Sebelumnya aku tak pernah punya kamera ini. Karena bentuknya jelek dan rasanya ada yang kurang. Setelah usianya 12 tahun, akhirnya punya juga haha.
Ini adalah Olympus OM-D E-M5 original, atau E-M5 mark I, atau E-M5 saja. Kamera OM-D pertama dari Olympus (sekarang namanya OM System). Tentu saja aku sudah tahu kamera ini dari dulu. Kala itu saat mirrorless baru saja booming, di grup tuh yang pakai kamera ini pastilah seorang geek, dan fotonya pasti bagus sendiri. Tapi di jaman itu aku pakainya Lumix GX7. Aku bisa saja membeli E-M5, tapi aku memilih GX7 untuk sebuah alasan yang… kacau. Karena bentuknya lebih bagus saja hehe…

Cerita singkat dulu seperti biasa ya…
Tapi aku tahu kok, semua kamera Olympus itu sangat bagus. Malah di kemudian hari, aku jadi sering punya. Olympus pertama saya adalah E-M10 (generasi pertama), selanjutnya aku punya E-P5, E-M10 II, E-PL8, E-M5 II dan Pen F. Nah, kenapa pas beli kok tidak E-M5 tapi malah E-M10? karena E-M10 layarnya lebih bagus dan ada wifi. Sekarang kebalikannya, malah aku tidak lagi butuh wifi atau layar yang terlalu bagus. Yang penting kameranya bandel.
Disebut di atas pernah punya E-M5 II. Itu kamera yang sangat luar biasa. Tapi tak pernah punya yang mark I haha. Makanya dalam pencarian kamera dengan budget terbatas, aku pilih ini deh. Harapannya, pasti kualitas bodinya solid kayak E-M5 II. Aku tidak mau E-M10 karena layarnya sering putus kabel flex.
Sebetulnya aku tidak begitu ingin punya kamera mirrorless… hanya saja, aku masih punya dua lensa, sayang saja kalau tidak dipakai. Dalam tulisan saya pekan lalu, aku singgung bahwa dewasa ini harga-harga bodi lawas MFT cenderung naik dan ketersediaannya langka. Ini menyebalkan, padahal tadinya kita bisa belanja murah meriah dengan membeli bodi MFT lawas, tapi sekarang stoknya sedikit dan harganya naik.

Karena aku cari bodi sekadar agar bisa pakai lensa fisheye, aku menetapkan budget di bawah tiga juta ajalah… gak perlu kamera yang terlalu wah. Makanya aku menyortir hanya jadi Lumix GX1, GF9, GX7 dan kalau ada sih Olympus E-P5 atau E-PL8. Aku bahkan sudah check out E-PL8 dan GX1 tapi gak ada yang dikirim sama penjualnya, yang satu alasannya kamera mendadak rusak, satu lagi masih sayang gak jadi lepas, sialan. Pilihan cuma sedikit, dipersulit pula. Dua minggu ada kali, aku berburu bodi tanpa hasil… yang GX7 keburu disikat orang, yang GF9 aku coret dari daftar karena baru ingat dia gak ada hot shoe, sedangkan aku baru beli flash Lux Junior, yang bakal cocok dengan lensa fisheye… ah… lama-lama frustrasi juga.
Sampai akhirnya aku lihat seller langganan saya, Mas Cakim, pasang E-M5 yang tampak sangat mulus mana shutter count rendah pula, di harga 2.5 juta. Lengkap box, cuma gak ada charger. Entah juga kemana chargernya haha. Aku tidak langsung tertarik… ya karena bentuknya jelek haha. Itulah mengapa E-M5 II desainnya terasa sangat bagus, ya lantaran pendahulunya jelek banget.
Tapi aku sudah ngebet ingin motret, jadi ya aku mulai pertimbangkan. Dengan melihat fakta bahwa aku sudah check out Lumix GX1 di angka 2.1 juta, mestinya aku tidak ada masalah kalau mengalihkan sasaran ke E-M5. Aku sudah bersiap dengan layar yang resolusinya rendah (Lumix 500k dots, Olympus 600k) dan tidak ada wifi. Malahan aku jadi dapat 5 axis IBIS, layar tekuk, weather shield, baterai cadangan yang lebih mudah dicari dll. Namun yang paling utama, hasil foto E-M5 sudah pasti lebih bagus dari GX1.
Dan ketika aku hubungi Mas Cakim buat minta diskon buat beli charger, sama dia malah didiskon 500rb, baik banget. Jadi aku keluar dua juta untuk bodi, dan sekitar 230rb untuk charger Kingma plus satu baterai BLN-1, jaga-jaga kalau ternyata kameranya enak. So, di atas kertas, lebih untung daripada beli GX1 sih.
Ya cuma bentuknya jelek aja… hahaha.

Oke oke, desain itu selera masing-masing haha. Seperti inilah bentuk kameranya, dan aku sertakan juga foto lama E-M5 II di meja yang sama. Kebetulan pula keduanya silver.
Menurut saya yang bikin kamera ini bentuknya agak nanggung tuh… segitiga di atasnya kekecilan, dial-dial atasnya pun gepeng banget dan siluetnya tidak lurus. Jadi agak gimana gitu ya haha. Desain kamera ini diambil dari Olympus OM analog, yang hasilnya malah tidak mirip sama sekali. Memang di masa itu (dan mungkin sekarang juga), desainer Olympus agak bermasalah hahahaha. Untuk alasan inilah dulu aku lebih pilih Lumix GX7. Tapi secara umum memang aku lebih suka kamera yang ala rangefinder daripada SLR.
Sudah cukup bahas estetiknya haha, toh kebanyakan yang kita lihat adalah bagian belakang kamera, bukan depannya. Lagian Olympus sudah menebus dosa dengan bikin desain yang lebih ganteng di mark II.
Kamera ini punya grade pro. Bodinya keras sekali, magnesium alloy. Anti hujan, debu, beku dll. Slot SD card pun di samping, tidak usah buka tutup baterai. Tidak ada flash, sekalipun ruangnya ada – E-M10 juga bisa, ya karena ini “pro” haha. Ada EVF, walau resolusinya udah ketinggalan tapi ukurannya lumayan besar… ah aku tidak begitu peduli sih, aku tidak pernah pakai EVF.
Bagian layarnya bisa dilipat ke atas dan diagonal ke bawah. Ada harga ada rupa, berbeda dengan E-M10 yang layarnya hampir pasti kena penyakit fleksibel putus, E-M5 tidak ada hal semacam itu. Kamera ini didesain untuk tahan banting, dan memang iya…
Touch screen tentu saja, dan benar-benar layar sentuh yang layak, tidak alot kayak Lumix GF3 dan semacamnya. Kendati aku sudah bersiap dengan resolusinya yang relatif rendah (hanya 600k dots), tapi di luar dugaan panelnya bagus. Kalau dibandingkan dengan Lumix GX1 bahkan GX7 yang walau menang resolusi, tapi color science bagusan ini… benar-benar kontras, teduh dan pekat. Resolusi rendah itu jadi hanya kayak di atas kertas saja, aslinya cukup nyaman kok. Apalagi aku sudah terbiasa pakai digicam, yang di atas kertas kerapatan pixelnya mirip-mirip.
Grip di tangan ya enak-enak saja. Kameranya terasa padat dan berbobot. Bahkan pintu buat buka baterainya pun suaranya enak ketika ditutup. Ibaratnya kalau E-M10 tuh kayak nutup pintu mobil Ayla, si E-M5 ini mantap kayak pintu mobil Ford.

Wah tombol-tombolnya enak banget. Walau secara design sangat mirip dengan E-M10, tapi secara feel jauh. Beda ini kelasnya, tombolnya sangat klik empuk, dan tidak tampak “mendem” walau pasti sudah dipencet ribuan kali. Tentu saja ukuran tombolnya sangat kecil dan rapat satu sama lain, dan untuk kamera seukuran ini, banyak sekali tombolnya.
Sayang sekali tidak ada flash, jadinya harus pakai flash eksternal… dengan speed sync maksimum 1/250″. Itu adalah angka yang sangat lumayan… Banyak kamera Lumix atau Fuji yang jauh lebih muda, cuma mentok di 1/160″ atau 1/200″.

Sempat aku mencoba AFnya pakai lensa 14/2.5. Jadinya ya seperti biasa, sudah bisa ditebak, untuk single point AF pasti sangat cepat. Mau siang mau malam, bagus. Dan pasti semakin bagus kalau pakai lensa lain yang lebih baru. Sayang sekali saya tidak berminat ngetes di jalanan pakai lensa itu, toh hasilnya sudah bisa ditebak. Saya pasangkan dengan lensa fisheye lagi… biar makin asyik!
Ooh iya, unit yang saya punya baterai CMOSnya sudah soak parah… jadinya tanggal dan jam pasti reset, bukan cuma saat dilepas baterai melainkan sekadar dimatikan sejenak pun, reset juga. Namun syukurlah, Olympus ini yang reset cuma tanggal saja, tidak seperti Fujifilm. Karena kebayang kalau sampai seisi menu ikutan reset, wah kacau… menu Olympus itu paling rumit sedunia, berkali-kali saya bilang hal ini.

Okelah, aku turun ke jalan pakai kamera ini, dicolok dengan flash Godox Junior Lux. Lensanya Samyang Fisheye 7.5mm. Pakai mode M, kebanyakan di F/8 dan shutter speed 1/250″. IBIS tentu saja nyala, dia punya 5 axis. FYI, ini adalah kamera pertama di dunia yang ada 5 axis in body stabilizer, dan walau pakai generasi lama, tetap sangat mumpuni.
Sebetulnya aku pakai lensa ini tuh demi ngetes, kalau pakai flash external di posisi yang lumayan tinggi, apakah bagian bawah framenya masih bakal gelap. Karena jujur, nyetrit pakai fisheye itu susah sekali, kalau berharap komposisinya penuh dan dekat, karena lensa ini bikin subjek terlihat jauh.
Jadinya saya harus cari kerumunan.

Hasil fotonya ya enak-enak saja. Sepintas, agak lebih bagus dari Lumix apa pun yang sama-sama 16 megapiksel. DR oke, detail oke, ketajaman juga cukup. Perlu diperhatikan, lensa Samyang ini sangat buruk dalam hal micro contrast, serta cenderung bikin highlight washed out, susah sekali supaya langit berawan kelihatan birunya.
Berat juga sih pakai lensa ini dan flash eksternal. Satu kali kameranya meluncur dari tangan saya, untunglah pakai strap lengan. Grip memang ada, tapi cengkramannya gak mantap, jadi kalau keringatan licin sekali. Layar tekuk cukup membantu, dan walau resolusinya rendah tapi lebih dari cukup deh.
Suara flange shutternya, enak sekali. Kriuk. Kayak E-M1. Soalnya seri lain yang murah-murah kayak E-PL, gak enak suaranya bletak bletuk. Betul-betul sensasi pas menjepretnya, puas sekali.

Saat malam tiba, saatnya main slow shutter. Tapi karena aku sudah merasa pegal, jadi saya pinjamkan kameranya ke kawan hunting saya Mas Raka untuk pakai. Sepertinya dia menggoyangkan kameranya terlalu keras, padahal tanpa diapa-apakan pun efek cahayanya pasti melingkar haha. IBIS kamera ini masih sangat bagus, jadinya berontak, shutter speed mesti lebih rendah lagi.

Total dari jam 4 sore sampai 10 malam, habis dua baterai. Satu baterai bawaannya yang entah sudah kayak gimana “battery health”nya, satu lagi aku beli Kingma. Kamera ini pakai baterai BLN-1 yang serupa dengan E-M1, E-M5 II, Pen F dll, alias baterai untuk seri flagship dia. Punya daya tahan di atas BLS-5 untuk kamera entry level. Untuk ukuran kamera setua ini, bisa hunting non stop full layar nyala, okelah…

Pokoknya, ini adalah kamera yang punya tempat dalam sejarah mirrorless. Ini lahir lebih awal dari Fujifilm X-T yang sekarang dikenal sebagai si paling ala SLR. Pelopor IBIS, juga mirrorless pertama yang main di segmen “pro” grade. Sampai sekarang masih sangat disukai sih di grup-grup MFT. Walau harga bekasnya samaan dengan E-M10 II yang jauh lebih modern, tapi maniak Olympus sejati cenderung lebih pilih klasik E-M5 karena daya tahan dan kualitas bodi.
Apakah masih layak dibeli? tentu saja. Dengan harga dua jutaan, tidak ada lagi kamera lain yang puna 5 axis IBIS selain ini. Build quality sangat top, hal-hal esensial juga dia levelnya di atas kamera entry level, jauh malahan. Ya cuma gak ada wifi, flash serta resolusi layar rendah… yang mana bukan deal breaker bagi saya. Dipadukan dengan lensa MFT yang bejibun dan murah, kamera ini masih future proof. Jika dibandingkan dengan E-M5 II yang bekasnya tiga kali lipat lebih mahal, kamera ini ‘kan sama sekali tidak tiga kali lipat lebih jelek.

Untuk harga dua jutaan, opsi yang mirip adalah Lumix GX1. Itu lebih rendah lagi resolusi layarnya dan tak bisa ditekuk, juga tidak ada EVF, mana baterainya langka sekali. Kalau mau lirik brand lain, bisa dapat Fuji X-M1 atau Sony NEX jadul… gak bisa dibandingkan, beda levelnya… itu semua entry level, sedangkan E-M5 ini gradenya pro.
Dan walau bagi saya bentuknya jelek sekali, mungkin bagi orang lain malah keren kayak kamera SLR analog. Nilai tambah, di dunia yang penuh fotografer FOMO yang ingin terlihat paling vintage.







