Like itu Racun

Dari sekian puluh perubahan yang selalu dipaksakan oleh Instagram dan suka tidak suka kita harus menerimanya, mungkin hanya satu fitur yang saya sambut baik dan sangat dukung. Yaitu fitur untuk menyembunyikan jumlah “like”. Mengapa saya mendukung fitur itu, ada alasan-alasan yang sebaiknya kamu tahu…

Pertama-tama, mari sepakat bahwa fotografi itu adalah karya seni, maka pelakunya saya bilang adalah seniman. Di tengah gempuran reels gak jelas, foto-foto selfie serta iklan yang tidak ada hubungannya… saya yakin sebagian dari kita masih menjadikan Instagram sebagai media utama untuk memajang karya fotografi. Entah sebagai media berbagi yang utama, atau hanya untuk sekadar punya, saya yakin kita semua punya Instagram. Tidak terkecuali kamu yang memotret dengan penuh perasaan, pasti juga memajang karyanya di sana.

Sejak awal ada fitur itu, langsung saya pakai. Dan bahkan saya terapkan pada seluruh foto saya yang dulu-dulu. Sebelum kamu menuduh saya sembunyikan “like” karena jumlahnya sedikit, saya akan lampirkan sampel “insight” dari foto-foto saya.

Angka likenya tidak buruk ‘kan? apakah semuanya begitu? tidak!

Itu hanya sampel-sampel yang likenya banyak. Sering timbul pertanyaan, kenapa foto tanggal 1 likenya banyak, sedangkan esoknya dikit. Kameranya sama, yang motonya dia-dia juga, isi fotonya mirip, editannya identik, jumlah pengikutnya pun gak berubah… lantas mengapa jumlah like hari ini dan esok bisa jomplang?

Penyebab utamanya adalah alogaritma pada Instagram itu sendiri, yang kadang tidak berdasar pada estetika alias semau-maunya dia saja. Seperti singgungan saya soal kesenian dan seniman, jelas bahwa salah satu sifat dari seni adalah ingin diapresiasi. Ya makanya kamu pajang foto pun karena ingin dilihat oleh pemirsa ‘kan? nah, perkara utama di sini adalah Instagram itu sendiri. Coba deh kamu post foto secara rutin selama seminggu penuh, lalu buka “insight” dan lihat kecenderungannya… dari tujuh hari, ada berapa hari yang punya data insight “bagus”. Tebakan saya dua atau tiga hari saja.

Jika data insight itu ditelaah lebih lanjut, selain jumlah like, share dan komen, akan terlihat angka berapa kali foto tersebut tayang atau muncul pada beranda orang lain. Kalau follower kamu 1.000 tapi tercantum angka 2.000, maka sisanya adalah 1.000 kali fotomu muncul di beranda orang yang tidak mengikutimu. Itu terdengar bagus, tapi bagaimana kalau data yang muncul dibalik? munculnya 1.000 kali padahal pengikutmu ada 2.000? artinya ada 1.000 orang yang entah dengan alasan apa, tidak bisa atau tidak sempat melihat fotomu di berandanya. Karena ini urusannya alogaritma, maka jelas, antara fotomu tidak dimunculkan di beranda orang lain, atau muncul tapi di bawah karena tertimpa postingan lain yang (kadang) tidak diikuti malahan tidak ada hubungannya sama sekali.

Jelas dong, bagaimana fotonya bisa dapat like sedangkan muncul untuk terlihat saja tidak. 

Saya tetap akan menyalahkan alogaritma Instagram sebagai biang kerok utama. Di luar ada temanmu yang pelit like atau silent reader, tetap faktor utamanya adalah alogaritma Instagram. Permasalahannya adalah, kadang foto yang likenya banyak itu terlihat superior daripada yang likenya sedikit. Tidak peduli fotografernya adalah orang yang sama dan diunggah di akun yang sama pula.

Aku memiliki sebuah akun yang kegiatannya memfitur foto-foto pemirsa yang pakai hastag buatan saya. Di sana saya terapkan juga kebijakan menyembunyikan like. Saya tidak mau satu foto terlihat inferior daripada foto lainnya atas dasar angka like yang tampak. Lebih baik semua sama rata, biar yang dinikmati pemirsa murni hanya kualitas fotonya.

Berkait dengan judul, mengapa like itu adalah racun, adalah bagaimana kita menyikapinya. Tidak sedikit orang yang saya kenal sangat teracuni oleh yang namanya like. Dia mungkin tidak tahu terlalu banyak mengenai alogaritma dan sebagainya, tapi kaget ketika satu foto mendadak sepi. Akibatnya pikiran dia terusik, dia jadi terpaku pada jam unggah tertentu, hastag tertentu, hingga yang paling parah dia berhenti memajang foto yang mirip-mirip foto sebelumnya yang miskin like, alih-alih dia hanya memajang dan bahkan memotret selayaknya foto dia yang pernah meledak. Padahal belum tentu foto itu secara estetika dan komposisi paling bagus, tapi karena sudah terbukti banjir like, dia jadi terpaku untuk ikut kecenderungan. Ini mengerikan, bagaimana bisa pikiran kita jadi terkurung seperti itu.

Ingat, like pada Instagram tidak mencerminkan apa-apa kecuali kepopuleran foto tersebut dalam segala ketololan sistem alogarita Instagram dan keberpihakan pemirsa dalam memberikan like itu sendiri. Karena sampai kapan pun foto-foto portrait luar biasa berteknik dari Tatsuo Suzuki yang pengikutnya ratusan ribu, tidak akan sebanyak like pada foto selfie cewek remaja dengan pengikut hanya seribu dan postingan hanya lima (dan di bio dia ada akun cowoknya + manajemen talent abal-abal)

akan lebih bodoh kalau kamu berkarya hanya demi tanda suka yang semu itu. sama bodohnya dengan brand kamera yang mengambil influencer hanya berdasar follower dan jumlah like saja, serta mengabaikan yang benar-benar jago tapi pemirsanya tidak terlalu banyak.

Memang ada hal-hal yang bisa diduga, seperti foto warna selamanya akan lebih banyak like daripada foto monokrom. Mengunggah pada jam prime time juga akan menjanjikan lebih banyak audience daripada dini hari. Tapi jumlah like itu di luar kuasamu, itu terserah Instagram dan kecenderungan pemirsa. Makanya saya harus tegas berkata bahwa kamera itu kamu beli pakai uang sendiri, hunting juga kamu yang capek, ngedit juga terserah kamu… jadi mengapa memotret untuk pihak lain? toh bukan foto komersil yang dibayar. Sembunyikan like di semua foto, maka semua foto kamu akan sama bagusnya. 

Tapi tentunya tidak semua orang punya gagasan yang sama. Ada yang memang ingin terlihat populer, sampai-sampai beli follower dan like. Namun atas dasar ketenangan batin dan kebebasan berkarya, saya melihat manfaat dari fitur menyembunyikan angka like. Itu kalau kalian masih betah berlama-lama di Instagram, yang mana sangat tidak saya sarankan untuk fotografer serius maupun idealis. Saya lebih merekomendasikan untuk membuat website sendiri.

Itulah bahasan kali ini. Pada akhirnya semua terserah kamu. Dari kamu, untuk kamu juga. Bukan untuk orang lain. Kembali pada niat, toh kita akan dipertemukan dengan apa yang kita cari.