Siang sekali aku bangun, hampir jam dua. Kupandangi jendela kamar, tak ada lagi silau semburat cahaya yang menerobos masuk, semuanya abu nan kelam. Sepertinya musim panas sudah berakhir.
Aku tidak ingat entah sejak kapan, namun aku ingat betul bahwa dahulu kala semuanya terasa seimbang, tidak kebanyakan hujan. Walau tahun ini rasanya lumayan panjang, tetap saja sebenarnya hanya dua bulan. Perasaanku soal musim hujan agak campur aduk semenjak gemar memotret di jalanan… kadang rada kesal apalagi entah kapan lagi yang namanya bulan puasa terjadi di musim panas. Ada yang ingat?
Selanjutnya bisa ditebak, pagi sampai siang mungkin cerah mungkin berawan, namun jam dua siang hingga petang pasti hujan. Bagiku yang memotret mulai dari sore, ini adalah petaka. Kendati sejak awal memotret aku sudah belajar untuk berdamai dengan buruknya cahaya dengan mempertajam teknik low-light, tetap saja kalau dikasih pilihan, aku akan memilih sore yang cerah daripada mendung.

Gimana ya… genre foto yang kusukai adalah kepadatan manusia. Di kota ini, baru ramai kalau sore. Memotret pagi tentu saja besar kemungkinan cerah, tapi tidak ada artinya kalau sepi. Dan kalau sorenya hujan, ya sepi juga…
Soal kamera, tidak ada bedanya sih. Saat tulisan ini dibuat, aku masih pakai Lumix GX85, yang untungnya kamera ini malah lebih hebat kalau ngeflash malam-malam, tapi tidak tahan hujan. Pernah sih satu dua kali aku beli kamera yang tahan diajak hujan-hujanan, yaitu Fuji X100V dan Olympus E-M5 II, tapi tidak pengaruh juga. Percuma aku bisa jalan-jalan dalam hujan sambil memotret, kalau yang dipotretnya gak ada. Ini bukan di Tokyo yang kalau hujan, ribuan orang tetap memenuhi jalanan lengkap dengan payung transparan. Hujan ya selesai, tunggu reda baru motret.

Pekan-pekan pertama setelah pensiun, kerasa banget sih. Biasanya akhir pekan ada agenda untuk dilakukan. Apalagi agak lebih dari sekadar foto-foto sih, banyak juga kenangannya. Tapi daripada aku ketularan jadi pedofil, lebih baik akhiri saja, kembali ke jalanan. Selain meninggalkan arena fotografi, aku juga meninggalkan teman-temanku (dan juga cewek-cewek wibu yang sudah akrab). Yang paling kerasa sih aku kehilangan akses untuk mencari model dengan biaya minimal. Sekarang susah sekali ajak stranger kenalan lalu foto-foto, tapi bukan tidak mungkin, toh dulu juga bisa.
Sebetulnya sejak tahun lalu, aku menemukan cara untuk melarikan diri dari sepinya kota apalagi kalau sudah masuk musim hujan, yaitu dengan memotret di even Jejepangan. Dengan harapan bisa curi-curi street atau pun portrait kalau ada yang agak bagusan. Sudah begitu kalau hujan agak aman, karena pasti di dalam mall. Namun karena satu dan lain hal (baca cerpen ini), aku memutuskan untuk berhenti sekitar tiga bulan lalu.

Ya… di umur segini sih, aku tidak begitu masalah untuk kehilangan teman karena toh nanti juga ada lagi yang baru. Jangankan cuma mereka, kehilangan Harry Kane yang pindah ke Bayern pun saya harus terima, haha.
Toh sambil aku merenung karena kehilangan hal-hal yang sempat mengisi akhir pekanku setahun belakangan, kulihat lagi foto-foto lama. Aku tidak pura-pura terkejut, karena sebelum ada semua itu pun aku baik-baik saja. Dari sananya aku ini sudah fotografer jalanan, cukup dikenal pula. Makanya, kalau aku berkeluh kesah, nanti siapa yang bakal memberi motivasi untuk street tog lain. Lagian kalau motret di event Jejepangan… rasanya seperti nyetir Koenigsegg di jalanan Bandung… tidak ada yang bakal membuka jalur, bikin jalannya lebih lebar, atau menambah batas minimal kecepatan. Yang ada aku harus mengemudi dengan pelan supaya tidak menyenggol Sigra Sigra yang memenuhi jalanan kota ini.
Sekiranya tidak membuatmu berkembang atau malah bikin jadi bodoh, lebih baik tinggalkan.

Ya begitulah. Apakah segala kegilaan ini akan membuatku berhenti memotret? tidak! aku akan selalu menemukan cara untuk membuat foto. Kamu juga harus begitu, karena pada akhirnya yang harus bahagia adalah dirimu sendiri, lewat cara apa pun juga. Tetaplah bawa kamera ke mana pun kamu berjalan, kehidupan akan menemukan jalannya sendiri kok.

