Motret Pakai “Digicam”

Aku beli nih. Ya murah juga sih jadi kenapa enggak. Sudah pasti ini hanya untuk mainan, tapi apakah cukup menyenangkan…?

Jadi ini adalah Pentax Optio VS20. Kenapa pilih ini? sejujurnya aku tidak begitu paham secara mendalam, kamera apa yang sekiranya karakter warna dan fotonya paling vintage. Yang aku tahu, jangan beli yang terlalu muda soalnya sensornya CMOS, alih-alih harus cari yang masih pakai sensor CCD. Ya secara acak aku cari, tadinya mau Lumix saja karena aku terbiasa pakai Lumix, namun kemudian aku lihat iklan barang ini. Kondisinya mulus banget dan fullset pula, ya sudah beli digicam ini.

(Ini adalah lanjutan dari artikel sebelumnya. Khusus tulisan kali ini, fotonya tidak saya edit jadi monokrom, biarkan saja apa adanya.)

Anu… aku masih tidak sreg menyebutnya “digicam” haha… itu ‘kan singkatan dari “digital camera”… ya semua kamera modern juga digital gak ada yang analog, mengapa maknanya disempitkan jadi hanya kamera pocket point and shoot jadul dengan mepaixel kecil. Harap maklum, bagaimana pun aku ini sarjana Sastra Indonesia, jadi agak gimana gitu haha.

Anyway, ya akhirnya aku ambil Pentax ini, soalnya selain mulus fullset, aku lihat bentuknya agak unik, dia punya dua tombol shutter, jadi kayak pakai battery grip lah, kecuali yang ini tidak menambah ukuran. Barangkali untuk kebutuhan foto tegak atau selfie, karena sejujurnya malah agak kagok nyimpen jarinya, mepet semua. Lalu juga kamera ini punya dua lubang tripod… inovasi apa pula itu.

Aku dapat di harga Rp800.000,- yang rasanya sangat murah untuk kondisi semulus ini, lengkap dan original semua. Meski tentu harus ada tapinya. Lensanya berjamur. Sepertinya malah aneh sih kalau bersih, lagian aku paham bahwa mau bersih pun fotonya tidak bakal tajam atau spektakuler, jadi ya biarkan saja. Lalu juga kalau baterainya dicopot, jam dan tanggal reset. Ini pun tidak mengganggu sama sekali, selama bukan setting yang reset. Tapi pun, tidak ada setting yang terlalu banyak di menunya ah, cuma ganti resolusi dan filter… makanya, sekalipun settingnya hilang andai baterai dilepas, gak jadi soal.

Lensanya bisa zoom jauh banget sampai 500mm, tapi tentu saja semakin jauh semakin buruk fotonya. Ada image stabilizer juga, ini lumayan. Selebihnya sih, aku tidak begitu peduli lagi dengan spesifikasinya. Kamera ini tidak akan aku pakai untuk sesuatu yang serius, malah mungkin bakal aku langsung jual kalau sudah selesai penasaran. 

Segera aku jajal, untuk portrait dan street tipis-tipis. Awalnya aku pesimis dengan baterainya, walau tampak masih kurus dan sehat, tapi secara fisik tipis banget, bertahan berapa lama nih. Eh ternyata, tahan dari siang sampai malam dengan kondisi full flash dong. Menang banyak.

Tidak ada mode shooting seperti P-A-S-M, semuanya full auto. Yang bisa dipilih hanyalah “scene” semacam portrait, landscape, sunset dll, juga tidak satu pun aku pilih, aku pakainya auto. Focus mode ada beberapa, tapi yang paling bakal dipakai cuma AF dan infiniti. Nah ini aku demen banget nih, infiniti pada kamera macam ini kita gak usah pikirin lagi hyper focal dll karena memang tidak ada yang bisa diutak-atik, terlebih karena sensornya kecil, DOF juga gak ada, semua bakal fokus. Daripada kesel dengan AF lambat, ya sudah saja set di infiniti.

Namun dengan gembira aku mengabarkan, AFnya tidak separah yang dibayangkan. Untuk kondisi terang, masih sangat responsif. Tapi pas malam, memang agak lemot dulu, tapi tetap menjepret kok.

Kamera ini ada image stablizer, tak peduli apa jenisnya, yang jelas kalau pada FL wide, sangat terasa sekali, ajeg dan stabil. Pada kondisi zoom apalagi full 500mm ya tentu saja geter semua, lagian siapa juga yang bakal zoom sampai 500mm ‘kan. Jelek bukan main hasilnya.

Tonton reels ini untuk lihat video jeprat-jepret.

Nih yang terpenting, gimana hasil fotonya…? ya begitu-begitu saja. Aku tak bisa bilang bagus, karena memang tidak. Warna tidak akurat, sensornya ‘kan CCD… tentu saja tak ada yang beli kamera dengan sensor CCD demi akurasi warna, semuanya mengejar estetika. Kalau ditanya adakah feel vintage, ya aku bilang sih ada. Sepertinya saya bukan orang yang tepat untuk menjelaskan soal tone warna, makanya kalian lihat sendiri saja sampel-sampel fotonya. Tapi kalau ditanya, apakah dengan VSCO / Lightroom bisa bikin tone serupa, aku rasa sih jelas bisa, walau secara feel berbeda.

Ketajaman? apa itu?

Kemarin aku mendengar sebuah jargon di salah satu video Youtube, bahwa “digicam CCD is the new film“. Mungkin maksudnya, daripada susah payah motret film, beli saja digicam jadul. Ya terserah saja sih, asal motretnya puas. Namun yang perlu aku tekankan… kamera jenis begini, kayak mainan, sulit untuk bikin foto yang terlalu spektakuler, namun setidaknya kita bisa langsung lihat hasil fotonya tanpa perlu cuci scan dulu. 

Demikian pula, yang motret pakai kamera beginian, tidak melulu hipster yang awam soal fotografi. Banyak fotografer-fotografer yang sejak awal sudah jago, beli beginian untuk refreshing hingga hunting bareng. Aku hanya berharap, walau pakai kamera mainan yang tidak perlu mikir soal setingan, bukan berarti jadi tidak perlu berpikir sama sekali. Resolusi boleh turun, tapi tidak dengan kaliber fotografi kita. Tetaplah berusaha bikin foto dengan tingkat kesulitan layaknya kalau lagi pakai kamera modern, masalah nanti hasilnya seperti apa ya gimana ntar. Cobain aja dulu, jangan langsung pasrah dan ujung-ujungnya cuma ngejar tone warna tapi isi fotonya malah tiang listrik atau pot bunga.

Pada akhirnya, apakah kamera seperti ini layak dibeli…?

Kalau aku bilang sih, asal harganya di bawah sejuta, oke aja. Itung-itung beli lensa mainan, tapi sudah dapat bodi kamera utuh. Tempo hari aku lihat ada digicam yang cukup populer di kalangan hipster, dijual dengan harga 500 ribuan, baru. Brand lokal sih. Tapi janggal bener kok 48 megapiksel… entah pula apa jenis sensornya. Mana ada ‘kan. Itu kayaknya kamera mainan modern dari China yang dikasih ulang brand. Nah daripada yang macam itu, mending cari yang jadul beneran. Kondisi dan kelengkapan sih, ya teliti masing-masing aja. Pilihlah dari brand yang memang terbukti punya sejarah, semisal Pentax atau Olympus… (tapi kok saya tadinya pengen Lumix ya haha). Oh iya, pilih yang SD cardnya ukuran umum, jangan yang beda sendiri.

Begitulah. Beli aja kalau suka. Lumayan buat refreshing. Untuk motret tanpa banyak mikir, namun bukan tanpa mikir sama sekali ya…