Mengapa Saya Memotret Hitam-Putih

Ada satu kalimat terkenal dalam dunia fotografi yang selalu saya ingat, isinya kurang lebih begini, “jika kau memotret manusia dalam warna, maka kau memotret pakaian mereka. Namun ketika kau memotret dalam hitam-putih, maka kau memotret jiwa mereka.”

Iya mungkin saja itu benar. Tapi yang harus dipahami adalah, mengubah foto warna menjadi hitam-putih tidak serta merta membuat foto tersebut menjadi lebih menarik. Kalau bagus ya bagus saja, mau warna atau pun hitam-putih, sebaliknya juga demikian.

Dahulu kala (sekarang juga masih), saya memiliki kesukaan untuk menikmati karya-karya foto jalanan Jepang. Kerlap-kerlip gemerlap Shibuya, disulap menjadi monokrom yang elegan dan misterius. Daido, Tatsuo, Kawamoto, dan banyak lagi, mereka menampilkan emosi dan kegairahan subjek yang hidup dalam lingkungan yang serba sibuk, tergesa-gesa, dan penuh dinamis. Semua ditampilkan dalam balutan monokrom, dan itu sukses. Karena menurut hemat saya, pemandangan kota di Tokyo akan terlalu ceria, hangat, dan meriah, apabila ditampilkan utuh berwarna.

Eh tapi, walau sedikit banyak keputusan saya bermain hitam-putih itu dipengaruhi pada kegandrungan saya akan fotografi Jepang, alasan saya sedikit lebih tidak enak didengar. Saya harus jujur bahwa visual di kota saya ini… sampah. Huhu. Saya tidak bakal membandingkan Bandung dengan Tokyo karena memang tidak ada manfaatnya. Namun dari sinilah, salah satu manfaat foto hitam-putih yang setidaknya berlaku untuk saya : membuat latar visual lebih sederhana, dan mengunci fokus terhadap subjek saja.

Sumpah, saya tidak merasa foto tersebut berkali-kali lipat lebih bagus ketika mengubahnya jadi hitam-putih, malah terkadang saya merasa sayang harus menjadikannya hitam-putih ketika saya merasa foto tersebut sudah enak dilihat dalam keadaan warna. Saya hanya ingin foto saya terlihat lebih sederhana dan spesifik berfokus pada subjek, yang mana sebetulnya juga bisa didapat dalam keadaan warna, seandainya saya lebih jago.

Melihat tren street fotografi dewasa ini, ketika foto berwarna biasanya minimalis sekali, satu frame hanya tiga sampai lima warna, jangan ramai-ramai amat, iya saya kepengen juga. Masalahnya saya tidak begitu pandai mencari (dan menemukan) spot-spot warna minimalis ala dalam foto Ilker Karaman (Turki). Dan semenjak itu, mendingan kita buang saja warnanya, jadikan hitam-putih. Serius, daripada saya bohong, mendingan saya jujur saya bahwa saya kurang jeli main warna. He he.