Sekitar empat bulan lalu, aku beli kamera jadul. Kondisinya memang baru, tapi tetap saja sudah berusia sepuluh tahun. Tidak bisa dibilang murah juga, namun aku merasa sangat puas…
Sebetulnya begini… dari dulu apalagi sekarang, aku selalu yakin bahwa kamera itu tidak ada kadaluarsanya. Sering ada video-video di Youtube yang kurang lebih judulnya agak clickbait, “mirrorless XX apakah masih layak di tahun XX?“. Yang tanpa harus ditonton pun aku sudah bisa menebak arah pembicaraan serta kesimpulan video tersebut. Tentu saja masih! makanya, judul-judul seperti itu hanya relevan untuk pembahasan smartphone, karena ada hardware yang bersinergi dengan software terbaru. Kalau kamera, ya gitu-gitu saja… hanya ada fotografer, kamera, dan subjek foto. Selesai.

Aku tidak ingat kalau semakin ke sini, subjek di jalanan tuh kecepatan jalan kakinya semakin ngebut, sehingga kita butuh sistem AF tracking yang semakin cepat. Aku tidak tahu apakah malam hari semakin gelap sehingga sekarang kita butuh ISO dua juta. Dan rasa-rasanya awan, pohon atau gedung pun masih begitu-begitu saja, tidak jadi makin bertekstur, jadi apa kepentingannya balapan megapiksel?
Apa yang berbeda dari hal yang difoto tahun 2013 dan 2023, sampai-sampai harus selalu beli kamera terbaru? tidak ada. Orang yang selalu memperbarui gear kadang lupa kalau ada hal lain yang harus kena pembaruan, yakni kemampuan sang fotografernya.
Anyway, kamera yang aku beli tuh Nikon Coolpix A. Sejujurnya aku beli karena tidak ada pilihan lain, karena harga bekas Ricoh GR II dan Fuji X70 semakin ngawang-ngawang plus kondisinya yang tentu tidak semakin prima karena terus dipakai oleh yang jual. Maka ketika aku lihat ada yang jual kamera ini dalam kondisi baru BNIB dengan harga yang sangat masuk akal, ya aku beli. Lagipula saat itu, kamera yang saya pakai (Lumix GX85) rusak flashnya… ah… aku tidak bisa hidup tanpa flash.
Sudah pernah saya bikin reviewnya, cek aja di sini. Itu pas kurang lebih satu pekan pemakaian. Sekarang setelah beberapa bulan, saya mulai merasakan perbedaan. Keluhan-keluhan yang awalnya ada di mana-mana, jadi makin tidak terasa. Saat memutuskan beli lagi kamera ini – sebelumnya saya pernah punya pas 2018 tapi sebentar saja – , yang aku ingat tuh kamera ini hasil fotonya enak, tapi AFnya jelek dan menunya jadul, itu saja.

Ketika awal-awal pakai, ya memang benar… hasil fotonya enak, AFnya jelek, menunya jadul. Ditambah lagi, menunya aneh dan rumit, banyak fitur yang harusnya ada tapi absen.
Paling pertama dulu deh, hasil fotonya. Saya tahu bahwa gak mungkin jelek, ini Nikon. Tapi yang aku kaget, aku tidak ingat kalau sebagus ini. Warnanya enak, dynamic range luas, detail mantap… sudah begitu, efek motion blurnya kalau bikin foto flash slow sync, benar-benar asyik. Namun kalau diingat kembali, kameranya ‘kan tidak berubah. Artinya ya… saya yang makin hebat. Maka kemungkinan, kalau kamu coba nostalgia beli kamera lama yang pernah dipunya, mungkin juga akan merasa demikian.
Menunya jadul, iya, masih benar. Dan akan selalu begitu karena kamera ini tidak mendapatkan update firmware apa pun. Ini tidak seperti Ricoh GR yang updatenya banyak sekali sampai bertahun-tahun. Ini lebih ke Fuji X70 yang cuma sekali doang. Namun setidaknya, si X70 sudah lengkap dan tidak ada yang perlu diperbaiki. Pada Nikon ini… wah kacau. Tentu, firmware update tidak akan bikin kameranya jadi ada wifi atau touch screen… tapi minimal, itu setingan zone focus jangan reset lah kalau kameranya dimatikan. Ini bikin saya harus terus-terusan nyala kameranya karena kalau mati, saya takut ketinggalan momen. Pakai AF sama sekali bukan pilihan. Ujung-ujungnya, pemakaian baterai jadi tidak efisien.

Kendati demikian, saya bisa menjamin, itu masuk ke menu utama cuma butuh sekali saja pas awal beli. Ke sananya ga perlu lagi. Hal-hal merepotkan seperti geser ISO atau kekuatan flash yang mesti dua tangan, lama-lama jadi sudah biasa. Dan saya dengan gembira mengabarkan, baterai pada kamera ini… luar biasa. Saya cuma beli satu baterai cadangan merek Wasabi, jadi punya dua. Dan tidak pernah habis dua-duanya saat hunting street. Sebagai perbandingan, dengan gaya motret yang sama, mungkin kalau pakai X70 saya sudah menghabiskan empat biji baterai, padahal kameranya bisa saya matikan karena zone focus tidak reset. Kalau GR III pasti saya sudah habis sepuluh baterai haha.
Shutter count tidak bisa dihitung, tapi saya bisa lihat dari penamaan file. Empat bulan sejak pembelian, saya sudah menjepret sekitar 4.000 kali. Ya.. kameranya saya bawa ke mana-mana, sebagai kamera utama. Mau street, portrait, atau acara keluarga pun, saya pakainya kamera ini. Memang tidak bisa transfer wifi ke iPhone untuk upload cepat, tapi saya pun memang tidak pernah wifi foto langsung… saya olah hitam-putih dulu di laptop. Panas-panasan hujan-hujanan saya pakai, dan masih seperti baru… tidak ada karet grip yang bakal jadi burik kayak Fuji X70, karena memang tidak ada gripnya…

Saya rasa, keluhan makin tidak ada, kecuali ya itu… jarak zone focus reset kalau kamera mati. Selebihnya, saya makin suka pada kamera ini. Tidak ada niatan ganti dalam waktu dekat… toh saya sudah tahu bakal motret apaan dan harus seperti apa kamera yang dipakai : kecil, 28mm, ada flash. Selesai, semuanya ada kok. Jika saya harus ganti kamera, mungkin bakal jadi Lumix GX9 dan lensa pancake. Karena sulit lagi cari kamera pocket premium 28mm, para produsen sudah berhenti bikin yang seperti ini. Terlebih dengan pengeluaran lima jutaan, susah lagi cari set-up yang enak.
Sayangnya, aku tidak bisa merekomendasikan Nikon Coolpix A pada siapa pun. Bukan tidak bagus, tapi barangnya tidak ada. Namun saya dengan penuh keyakinan, gak bakal larang-larang kalau kamu mau downgrade atau mulai hidup hemat dengan beli kamera jadul, apalagi yang dulu pernah dimiliki. Karena ya itu tadi, kamu bakal kaget, ternyata kameranya lebih enak dari yang diingat, soalnya kamu semakin hebat…

