sekali hunting, saya baru merasa tenang kalau bawa baterai tiga biji.

Saya gembira mengabarkan bahwa baterai third party untuk mereka ada banyak, Wasabi dan Patona paling saya rekomendasikan, dan sebaiknya harus beli yang sepaket charger external lantaran kedua kamera ini tidak memberi charger external. X70 masih mending, dikasih yang dicolok ke body. X100V parah banget cuma ngasih kabel. Ini gila… mereka mau meniru iPhone apa gimana sih… kok kardusnya tetep besar… sangat mengagetkan brand sekelas Fujifilm, tidak bisa membedakan perilaku mengecas kamera dengan smartphone. Pada kamera, kita bisa punya sepuluh baterai, pada smartphone ‘kan tidak begitu… apa kabar kalau harus charge sepuluh baterai saat travel? abis itu body panas dijadikan adaptor charger… dan apa mereka tidak tahu, kita-kita memang pasti punya kepala charger, tapi berapa watt? apa kabar kalau hape saya OnePlus dan semacamnya yang chargernya 120 watt? meleduk itu body… aaaahh… konyol. 

Apapun itu, ya, X100V menang di daya tahan baterai. Lebih luwes dan tidak sering-sering ganti baterai pas hunting.

Skor : X70 1-2 X100V

4. Hasil foto

Karena tidak pakai studio test yang mencakup ketajaman dll, ini bisa sangat subjektif. Bagi para maniak Fuji sejak dulu seperti saya – eh salah, saya bukan fans Fuji kok – , maka output dari X-trans 2 selalu paling nyaman di mata. Feel tone warna analog yang sudah melegenda itu, begitu terasa alami dan tidak berlebihan. Demikian pada X100V, film simulasi sudah semakin banyak… yang mana sebetulnya itu hanya filter racikan software, jadi jangan pernah beli kamera Fuji terbaru hanya demi film simulasi… racik saja, banyak di Google. 

Saya malah tidak suka itu yang namanya Classic Negative karena coklat semuanya… pun begitu dengan segala filter BW bawaan Fuji, tidak ada satu pun yang mendekati olahan Silver Efex, atau minimal preset VSCO… atau bahkan filter BW pada Ricoh GR. Jadi film simulasi tidak ngaruh apapun buat saya, toh saya bakal pakai standar (Provia disebutnya).

Kenapa tidak saya bahas 16mp vs 26mp? ya karena apa pentingnya… selain bisa crop lebih luas dan cetak segede mobil. Selain itu, cuma bikin berat pas ngedit dan memori cepat penuh. Belum lagi RAW Fuji yang entah kenapa… Macbook M1 saja masih berat buat sekadar preview… aaah. Kenapa pula tidak saya bahas ketajaman? karena itu lebih tidak penting lagi hahaha. Akhirnya lensa 23/2 di X100 series tidak soft di wide open, tapi F/2.8 wide open X70 tidak pernah ada masalah soft. File X100V jauh lebih clean dari noise pada ISO tinggi… tapi sekali lagi, apaan sih tajam-tajaman dan bersih dari noise… kita yang hidup di dunia street, tidak mencari kesempurnaan.

Buat saya, tidak ada yang lebih istimewa satu sama lain. Tidak signifikan dan perbedaan tipis-tipis bisa dengan mudah hilang dengan sedikit penyesuaian. Hasilnya imbang, sama baiknya, jadi masing-masing dapat poin… Tapi karena subjektifitas saya yang tidak menghitung lebih tajam dan lebih clean itu sebagai sesuatu yang bikin lebih bagus untuk di jalanan, maka X100V tidak lebih oke dibanding X70.

Skor : X70 2-3 X100V

5. Lain-lain.

IBIS / OIS : tidak ada, dan tidak butuh untuk kamera dengan lensa wide leaf shutter, tapi kalau ada ya boleh juga, jangan pelit-pelit lah, Leica Q aja ada. Burst rate menang X100V kalau memang ingin. Video tidak ada kontes karena jauh bagusan X100V tapi sayang kita tidak mengadakan kontes video. Untuk rasa “stealth” ala ninja di jalanan, X70 jelas karena lebih kecil dan seperti mainan, kamu jadi terlihat macam turis, ini lumayan menurunkan kewaspadaan target foto.

Flash pada kedua kamera ini sama saja, ada dan sangat berguna, hanya saja kalau mau ngeflash pakai flash internal, jangan pakai lens hood karena bakal berbayang. Sedangkan untuk speed berapa pun, pasti sync karena leaf shutter. Ada yang agak mengganjal pada X70 yakni kalau mau mode “slow sync” aktif, maka shutter speed harus auto. Awalnya saya mengira ini bodoh sekali karena kalau ada salah satu yang auto, pasti kamera akan mengompensasi setingan jadi senormal mungkin. Tapi ternyata tidak, dia paham keinginan saya, speed pasti di sekitar 1/15-1/20″ kalau pakai auto slow sync. X70 oke.. yang parah X100T, sama juga begitu tapi auto SS ngaco bakal jadi panjang sekali. Sedangkan di X100V tidak ada masalah apa pun.

Entah juga untuk alasan apa, X100V selalu terasa hangat cenderung panas di tangan. Kebanyakan orang yang menggantung kamera di leher mungkin tidak sadar, tapi saya selalu pakai hand strap jadi kamera selalu saya genggam. Mungkin efek prosesor yang terlalu bekerja keras atau apalah… tapi tidak terlalu mengganggu juga sih.

Tidak ada penambahan skor, karena itu hal yang masing-masing saja, sekadar untuk diketahui. Skor akhirnya tetap 3-2 untuk X100V.

Saya saat ini pakai kamera 5 jutaan kok… tapi Nikon Coolpix A, ya karena X70 langka sekali…

Waaah… kejutan sekali ya, X100V menang. Di luar fakta bahwa kedua kamera itu langka bukan main, yang saya sudah bosan membahasnya, tapi hasilnya seperti sudah bisa ditebak… Ya iyalah, harganya lima kali lipat. Kemenangannya yang tipis dan malah membuktikan bahwa kamera murah tidak terlalu inferior apalagi dalam situasi street fotografi. Itulah mengapa saya selalu menyakinkan bahwa kita tidak butuh kamera mahal untuk street fotografi. Terkadang kalau kameranya tidak terlalu hebat, malah akan mendorong kita untuk lebih kreatif dan berimprovisasi.

Sekian artikel kali ini. Jangan lupa beli buku saya, dan jangan lupa untuk selalu memotret!