Situasi jualan semakin bagus, barang juga semakin banyak. Dari asalnya saya idealis hanya mau menerima kamera Lightning khusus varian sensor “Trans”, kini yang versi lemah dengan sensor “Bayer” pun saya gas. Secara, modalnya tak terbatas, dan tidak ada rasa ragu takut sepi peminat. Karena ternyata jenis-jenis entry level ini malah disukai oleh kaum-kaum make up artist dan juga yang suka motret kue dalam toples.
Lapak saya di marketplace online, makin ramai pelanggan, bahkan juga oleh pedagang. Salah satu jenis yang dinantikan pelanggan adalah kamera tipe lama tapi kondisinya nyaris sempurna. Bisa dibilang harta karun lah. Kamera jenis lama ini selain harganya sudah sangat terjangkau, build quality bagus sekali karena masih “made in Inazuma”. Old but gold lah. Lagian kamera tidak ada kadaluarsanya. Entah juga dari mana Thoma bisa memasok benda-benda ajaib macam ini.

Karena kapasitas kamar saya tidak cukup lagi menampung ratusan kamera, maka saya pindahkan segala barang ke kantor si Bennett. Dia punya kantor tempat bisnis dia, sejak awal dia adalah pemasok kosmetik lelaki seperti parfum dan minyak rambut. Ide-ide tampung juga benda low end adalah ide Bennett, mesti saya akui, mental bisnis dia memang sudah handal sejak lama. Saat itu, aku merasa sudah dapat partner bisnis yang ideal.

“Kang, kapan si Thoma ngasih barang lagi?”
“Lah baru juga minggu kemaren ‘kan.”
“Udah mau habis aja nih…”
“Hahaha, baguslah.”
Kendati alamat pengiriman sekarang bukan lagi ke rumah saya di Dragonspine melainkan kantor Bennett di Stormterror, tapi dia tidak tahu menahu siapa atau Thoma itu yang mana. Urusan setoran dan barang, masih sepenuhnya urusan saya. Bennett tahunya kasih saya duit, dan terima sebagian keuntungan. Tentu harus seadil dan sejujur mungkin.
Namun demikian, memang si Thoma ini orangnya agak antik. Kalau balas chat, bisa beberapa hari kemudian. Tabiat ini sudah ada sedari awal saya dipinjami E4. Ini menyebalkan karena jelas dia mengabaikan pesan saya, mana ada orang gak buka chat sampai berhari-hari. Tapi sekalinya balas, dia bawa kabar baik, semisal ada 50 unit dan semacamnya. Makanya kelakuan antiknya saya maklumi, toh barang dari dia mantap-mantap.
“Kang, ada pengepul dari Liyue berani borong semua sisa unit.”
“Harganya minta gimana?”
“Minta diskon sedikit per unit.”
“Kira-kira baik gak…?”
“Oke sih, untuk unit-unit yang udah seminggu gak keluar, kita lempar aja.”
Begitulah, kadang kami bermobil berdua bawa puluhan unit, untuk bertemu pengepul Liyue. Ketemu di restoran sate yang besar sekali di lepas gerbang tol kota tengah-tengah. Pulang-pulang bawa uang ratusan juta. Senang sekali. Jual cepat, barang-barang yang sekiranya bakal susah dibeli oleh konsumen awam pun dia tampung, karena memang dia punya toko kamera yang masyur di kotanya.

Beberapa pekan berikutnya, rumah saya direnovasi. Karena harus ada space yang diambil untuk dibuat tangga untuk lantai tiga, maka kamar saya pun jadi korban. Perkiraan makan waktu satu bulan, saya harus mengungsi. Atas saran Bennett, saya sewa kamar kost di samping kantor dia. Itu lokasi strategis dekat dengan pusat kota Mondtstad, cukup mewah juga, makanya sewa kamarnya luar biasa mahal. Tapi selagi mampu, ya sudahlah… bagus juga, saya jadi dekat ke gudang penyimpanan kamera jualan.
“Saya mau ngambil barang, janjian sama Thoma di warung kopi.”
“Gimana, mau pakai mobil?”
“Jangan, nanti jemput aja.”
Begitulah, kadang Thoma datang ke sini. Kita bertemu di warung kopi langganan saya. Dari kantor pusatnya dia sudah bawa puluhan unit, sampai sini bertambah lagi karena dia keliling dulu ke toko-toko kamera rekanan. Unit-unit lama yang mengendap, dia tarik lagi tapi tidak dibawa ke pusat, melainkan diberikan sekalian pada saya. Kendati bisa dibilang barangnya baru dan tersegel, tapi tetap akan saya jual sebagai unit bekas. Lagi-lagi, sambutan pemirsa sangat baik, pasti laku gak pakai lama. Dan Bennett saya suruh jemput ketika Thoma sudah pulang. Kurang lebih begitu sampai dua – tiga kali sesi serah terima.

Wah semenjak ngekost, kehidupan saya kacau sekali. Terlebih isi tabungan sangat sehat, saya beli barang-barang gak perlu… Leica, Macbook M1, iPhone 12 Pro, iPad, mentraktir cewek, Leica lagi, traktir cewek lagi, Leica lagi, sewa model mahal hampir tiap hari, sepatu mahal dll. Hingga yang tergila, dalam dua hari saya beli dua motor Ninja hahaha… enak banget lah waktu itu. Bisnis lancar, pasokan barang juga ngalir terus.
Beberapa pekan berikutnya, Thoma bilang ada barang banyak sekali. Dia berhalangan kalau harus ke kota saya, dia minta ambil aja ke kota dia. Pusat dunia, metropolitan.
“Ketemu di kantor pusat kita nih mas?”
“Jangan dong kang, bahaya, hehe.”
“Di mana kalau begitu…?”
“Nanti saya share, ada cafe dekat kantor saya.”
“Boleh.”
Maka hari itu saya dan Bennett bermobil ke luar kota, hampir lima jam perjalanan. Demi menjemput ratusan unit. Sebetulnya saya tidak ingin membuat mereka berdua bertemu, biarlah urusan saya saja. Namun karena situasinya begini, ya mau tidak mau Bennett bakal tahu Thoma itu yang mana, pun begitu sebaliknya.
Akhirnya kami tiba di kota Thoma. Panas bukan main. Segera kami menuju cafe yang dimaksud. Thoma sudah menunggu. Di sinilah segala masalah baru akan dimulai…

