Street Portrait #3 – Set Up Kamera

Saya berusaha untuk tidak terkesan mengarahkan apalagi mempromosikan produk tertentu ya haha. Kalau kamu sukanya pakai DSLR ya teruskan, kalau baru punya iPhone ya pakai. Khusus untuk interchangeable lens camera, saya merekomendasikan pakai lensa yang lebar. 35mm, 28mm, lebih hebat lagi pakai fish eye sekalian deh haha. Supaya apa pakai lensa focal lenght lebar? Ya supaya lebih banyak yang masuk ke dalam frame.

Baca part 2 di sini

Ini subjektif sekali, tapi memang saya paling nyaman ketika pakai X70 dan X100 series. Secara umum saya memang gandrung dengan kamera “pocket premium”. Saya tidak masalah lensa tidak bisa diganti karena yang saya butuhkan hanya 28mm (atau 35mm). Hasilnya super tajam dan dinamis, kotrol enak, ada flash, dan yang terpenting ya ukuran dan bobotnya yang pas sekali buat dibawa jalan-jalan.

Tapi tentunya pendapat saya soal kamera tidak mutlak sama sekali. Karena kamera terbaik adalah yang sudah kamu miliki, dan kamera terhebat adalah yang bisa menghasilkan foto yang kamu inginkan dan sukai. Oke Ricoh GR atau Fuji X70 sangat spesifik buat street fotografi, dipakai foto studio gak akan bener, tapi untuk street portrait ya cocok. Oh, ini tidak wajib. Tapi kamera yang punya pop-up flash adalah nilai tambah. Kamu akan bersyukur jika itu ada, dibanding tidak ada sama sekali…

Setting kamera

Ah, pastinya kamu yang baca tulisan ini sudah sangat menguasai kamera apalagi kamera milik sendiri. Dan sudah punya setting kesukaan masing-masing.

Ada banyak street fotografer yang menyukai pakai mode P, lalu kadang ganti ke A, S, atau M, bergantung situasi. Saya sejujurnya hampir tidak pernah memindahkan mode, hampir selalu di mode M (manual). Eric Kim menyukai mode P, karena dia bilang tidak direpotkan dengan setingan eksposur ketika di jalanan. Saya kok merasa, mengubah shutter speed atau F itu tidak merepotkan ya, toh masih bisa dijangkau dengan jari.

Saya percaya mode terbaik adalah M, karena walau kamera sudah semakin canggih, dia tetap tidak bisa membaca keinginan hati sang fotografer. Mode semi auto akan selalu mengarahkan pada eksposur yang “normal” atau “wajar”. Kamu tidak akan bisa membuat orang menjadi siluet dengan mode semi auto, karena eksposur meter kamera akan berusaha membuat subjek menjadi terang.

Saya tidak sampai hati untuk memasrahkan F atau SS kepada kamera. Itu sangat krusial buat saya, harus terserah saya. Jika ada setingan yang tidak masalah saya serahkan pada kamera, mungkin hanya ISO. Makanya ketika ada mode manual tapi ISOnya auto, itu boleh juga.

Saya tidak mau kamera mengatur F, karena kamera tidak tahu tingkat DOF yang saya inginkan. Saya juga tidak rela kamera mengatur SS, karena dia tidak tahu subjek di depan saya itu berjalan atau berlari. Tapi kalau ISO, ya asal menurut dia terang, silakan saja. Asal jangan nyasar jadi ISO 25600 saja. Kendati pun foto yang noise itu masih bisa dibetulkan, tapi foto yang ngeblur karena SS kelewat lambat, itu sudah tidak bisa diapa-apakan.

Contekan ringan sih, gunakan F paling luas sesuai kondisi cahaya… F/5.6 , /8 , apalagi /11. Ini tentu dimaksudkan agar semua yang ada di dalam frame, fokus. Itu juga mengapa saya suka 28mm, memang F luas itu pasangannya ya lensa lebar.

Shutter speed tidak usah terlalu cepat juga gak apa-apa, toh subjeknya relatif diam tidak jalan-jalan, 1/125 masih sangat memungkinkan dan bisa diperlambat jika tangan kamu stabil. Settingan F luas dan shutter speed yang tidak terlampau cepat memungkinkan angka ISO tidak terlalu boros.

Itu buat saya, buat kamu beda lagi. Mode apapun, asal kamu puas, fotonya dapat, maka itulah yang terbaik.

Baca part 4 di sini