Spot “Street Normal” Kesukaan di Bandung

Walau kelihatannya seolah hanya motret cewek, tapi aku juga bisa kok motret “street normal”. Di sinilah lokasi favorit saya…

Sesuai kalimat di atas ya… aku “bisa” motret ‘street normal’, bukan “suka” motret ‘street normal’. Artinya ya kalau diharuskan, aku bisa, karena toh memang mudah haha. Tapi aku tidak pernah sengaja niat sampai mendatangi suatu lokasi untuk nyetrit seperti itu, melainkan memang dalam tasku pasti ada minimal satu kamera, jadinya aku selalu siap memotret walau sedang di mana pun.

Pertama-tama, penyebutan “street normal” itu sama sekali bukan sedang menyindir apalagi menghina. Harap maklum, di sini tuh ada satu mahkamah yang suka menghakimi gaya street orang lain: kalau motret orang dari dekat… ilegal! kalau pakai flash ke orang asing… haram! ya sudah, makanya, biarlah gaya foto seperti saya itu yang disebut sebagai ‘tidak normal’, sedangkan yang banyak dipakai kebanyakan street sini… ya normal.

nah ini tidak normal. masokis! anti feminis! zionis!

Eh belakangan ini aku bersama tim lagi menggarap zine SOS 5, tentu saja mayoritas anggotanya adalah orang Indonesia. Oleh sebab itu, aku mendapatkan inspirasi ini. Barangkali 70% foto yang terkumpul ya begitu… cari siluet, anak-anak, atau di pasar. Ya begitulah kayaknya gaya street Indonesia, mau gimana lagi. Setidaknya tidak ada foto “human interest” dalam zine itu. Pffft, human interest… aku selalu geli dengan istilah itu. Sepertinya hanya di Indonesia ada genre seperti itu, di luar negeri sih disebutnya “people” alias ya manusia. Kalau di sini mengerucut jadi motret yang sedih-sedih kayak kakek lagi ngaso karena kelelahan dorong gerobak, dipotret pakai lensa tele dan kasih caption menyedihkan.

Anyway, kalau mau motret seperti itu pun bisa kok di sini. Gak ada larangan.

Baiklah, lokasi yang aku sukai adalah di Cicadas, sebuah wilayah di tengah kota Bandung. 

Oke, kalau kamu lihat gerombolan street fotografer lagi hunting bareng, biasanya apa yang mereka cari…? perkampungan yang banyak orang terutama anak-anak. Semakin beragam topografi wilayahnya semakin mantap. Kalau bisa ada kepadatan, lapangan, kali, kalau perlu gunungan sampah hahaha. Sebetulnya dibilang perkampungan pun, Cicadas ini ya tidak juga, ini ada di tengah kota. Hanya saja entah mengapa, waktu terasa berjalan lebih lambat di sana.

Sebelulnya dulu sewaktu kecil aku tinggal di sana sih, akan tetapi saat lulus SMP kami sekeluarga pindah ke daerah yang lebih tenang. Ada kekhawatiran sendiri dari ayah saya, kalau tumbuh besar di Cicadas itu agak kurang bagus. Di masa lalu memang wilayah ini terkenal sebagai lokasi preman, tengah malam banyak yang bawa samurai. Tapi sekarang sih, biasa aja. Malahan terasa syahdu, seperti tak pernah padam, tengah malam bahkan dini hari pun ada saja warga yang nongkrong tengah jalan.

Kalau siang hari, ibu-ibu ngerumpi sambil gelar kursi di gang, nyari kutu lah, bergosip lah, jarang yang aku lihat nongkrong sambil sibuk main hp. Kalau sore, bapak-bapak yang kerjanya sudah pasti bukan direktur atau komisaris itu ngopi sepanjang jalan, kadang gak pakai baju, sekadar untuk melepas penat atau pun membahas nomor togel.

berapa harga semangkok bakso di daerahmu? di sini masih bisa beli Rp3.000,-

Anak-anak tak pernah berhenti bermain. Kalau di komplek, sudah susah cari anak-anak main layangan atau kucing-kucingan. Di sini, gampang sekali menemukannya. Tidak banyak anak yang punya PS5 atau PC gaming di rumahnya, lebih seru main di luar.

Nah… subjek kesukaan gerombolan street tog sini ‘kan ya anak-anak. Mereka sangat mudah dimanipulasi, eh maksudnya diarahkan untuk bergaya. Bahkan pun tidak usah diarahkan saja mereka secara alami bakal berlarian menyebar segala arah berbagai gaya, tinggal tunggu saja beberapa saat nanti juga kamu dapat frame berisi “juxtaposition” atau “layering”. Haha.

kalau kau adalah tipe yang puas motret seperti ini, wah hati-hati bisa orgasme ntar

Di sini segala ada sih. Asal mau jalan kaki menjelajah. Pasar ada, jembatan layang ada, gang estetik kayak di Jepang ada, sekolahan banyak, mall yang hampir runtuh pun ada.

Anu… aku sering bilang, kalau nyetrit ke Braga dan sekitarnya tuh, pakaian kita mesti keren. Selain daripada Bandung ini adalah kota fashion, supaya kita punya daya tarik ketika mengajak orang asing (terutama cewek) untuk berfoto. Nah jika nyetrit ke pemukiman padat kayak Cicadas, anjuranku adalah sebaliknya… pakai baju sederhana nan merakyat, celana pendek, jangan pakai sepatu tapi sandal capit saja.

Berpakaian terlalu bagus dan ngejreng malah akan bikin kita mencolok, alih-alih mempermudah berbaur dengan masyarakat sekitar, yang ada malah menciptakan jarak dan kesenjangan. Lalu juga, tidak usahlah terlalu bergerombol… berdua juga cukup, malahan kalau perlu tuh sendirian saja. Aku selalu tidak suka lihat rombongan street tog berpakaian necis menenteng kamera mahal, masuk ke perkampungan yang barangkali warganya sekadar makan saja kesusahan. Kedatangan kita tidak mengubah apa pun, tapi jangan juga bikin mereka merasa minder atau termarjinalkan.

harap bersabar kalau ada motor lewat karena selalu ada tanpa henti

Oleh sebab itu aku menyarankan bawa kamera kecil sajalah. Kecil belum tentu murah ya, bisa saja itu adalah Ricoh GR III yang luar biasa mahal. Namun kamera kecil di mata orang awam tuh kesannya adalah kamera mainan yang jelek dan murah. Mereka tidak akan merasa sedang diliput oleh wartawan. Terdengar konyol memang, tapi bagi orang awam ya kadang dia punya pikiran kamera besar itu ya wartawan.

maju dikit langsung jalan gede kok. ini pas pandemi makanya agak sepi…

Barangkali kamu akan mendapati, sampel foto yang saya cantumkan di sini tidak mewakili apa pun dari wilayah Cicadas, karena memang iya. Aku tuh kalau gak ada ceweknya, agak malas juga angkat kamera. 

Tapi aku menyarankan, jalan saja tanpa arah menelusuri gang. Kalau tersesat jangan coba-coba lihat Google Maps, karena petanya pun kadang kebingungan. Di masa lalu, WHO menetapkan Cicadas sebagai lokasi paling padat di dunia, tingkat populasinya tiga kali lipat batas wajar. Mungkin sekarang sudah tergeser oleh salah satu lokasi di India. Pokoknya karena banyak orang, kalau nyasar tanya saja dengan sopan, enak tuh jadi membuka obrolan. Mungkin juga ngopi bareng di warung.

ini waktu bulan puasa, pasar kaget tumpah ruah… ya kadang ada yang cantik lagi jajan buat takjil.

Di musim panas begini, cahaya matahari pagi atau sore bisa muncul dengan sangat ajaib menembus sela-sela bangunan. Kalau suka ya boleh, terutama aliran-aliran siluet.

Kamu bisa menemukan banyak lapangan yang ada anak-anak main layangan sore hari. Satu yang sering aku datangi, yang di samping mall BTM. Latarnya enak, di samping gedung terbengkalai, lapangannya juga luas sekali dan banyak bangkai mobil mau pun truk kontainer. Ya sekadar bikin foto standar saja sih, gampang banget.

di bawah fly over, yang kolongnya banyak anak main bola. fun fact, beberapa tahun lalu ada fotografer yang menang award internasional dengan bikin foto di sini, cewek pakai gaun dan payung jalan melewati kolong jembatan yang warna-warni ini. masalahnya adalah, kategori fotonya street… ah muka gila dong, mana ada seumur-umur cewek pakai gaun lewat sini… itu sudah pasti pakai model.

Bahkan kalau mau portrait dengan sensasi lain, ya bisa juga. Entah street portrait nyomot dari stranger, atau bawa model sendiri. Pernah sih sekali aku bawa model ke pasar sini, tentu saja dia adalah Sherly, model saya yang paling tahan malu untuk diajak foto di lokasi aneh. Tapi itu anak emang sejati, mudah membaur, padahal bawa korek sendiri tapi dia malah minjem korek ke mamang tukan ayam untuk nyalain dia punya rokok haha.

hanya Sherly… model yang bisa tetap anggun walau berpose di depan ayam potong…

Tentu pula bakal banyak yang melihat. Tapi ya biar saja.

Ah itulah lokasi yang saya cukup suka untuk nyetrit normal, hanya jika dengan entah alasan apa saya kebetulan ada di sana dan bawa kamera. Kalau sengaja sih, ah mending di pusat kota ajalah haha.