Sedari awal, saya harus memberitahu fakta yang sayangnya tidak disadari oleh banyak orang, yaitu…
Nyetrit sendirian tidak akan bikin kalian tewas terbunuh. Kecuali dalam prosesnya, kamu tertabrak truk atau tertimpa tiang listrik, nah itu beda cerita. Kedengarannya very obvious ya? memang. Oleh sebab itu amat mengherankan kalau masih ada yang takut memotret sendirian. Disuruh motret saja takut apalagi disuruh perang…
Pernah dalam suatu forum yang seolah-olah akademis padahal tidak terlalu, kala itu kalau tak salah sedang diskusi buku Tokyo Friction karya Mas Tatsuo. Arah diskusi meruncing ke bahasan Tatsuo yang suka ngeflash orang asing dari jarak semeter. Dijelaskanlah oleh salah satu penonton, yang cukup melek gaya foto luar negeri… Ya kenapa tidak, demi mendapatkan hasil foto yang dia inginkan. Selama dia berani, ya lakukan saja, asal siap dengan konsekuensinya. Didebat tuh, ada yang nyeletuk kalau nyetrit itu bukan ajang uji nyali.
Tentu saya tidak akan menyuruh siapa pun untuk coba-coba ngeflash orang asing di jalanan kayak Mas Tatsuo atau saya, tapi saya pun tidak mencegah apalagi melarang. Kalian orang dewasa kok, pasti tahu setiap tindakan ada konsekuensinya. Namun demikian, saya mesti meluruskan tentang pernyataan “nyetrit itu bukan ajang uji nyali.”

Memang bukan. Tapi nyetrit juga bukan ajang untuk menjadi pengecut. Semuanya dimulai dari pikiran dan mental. Kalau dari awal sudah didoktrin untuk selalu candid, jangan ketahuan tar kena marah dll dsb. Jadinya ke sananya ya arah fotonya jadi begitu… ke jalan bawa tele, 300mm, udah kayak mau foto perang di jalur Gaza. Motret sembunyi-sembunyi, berlanjut pada sifat individualistis, tidak mau berbaur dengan lingkungan sekitar lokasi foto karena sudah tidak perlu menjelajah selangkah demi selangkah, zoom saja dari jarak 50 meter. Dan karena pakai tele, background pasti kena kompres jadi padat dan cenderung bokeh semua, mati sudah naluri komposisi. Wah ini payah, makin hari bukannya makin jago, malah makin gak jelas. Lama-lama jadi kebiasaan, ntar hunting kelompok rame-rame pun, tetap saja akan seperti itu.
Oleh sebab itulah, kalau saya kadang papasan sama yang lagi nyetrit sendirian dan ketika saya intip, lensanya yang wajar-wajar saja (50mm ke bawah), akan langsung saya sapa dan jabat tangan. Karena orang yang nyetritnya begitu, sangat layak diapresiasi juga dijadikan teman.

Kendati demikian, saya paham bahwa tidak seluruhnya yang enggan nyetrit sendirian tuh karena takut. Banyak juga yang… ya bosan saja kalau sendirian. Semuanya berawal dari pola pikir serta cara kita mempersiapkan diri. Kurang lebih saya sudah sepuluh tahun ada di jalanan, jadi sudah cukup paham lah seluk-beluknya. Memang kalau nyetrit sama temen, enaknya ada teman ngobrol, ngopi dll. Tapi ada kalanya hanya bisa sendirian, masa jadi batal motret. Kadang motret sendiri justru memberikan perspektif lain, daya jelajah yang lebih luas, serta menemukan teman baru. Makanya, berangkat saja.
Berikut hal-hal yang perlu dipahami dan dipersiapkan:
1. Kamera. Terserah mau pakai kamera apa yang penting nyaman dan dikuasai. Saya pribadi untuk street lebih enjoy pakai kamera pocket. Ya karena kecil. Tapi bukan pocket macam Ixus gitu-gitu, memang tidak bikin berat tapi terancam gagal bikin foto. Kalau ada niatan lincah mengambil momen atau memotret sesuatu yang cepat seperti orang jalan, ya kameranya bertenaga dikit lah. Itu belum membahas kondisi pencahayaan yang dinamis, makanya ukuran sensor minimal menurut saya adalah 1″, agar gelap-gelapan masih aman.
Rekomendasi kamera “pocket premium” sensor besar : Ricoh GR II, Fuji X70, Nikon Coolpix A, Lumix LX100. Atau bisa juga pakai mirrorless kecil seperti Lumix MFT dan Olympus, pasangkan dengan lensa pancake. Untuk mode foto di jalanan, terserah saja enaknya apa. Saya sih selalu full manual.
Kenapa saya suka kamera kecil? ya karena ringan, dan masih bisa membuat foto dengan visual yang layak. Saya kalau nyetrit pasti pakai jaket, nah kamera kecil ini bisa disembunyikan dalam saku. Jadi tidak harus selalu digantung leher atau ditenteng. Alasan lain, orang-orang di jalanan cenderung menghindari fotografer yang bawa kamera besar (kecuali motret dari jauh pakai tele). Nah kamera pocket ini kelihatannya kayak turis, kamera mainan. Orang juga gak takut lihatnya.
Kalau “subjek” foto saja bakal merasa baik-baik saja, apalagi kita selaku yang motret. Harusnya jadi bisa lebih tentram dan ujung-ujungnya menghasilkan foto yang baik.

2. Pakaian. Terserah kamu. Karena saya tinggal di Bandung, dan Bandung ini kota fashion, jadi saya pasti tidak asal-asal. Sepatu itu wajib karena sekali hunting bisa jalan sampai sepuluh kilo. Ini juga sebagai persiapan, karena terkadang hunting street saya berubah jadi street portrait ketika bertemu subjek yang enak dilihat (cewek cantik). Saya tidak mau ngajak cewek foto kalau saya pakai celana pendek dan sendal jepit. Oleh sebab itulah, saya pasti rapi, dan wangi. Kalau kamu masih kurang kepercayaan diri, cobalah sambil dengar musik dari earphone. Di awal-awal, okelah… tapi ke sananya saya harap sih jangan. Selain jadi kurang peka dengan kondisi sekitar, juga membahayakan.
3. Lokasi motret. Alangkah baiknya start memotret di lokasi yang dikuasai saja. Supaya apa? supaya kamu merasa tenang. Nanti sedikit-sedikit, mulai menjelajah ke lokasi baru. Jalan kaki saja. Masuk ke gang, cari cahaya-cahaya unik, kegiatan masyarakat. Bikin target, kalau belum sekian jam atau sekian foto, jangan dulu istirahat apalagi pulang. Lokasi yang sudah dikenal pasti kamu lebih paham sudut-sudutnya, arah cahaya, dll. Dan mungkin malah jadi lebih berani. Ada teman saya yang hanya berani pakai flash kalau di Braga, lantaran di sana lumrah orang bawa kamera. Ya tidak salah juga sih, tapi saya sih pakai flash ketika dibutuhkan… bukan melihat lokasinya. Apa pun itu, enaknya aja lah gimana.
4. Sok akrab. Serius, saya juga kalau motret sendiri beberapa saat, bosan juga. Mau ngobrol juga sama siapa, ‘kan sendirian. Saya suka ngobrol sama tukang parkir, security, tukang dagang, warga setempat, siapa saja. Selain cukup menyegarkan pikiran, jadi ada semacam dukungan moral. Ketika lagi ngobrol sama warga setempat, ada subjek menarik lewat, jadi lebih berani ngangkat kamera. ‘Kan tidak menutup kemungkinan di lain hari, lewat lagi motret lagi di lokasi itu, sudah ada yang kenal. Jadi punya tempat ngaso sejenak. Lalu juga kamu lebih membaur dengan lingkungan, cerita saja bahwa memang hobi motret, supaya jangan disangka wartawan kalau lagi nyetrit di kampung-kampung.
Saya sih sok akrab dengan siapa saja. Contohnya kemarin, saya lagi hunting di Braga, ada tiga pemuda-pemudi yang tampan dan cantik, lagi pada pose sama poster anti Israel. Saya dekati, saya bilang kalau mereka keren sekali, gimana kalau saya foto, dll dsb. ‘Kan jadi kenal, dapat teman baru. Sama sekali tidak ada ruginya.

Atau kalau ada yang saya lihat hunting pakai kamera Olympus, langsung saya sapa. Karena langka sekali ‘kan haha. Terbentuklah obrolan, saling kenalan, nanti bisa nyetrit bareng. Poin pada tulisan ini ‘kan bukan tidak boleh hunting bersama teman, melainkan bagaimana menyikapi situasi hunting sendirian.
5. Anggaplah sebagai olahraga. Kalau disuruh marathon, atau jalan kaki lah, 10 KM, kamu pasti malas dan banyak mikir ‘kan. Tapi kalau sambil memotret, gak kerasa. Saya selalu pakai jam tangan yang bisa mengukur langkah kaki. Kadang tak terduga, kok sudah sekian kilo. Enak juga, sehat iya, sekalian cuci mata dapat foto. Parkirkan motor / mobil di satu titik, lalu targetkan untuk berjalan lurus sejauh 5 KM tentu sambil foto-foto. Akibatnya, kamu harus menempuh 5 KM tambahan dari titik tujuan, soalnya harus ngambil motor ‘kan. Kalau sudah terasa nikmatnya memotret sambil jalan, pasti gak mau order ojol buat ke parkiran. Ada hal-hal yang hanya bisa kita lihat dengan berjalan.
6. Ambil nafas. Bukan berarti setiap satu kilo, berhenti lalu ngopi. Jika sudah tiba waktu sholat, carilah masjid. Kalau lapar ya makan. Namun semua tetap dalam kondisi siap memotret. Ngaso bentar boleh sambil review foto-foto apa saja yang sudah diambil, lalu foto-foto macam apa yang ingin diambil berikutnya. Dengan demikian tidak cepat bosan, serta tetap bergairah untuk menjepret. Berikan reward untuk diri sendiri, kalau misanya dapat sepuluh frame bagus, pulangnya my time di cafe mahal. Tapi kalau cuma sebiji, ya straling tepi jalan saja deh.

Saya rasa sih demikian. Mau sendirian atau ramai-ramai, saya bakal tetap hunting. Saya teringat sebuah sajak yang ditulis oleh street fotografer lokal yang dijuluki Tatsuo Suzuki KW super…
Jika aku ingin memotret… Tak peduli langit mendung, aku akan tetap berangkat, nanti ketika tiba langitnya pasti cerah.
Jika aku ingin memotret… Tak masalah berangkat sendiri, nanti di jalanan aku akan menemukan teman baru.
Dan jika aku ingin memotret… Tak apa aku tak punya model, nanti di jalanan, setiap orang yang lewat akan kupotret dengan indah.
Aku akan berangkat.
Intinya, berangkat, jangan banyak mikir dan jangan tunggu orang lain. Toh menjepret dan kepemilikan fotonya masing-masing kok.

