Tempo hari terjadi peristiwa kecil di dunia street lokal, namun cukup membuat para sepuh gusar.
Harusnya dari dulu sih mereka gusar, kok baru sekarang. Tapi ya sudahlah. Pemicunya adalah seorang “street fotografer” yang sedang naik daun, yang selama ini dengan gagahnya selalu mengadakan hunting bareng berbayar, bikin event yang kayaknya sih untuk mengajarkan murid-muridnya yang lugu itu untuk bikin foto siluet, tapi dia sediakan sosok yang disebut “candid model” – apapun maksudnya itu.
Hah…

Jadi begini… walau sangat jarang kulakukan, tapi aku tentu paham caranya. Ada dua cara untuk membuat sosok manusia jadi siluet. Yang pertama adalah subjek harus membelakangi cahaya, semisal langit cerah atau neon box di mall. Kedua, subjek harus berada di bawah bayangan jatuh dari sebuah gedung. Jadi matahari sama sekali tidak mengenai subjek, ilustrasinya aku gambar di bawah…
Teknik nomor dua, agak sedikit lebih sulit namun tidak sulit-sulit amat kok. Secara alami pada kondisi cahaya terik begitu, orang bakal memilih untuk lewat di area yang teduh kok. Kita sebagai fotografer pun tidak harus panas-panasan, karena kita pun mesti ada di area teduh dengan kamera menghadap subjek dengan latar belakang tembok atau apalah yang tersorot matahari.

Ada variasi lain, nah ini yang agak ada usaha sedikit. Yakni ada sebagian sosok dicitrakan sebagai siluet, dan ada yang tetap konkrit terlihat wajah, pakaian dan sebagainya. Selain matahari, yang dibutuhkan adalah kompleksitas bangunan sebagai pemantul cahaya. Foto seperti itu agak sulit dilakukan dengan matahari Katulistiwa, namun jelas masih sangat mungkin, dan tidak perlu dibuat dengan cara rekayasa, karena asal sabar ya bisa.

Nah, aku tidak tahu teknik macam apa yang akan diajarkan orang ini. Karena kadung ada teman yang membagikan, saya jadi kepo, rekam jejaknya sih kok foto-fotonya… biasa banget. Ya standar street tog pemula Jakarta lah, main tele, isi random, berat di editan warna. Aku tidak asing dengan gaya-gaya seperti itu, mudah dilakukan serta lebih mudah lagi untuk membuat para noob terpesona. Lengkapnya, baca tulisan di poster ini…

“Wah lumayan nih materi untuk hunting berbayar berikutnya, gocap kali sepuluh orang. tapi gue juga gak paham amat n gak yakin berhasil… ah pakai model aja deh.”
Demikian, pada post poster iklan event dia, secara terang-terangan dia bakal ngajarin muridnya untuk bikin foto street tapi pakai “candid model”. Itu istilah yang sangat baru kudengar sih haha. Barangkali kalau judulnya “portrait” atau “konseptual human interest” (note : aku tidak setuju dengan istilah “human interest, tapi ya begitulah), mungkin tidak akan terlalu bikin heboh. Karena ini embel-embelnya street fotografi, kaget juga aku melihat banyak sepuh komen di post dia, semua satu suara : mengecam.
Tentu tidak ada larangan untuk memotret “model” di jalanan / ruang publik. Kalau orangnya sama sekali tidak dikenal, pakemnya disebut sebagai “street portrait” dengan segala teknis pendekatan. Jika orangnya bawa dari rumah, ya disebutnya “portrait on the street” atau “portrait” saja tak apa. Tapi kalau sampai mengarahkan massa untuk berbondong-bondong bikin adegan street bohongan pakai model, itu aku gak tahu disebutnya apa hahaha.

Bisa saja bohong dan bilang itu spontan dll. Gak jadi soal, prosesnya hanya kamu dan Tuhan yang tahu. Namun kalau sampai secara vulgar mengajarkan murid-murid yang lugu untuk memulai petualangan mereka di fotografi jalanan dengan merekayasa adegan yang lebih ke arah “street” daripada “portrait”, itu aku sangat menyesalkan…
Mungkin beliau shock atau apa, tak lama kemudian post itu dimatikan kolom komentarnya. Malahan beberapa saat, hilang sama sekali. Dan munculah video dia menjelaskan bahwa jangan disamakan pemula dan yang berpengalaman, hanya untuk belajar supaya efisien waktu, dll dsb.

Goblog! dia paham tidak sih, segala macam workshop, pameran foto, serta hunting bareng street itu tujuannya untuk membuat naluri serta pergerakan kita di jalanan itu menjadi tajam. Ini sejak awal diarahkan untuk tumpul. Seperti mengajari anak kecil memancing, tapi di kailnya sudah disiapkan ikan, tinggal tarik aja.
Jelas aku pun ikut gusar. Ibarat sepakbola, aku ini striker, namun saat dibutuhkan, aku harus siap mundur bertahan kalau perlu jatuhkan pemain lawan dapat kartu pun tak apa, asalkan tim tidak kalah. Sebagai sosok yang tentu saja disegani, tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain menjaga marwah street fotografi kita agar tidak makin mendekati jurang.
Jujur saja ya, street fotografi kita itu identitasnya apa sih. Coba tanya penikmat foto asal luar negeri, apa yang khas dari foto-foto street kita? paling jawabannya ya foto pasar. Itu jawaban yang akurat, dan tidak ada salahnya juga, walau apa sih istimewanya. Namun dewasa ini, gerombolan influencer hoki alogaritma yang kebetulan jadi FYP, seolah ngerasa paling paham street. Timeline dipenuhi foto random, pakai tele. Masuk kampung orang bawa tele, eksploitasi kemiskinan, yang penting bokeh berwarna like banyak, puas sudah.
Ya kita hidup di era seperti ini, yang mana orang baru pegang kamera sebulan udah ngerasa jago dan berani buka jasa prewed, hancur harga. Dan orang yang baru nyetrit sejenak, ngerasa sudah handal untuk jadi mentor. Padahal isi fotonya hanya asal-asalan, cuma saja editan luar biasa ngejreng berkat preset Lightroom, yang seperti sudah diduga, pasti pula dia jual. Hanya pemalas yang beli preset, cocok sekali untuk dibodohi sama influencer abal-abal. Utamanya itu tuh, gerombolan dari Jakarta yang gaya fotonya begitu semua. Namun belum pernah saya lihat yang secara vulgar begini, mengajak kepada kebobrokan.
Sebagai mentor, apalagi memungut bayaran… ada beban berat di pundak. Sekiranya ilmu belum seberapa, jangan maksain. Fatal akibatnya, para pemula diracun dengan kekacauan mental. Susah payah para senior mengedukasi tentang street fotografi, supaya orang-orang berpikiran terbuka, menjadi pemberani di jalan, dengan naluri tajam… ini malah dilatih jadi pengecut, pemalas, instan. Dia berdalih untuk efisien waktu, goblok. Dalam proses menjadi hebat, pengalaman dan jam terbang adalah kuncinya. Sehebat apa pun gurunya, tidak bisa membuat murid hebat secara instan, kecuali patokan “hebat” bagi dia itu standarnya rendah. Dan salah satu kunci untuk berkembang adalah dengan memilih guru yang tepat, bukan guru yang karyanya bisa diduplikasi dalam dua jam.

copyright Tatsuo Suzuki
Keinginan untuk menjadi mentor bagaimana pun harus diapresiasi, apapun motivasinya. Entah memang ingin berbagi ilmu, atau mencari duit. Sama sekali saya tidak ada niatan untuk bikin “bisnis hunting” dia selesai, makanya nama dan foto saya tutup. Namun kalau memang ingin berbagi pengetahuan, ya ketika sudah menyoal sesat dan menyesatkan, saya maju paling frontal. Street fotografer FYP sok tahu begini, bisa (dan sudah) merusak khazanah fotografi jalan tanah air. Sekarang dia berdalih adalah pemula… ya sudah, bertindaklah seperti pemula… jangan bikin bisnis hunting memungut bayaran, terutama jika tidak banyak ilmu dan pemikiran yang bisa diturunkan.
Saya akan lebih kaget jika para senior yang selama ini “bawel” ketika terjadi fenomena aneh di street tanah air, belum juga angkat bicara. Anda ini kalau lihat foto street jepret jarak semeter pakai flash, langsung histeris. Giliran ada kayak gini, ayo dong… kalian tidak punya Instagram atau gimana sih, coba dong tengok, mungkin 50% dari kompilasi foto yang bisa dicari dengan mengetik tagar-tagar street lokal tuh isinya foto ojol lagi ngetem, lantas diambil dari jarak 20 meter, dan diedit sedemikian rupa biar meriah. Lantas beredar di linimasa untuk kemudian memengaruhi para pemula untuk ikut-ikutan bikin foto meaningless.

Ada kok, foto-foto konseptual yang… lumayan bagus lah. Adegan di perkampungan, kakek mandiin ayam, nenek ngayak beras, anak-anak mengaji, tak lupa disembur asap buatan biar kayak kabut, dan dari kejauhan ada nelayan yang pura-pura melempar jala ribuan kali pokoknya sebelum fotonya dapat ya ulangi lagi. Jangan salah, itu pesertanya orang-orang paruh baya yang berduit. Yang sialnya harus dimaklumi, mungkin situasi dalam foto semacam itu mungkin sulit dicari di jaman sekarang. Nah ini kalau cuma orang lewat sebagai siluet, masa iya sih sampai harus diseting.
Terus nanti pas dia upload, akankah ada keterangan bahwa itu semua rekayasa? jangan-jangan malah fotonya nanti diikutkan ke lomba. Memang pada akhirnya, yang dilihat adalah hasil akhir, namun jika proses awalnya adalah pembodohan, mau seperti apa nanti ke depannya? Ini para “influencer” Jakarta sudah bikin timeline jadi memuakkan, bahkan rutin dipakai oleh brand dan toko kamera yang hanya memedulikan pengikut dan like. Ya memang kita hidup di era kapitalis, tapi bukankah kita pun punya kekuatan untuk melawan? untuk bikin perahu tidak terus terseret ke tepi air terjun?
Aku, mencintai aliran fotografi ini. Aku tidak mau ketika melihat ada yang hunting street di jalanan, semua pada pakai masker, bawa tele, serta mengendap-endap seperti pencuri, karena dari awal diajarkan untuk jadi pengecut dan pemalas. Bukan itu identitas street fotografi tanah air yang ingin kulihat di masa depan. Ya.. bikin tulisan kayak begini cuma bikin musuh saya bertambah. Masa bodoh, saya tidak ingin beramah-tamah demi dapat sponsor, saya maunya lantang apa adanya. Kalau kamu tidak berani bersuara untuk menentang, biar saya saja.
UPDATE :
Setelah kehebohan peristiwa itu, rupanya para sesepuh street langsung pada sat set menanggapi, rupanya kegusaran itu memang sudah ada sejak dulu. Banyak dari mereka yang membuat meeting online hingga live membahas perkara influencer street yang sesat dan menyesatkan ini.
Demikian, artikel saya ini luar biasa banyak dibagikan, utamanya oleh nama-nama berpengaruh, sehingga sangat luas menjangkau, hingga akhirnya sampai juga ke telinga ybs beserta kroni-kroninya. Dan padahal walau saya tidak akan pernah berinteraksi di sosmed, entah mengapa dia buru-buru blok saya haha. Sepertinya tak sanggup menerima silaunya fakta, sekaligus pula memang mentalnya ya cuma segitu. Namun aku tahu bahwa gerombolan tele Lightroom tidak akan tinggal diam aliran serta kenyamanannya diusik.
Ya silakan saja, selama sanggup elegan dan tak anarkis, apalagi adu argumen yang sehat, wah aku sangat siap. Ini belum apa-apa sudah main blok? maka tidak heran, tabiat di jalanannya pun begitu… jurus ngumpet-ngumpet.
Dia kira dengan mengumpulkan kroni-kroni tele Lightroom bakal menjadi sebuah kekuatan untuk mengeroyok saya? haha. Apa mereka tidak tahu, ada ribuan warga street baik lokal dan internasional yang mendukung pendapat saya? hehehe. Ini mau diadakan debat terbuka antara grup street tog beneran vs influencer abal-abal apa gimana?



