Dahulu kala, saya ingin sekali membuat foto seperti ini. Tapi saya tidak tahu caranya, mau cari di Google pun susah karena ya tidak tahu apa kata kuncinya haha.
Dan saya benar-benar tidak menemukan atau diajarkan oleh siapapun haha, sial sekali. Dulu lihat foto-foto street Tatsuo, kok asik bener ya. Jadinya ngulik sendiri, ternyata kuncinya adalah shutter speed. Yang menyebalkan, ketika saya sudah mahir, barulah tahu bahwa teknik ini disebutnya slow sync flash. Ya sudahlah, tidak masalah juga bisa tanpa diajari siapa pun, malah lebih puas.
Sekarang karena bisa dibilang saya hebat sekali dalam hal ini, maka saya punya tanggung jawab moral untuk mengajarkan pada mereka yang belum tahu. Buat yang sudah tahu, ya sudah. Tapi bagi mereka yang belum, teknik ini dapat terlihat sangat menakjubkan. Faktanya, setengah dari mereka yang untuk pertama kalinya hunting bareng sama saya, selalu minta diajarkan, artinya ya memang perlu ada sedikit bimbingan.

Akan saya jelaskan dengan sederhana, dan disertai contoh foto bahkan grafis mengenai gerakan tangannya. Perlu diingat, saya hanya akan mengajarkan teknik memotret dan settingan kameranya saja. Perkara bagaimanakah supaya berani ngeflash orang asing di jalanan, itu cari saja di artikel lainnya, karena bisa panjang lagi bahasannya.
Ada tiga hal yang sangat menentukan dalam memotret seperti ini.
Pertama, adalah settingan kamera. Sebenarnya sih, kunci paling utama dari teknik ini adalah shutter speed. Semakin lambat maka efek ekor cahaya serta motion blur akan semakin panjang. Berapa angka yang pas? tidak ada, semua bergantung selera dan tujuan hasil yang diinginkan. Untuk patokan saja, saya selalu pakai 1/15″ pada kamera yang tidak ada IBIS / OIS semisal GR atau Coolpix A, dan 1/10″ di kamera yang ada IBIS seperti Lumix atau Olympus. Sebagai catatan saja, IBIS pada kamera Lumix dan Olympus terlalu bagus, bisa saja hentakkan yang kita buat malah terkompensasi, ada baiknya untuk coba-coba matikan saja stabilizernya. Ya gimana ya, dia lima jutaan aja udah 5 axis IBIS, kalau pakai Fuji minimal keluar dulu 15 juta untuk menikmati IBIS hahaha.
Bagaimana dengan dua unsur eksposur lainnya yakni F dan ISO? F bergantung selera, kalau ingin motion blur sekaligus isolasi subjek dengan background ya pakai F kecil saja, kalau saya sih ingin background tetap terlihat dan tajam jadinya hampir pasti selalu di F/8. ISO, harus manual, tidak boleh auto, soalnya kalau auto nanti kameranya akan mikir untuk bikin eksposure yang “normal” sedangkan teknik ini bisa dibilang tidak normal. Nah angkanya menyesuaikan saja, saya biasanya di 500-800. Mungkin lebih tinggi kalau pakai Fuji karena ISO dia bohong.
Untuk setingan flash, saya sederhanakan saja dengan asumsi kamera kamu ada flash internal. Meski pakai flash tancap pasti lebih bagus, tapi merepotkan dan cahayanya malah terlalu rapi sedangkan gaya foto ini tidak mencari kesempurnaan. Lagipula, betapa berat muter-muter kamera yang ada flash raksasa tertancap di atasnya. Pokoknya, pilih saja opsi “2nd curtain” atau “rear curtain” di menu flashnya, lalu juga “slow sync” dan “TTL”. Kadang semua pilihan itu ada, kadang salah satu tidak ada, bergantung merek kameranya. Yang mana sebetulnya, yang penting itu hanya “2nd curtain” saja, karena kalau tidak pakai “1st curtain” nanti efeknya agak aneh, bayangan akan mendahului subjeknya. Kadang ini bisa saja dicoba untuk eksperimen, tapi pada kebanyakan situasi, pilih 2nd curtain jauh lebih meyakinkan.

Kekuatan flash full saja. Jangan dibikin minus atau plus. Jika pakai flash bawaan pada kamera, jarak optimal dengan subjek adalah 1-1,5 meter dengan catatan lensanya 28-35mm. Lebih jauh dari itu, flash tidak akan kena, subjek tidak akan lebih menonjol daripada background di sekitarnya.
Penting diketahui bahwa beda kamera beda juga tampilan pada layarnya ketika menerapkan segitiga eksposur yang tidak wajar. Ada yang gelap sekali, ada juga yang malah terang sekali. Biasanya ada tuh pilihan untuk “constant preview” kayak di Lumix, atau tidak ada sama sekali semisal di Ricoh. Ini sih gimana enaknya saja, selama kamu masih bisa melihat komposisi, sudah cukup mestinya.
Juga pasti disadari bahwa tidak semua dari kita pakai kamera Sony, jadi kadang kala auto fokus terasa drop sekali pada kondisi malam hari. Saran saya sih, kalau AF kamera kamu bagus banget atau subjeknya diam alias teman sendiri, ya tidak apa-apa pakai AF. Namun kalau subjeknya orang asing apalagi berjalan dengan cepat, zone fokus sahabat kita. Seperti apa itu? sudah sering saya bahas, coba saja baca di sini.
Poin kedua, adalah kondisi cahaya di sekitar. Perlu dipahami bahwa efek-efek cahaya itu hanya akan sempurna pada kondisi langit gelap total, bukan saat mendung sore. Dan di belakangnya harus ada lampu-lampu, semakin banyak dan bergerak semakin bagus, hal termudahnya adalah mobil-mobil yang lewat atau lampu jalanan. Usahakan juga subjek tidak berdiri membelakangi cahaya yang terlalu kuat semisal di depan Alfamart, karena highlight lebih kuat daripada cahaya flash, akibatnya subjek kalah terang… berefek pada subjek jadi agak transparan seperti termakan cahaya di belakangnya. Ini tidak berarti sebuah kegagalan karena jika efek seperti itu yang dicari, ya lakukan saja.

Bukan tidak bisa sore-sore, ya bisa saja. Tapi karena cahaya masih kuat, dan pasti juga belum banyak lampu-lampu nyala di jalanan, jadinya hasil agak-agak berbeda. Setting kamera juga jadi rumit karena tetap saja hal terpenting dari teknik ini adalah shutter speed. Karena SS lambat, ISO harus mengompensasi. Kadang sudah set terendah di 100 pun masih tetap terang. Menurunkan F stop melebihi F/8 akan bikin foto jadi hancur. ND filter mungkin akan membantu, tapi kalau kamu pakai Ricoh GR atau Coolpix A… tidak ada ulir untuk pasang filter pada lensanya.

Saya rasa, akan lebih mudah dan benar untuk melakukan teknik ini di malam hari dengan lampu-lampu yang meriah. Kalau cahaya di sekitar sudah mendukung, akan sangat enak untuk berkreasi dengan teknik spesial yang dibahas di paragraf berikutnya…
Tapi sebelum itu…
Lihat sendiri ‘kan, saya punya tanggung jawab moral untuk mengajarkan teknik-teknik pada pemula. Lebih dari itu, masih banyak hal yang bisa bikin kalian makin hebat. Makanya, jangan lupa beli “The Book of Street Portrait” vol 3, tersedia sampai tanggal 11 Januari 2024. Saat kalian membaca tulisan ini, pre-order sudah berakhir… tapi kayaknya ada stok deh di Tokopedia , cek aja.
Ketiga, adalah skill yang akan dikuasai sedikit demi sedikit, dan bakal sangat berpengaruh pada hasil akhir foto. Yakni gerakan tangan saat memotret. Singkatnya, kamera tidak boleh hanya diam saja. Inilah mengapa pada poin pertama, sedikit dibahas mengenai IBIS.
Jadi kurang lebih ada tiga variasi gerakan yang tentunya akan bikin hasil jadi beda-beda. Saya urutkan dari yang termudah hingga tersulit, dilengkapi ilustrasi kameranya (meski agak kurang akurat karena pada grafis itu kameranya GR III sedangkan kamera tersebut tidak ada flash haha).

Penting : semua gerakan ini dilakukan tepat sesaat setelah shutter ditekan, dan berakhir sebelum eksposur selesai. Sederhananya, jika durasi adalah 0,25 detik, maka gerakan dilakukan pada detik 0,01 dan berhenti di detik 0,24. Luar biasa terdengar rumit ‘kan, tapi aslinya mudah saja sih apalagi setelah banyak berlatih.
Gerakan pertama adalah panning, dan ini harus mengikuti gerakan subjek jika subjeknya berjalan. Maka subjek akan fokus tajam, motion blur pada background jadi dinamis. Jika subjeknya diam tapi kita terapkan gerakan ini, maka bakal ada sedikit efek roh keluar dari tubuh si subjek, sedangkan backgroundnya statis. Ini buruk dan terlihat sangat amatir. Eh, tidak harus ke samping kok, mau ke atas juga bisa, nanti dilanjut pada poin keempat.


Gerakan kedua, jika memang subjenya diam saja atau panning dirasa kurang pas, maka lakukan gerakan kamera berputar ke samping sambil dihentak sedikit. Cara ini kadang agak gambling, bisa jadi bagus sekali atau buruk sekali karena jika timing tidak pas, kilatan flash bisa melenceng dari subjek. Tapi jika dilakukan dengan benar, hasilnya akan bagus.


Gerakan ketiga, ini kesukaan saya, yakni memutar kamera, bisa searah jarum jam atau berlawanan, sama saja. Tapi orang yang tidak kidal, pasti secara natural akan bikin gerakan memutar searah jarum jam. Lihat baik-baik ilustrasinya, posisi awal kamera adalah miring sekitar 30 derajat , dan berakhir juga pada kemiringan yang sama. Kurang lebih kamera diputar sekitar 220 derajat.
Jika posisi awal kamera tegak lurus dan berakhir miring, atau awalnya miring tapi berakhir tegak, maka… ya fotonya tetap jadi, tapi frame pasti miring kacau.


Gerakan keempat, yang paling sulit. Mirip dengan gerakan pertama, tapi arahnya vertikal. Tidak sulit untuk dilakukan sih, tapi sulit untuk melakukannya dengan benar. Karena jika terlalu berlebihan, sangat rentan subjek akan terpotong. Saya selalu menargetkan satu meter dengan subjek, itu dari ujung kepala sampai dada harus masuk, kalau lebih ya tak apa tinggal crop. Kalau pakai begini-begini, kadang terlalu atas atau terlalu bawah ketika gagal, soalnya jarak panning tidak sebanyak ketika panning horizontal.


Timing dan eksekusi harus sangat pas. Tapi sulit bukan berarti tidak bisa, terus saja berlatih. Nanti kalau tangan dan mata sudah semakin sinkron, bisa semakin diperbuas, kayak foto di bawah ini.


Nah sekian pembahasan yang lumayan panjang ini. Saya rasa kalau suka nyetrit malam, jelas harus menguasai teknik ini. Karena nyetrit malam tanpa flash itu lebih banyak tidak enaknya dan datar-datar saja, lebih baik berani sedikit pakai flash, tapi jangan sembarang flash yang auto saja karena nanti hasilnya kayak kamera hp atau hipster camdig… lakukan variasi sedikit demi hasil yang lebih menakjubkan.




