Sering saya lihat teman repost “lomba / challenge” foto di Instagram, tapi tak pernah tertarik ikutan. Kalau ditanya sih, jawabannya mau pura-pura simpel, karena para fotografer idola saya pun tak pernah ikutan dan juga foto saya jarang dengan tema menjual. Kalau semacam LensCulture, itu saya beberapa kali, daftarnya pun bayar tapi tak masalah. Karena ada kepercayaan pada… kredibilitas panitia dan ajang itu sendiri.
Alkisah sekira tahun lalu di sebuah negara, ada brand kamera yang termasuk market leader di Kawasan tersebut, bikin lomba terbesar yang pernah mereka buat. Hadiahnya gak main-main, total produk senilai hampir 150 juta sesuai nilai pasar saat itu. Maklum, memperingati sekian tahun brand tersebut berkecimpung di bidang ini.
*saya harus pandai-pandai menyusun bahasa nih, supaya tidak kena masalah he he
Luar biasa enak sih kedengerannya. Durasi lomba sekitar satu bulan, genre bebas, foto pun tidak usah susah-susah edit karena temanya memang non edit, cukup pakai “preset” paling basic yang pasti ada di kamera tersebut sekalipun dari varian yang paling murah. Simpel ‘kan? Cukup pakai tagarnya saja. Kita juga tidak harus repost poster segala macam, gak bakal terlihat seperti prize hunter pokoknya.
Sebulan berjalan, saya cek foto-foto yang pakai tagar lomba tersebut. Tidak ada sampai seribu entri. Kenapa nih orang-orang, sebulan ‘kan lama sekali… syarat fotonya pun sangat mudah bahkan foto apapun yang pernah kamu jepret pakai kamera tersebut, sudah pasti masuk kriteria, pokoknya minim effort. Sedangkan lomba-lomba singkat berhadiah preset Lightroom yang tidak ada harganya nan bersyarat mesti repost ini itu yang bikin malu pun, saya sering dapati hingga puluhan ribu foto masuk. Ada apa sih? Apa pada gak tertarik sama total hadiah yang sampai ratusan juta itu?
Hari H, para juara diumumkan. Reaksi pertama saya… hanya bergumam “oooh”. Sepertinya wawasan saya tentang fotografi mesti diperdalam lagi, atau mungkin wawasan soal cara-cara supaya menang, ha ha.
Nah kemudian di grup Facebook fans club brand tersebut. Terjadi sedikit, atau sebenarnya banyak sih, diskusi mengenai foto-foto yang terpilih. Tak sedikit pula yang rada ricuh, mempertanyakan kepantasan foto-foto (atau orang-orang) itu menang. Itu yang “protes”, bukan melulu karena fotonya kalah. Banyak juga yang memang tidak ikutan lombanya kok padahal mereka bisa dan mahir, dengan alasan masing-masing. Saking meriahnya, admin-admin yang memang punya ikatan dengan brand, sampai mesti turun berkomentar dengan arah yang bisa ditebak, menjauhkan opini-opini miring yang bakal tertuju pada penyelenggara, dalam hal ini brand.
Karena memang secara kasat mata pun, banyak foto yang lebih bagus tidak dipilih. Selaku garis besar dari lomba ini tuh “foto tanpa diedit”, yang mana seharusnya goal dari proses ini adalah memperlihatkan bahwa kamera ini tuh sakti, foto tanpa edit pun sudah ciamik, ujung-ujungnya mengangkat nama brand dan penjualan akan meroket. Maka atas dasar apa foto-foto yang dari aspek visual jauh lebih mumpuni, dibuat kalah?
Bersama pada aliran kiri, saya ikutan diskusi kecil-kecilan. Tapi malah ada yang sampai seperti investigasi sih haha. Ya begitulah, kami pelajari akun-akun Instagram pada pemenang. Ada yang fotonya bisa dihitung jari, ada yang memang cuma upload khusus lomba, ada juga yang malah sehari-harinya jauh sekali dari kesan “fotografer” tapi ujug-ujug khusus di bulan ini dia motret dan hebatnya menang. Namun satu kesamaan yang pasti, kelihatan dari circle following dan followernya. Oooh ternyata, silakan simpulkan sendiri.
Seperti dibahas di awal, lomba ini luar biasa mudah dengan hadiah melimpah, namun antusiasme pemirsa luar biasa rendah. Juri sudah nama-nama top, hadiah sudah megah, durasi lomba juga panjang, kurang apa lagi coba sampai-sampai flop?
Apakah ini karena pemirsa sudah tahu kalau dia tak bakal menang? Apakah hal seperti ini pernah terjadi di masa lalu? Lantas memangnya penyelenggara tidak menyadari hal ini?
Tentu saya pun tidak akan pernah mau ikutan sebuah ajang kalau sudah dipastikan tidak akan menang. Tapi masa sih, sampai sebanyak itu pemirsa yang punya pemikiran begini. Berarti itu adalah rahasia umum hasil dari pengalaman masa lampau dong? Dan sepertinya buah dari lomba tersebut, pemirsa malah makin tidak percaya pada lomba-lomba berikutnya yang mungkin diadakan oleh brand tersebut?
Kemudian saya ingat satu lomba, temanya street fotografi oleh merek rokok yang disamarkan, sepanjang promosi digembor-gemborkanlah profil sang juri yang ditasbihkan sebagai “maestro” , “specialist” dan sejenisnya. Eh… salah satu foto yang menang, diambil dari dalam pot bunga, worm view orang menanam kembang. Untuk genre lain itu oke-oke saja, tapi karena judulnya saja “street”, dan bahkan menang pula. Pro dan kontra muncul, kolom komentar penuh, sang juri yang “maestro” itu bilangnya dia tidak ikut penjurian, entah hanya dipakai namanya saja atau bagaimana. Ini aneh karena kalau cuma mau pinjam nama, sekalian saja Bruce Gilden atau Eric Kim. Selain terkesan cuci tangan, pada akhirnya ada hal yang jangan sampai dikenang dalam sejarah : semua postingan berbau lomba tersebut dihapus. Bravo.
Itu tadi kisah di sebuah negara di sekitar Segitiga Bermuda. Tapi cukup mewakili salah satu alasan mengapa saya tidak mau ikutan lomba di Instagram, karena biasanya yang menang ya circle dia-dia juga. Alasan berikutnya adalah saya malas bersaing. Bukan persaingan sehat nan kompeten semisal di LensCulture ya. Melainkan malas bersaing dengan orang-orang oportunis yang sudah spesialis menguasai system penjurian hasil Instagram. Karena memang Teknik-teknik supaya foto dipilih tuh ada, semisal, upload benar-benar sebelum deadline. Ini memanfaatkan fitur explore pada tagar Instagram, yang bagaimana pun ketika kita mengecek foto-foto berdasar waktu upload, tentu yang terakhir masuk yang muncul duluan. Kelihatan fotonya agak bagus, juri bakal save. Dan belum tentu juri itu cukup rajin untuk terus scroll ke bawah jika ada ribuan atau puluhan ribu entry.
Masih banyak sih cara untuk memperbesar peluang menang. Tidak akan saya jabarkan karena saya tidak mendukung. Kebanyakan sih ya memanfaatkan celah Instagram itu sendiri. Kendati misalnya sudah disyaratkan bahwa sebuah foto yang PERNAH IKUT lomba apalagi menang, tidak boleh diikutkan pada ajang tersebut, ya tetap saja. Para peserta yang oportunis itu tinggal menghapus postingan dia di masa lalu, upload ulang deh foto andalan dia, dengan caption baru menyesuaikan lomba yang baru pula. Ada yang gitu? Banyak!
Ini kita membicarakan lomba yang… ya masih dalam tahap casual lah. Sudah serumit ini. Dulu ada anekdot, apapun tema lombanya, yang menang foto karapan sapi penuh lumpur. He he. Tapi biasanya lomba yang benar-benar kompetisi serius, tidak dengan cara upload ke Instagram kok.
Itulah dia, mengapa saya tak mau ikutan lomba foto di Instagram. Pertama, saya meragukan kredibilitas ajang tersebut. Kedua, saya enggan bersaing dengan para oportunis prize hunter. Lebih baik saya ikut kontes berbayar seperti LensCulture, kredibilitas dan objektifitas penyelenggara serta jurinya jelas, mereka juga punya tools untuk mendeteksi keabsahan foto dan kiprah foto tersebut di Internet, cara mengirimkan fotonya pun jelas tanpa memanfaatkan celah Instagram. Dan yang terpenting, karena ada uang pendaftaran. Ini jadi semacam filter, karena pada prize hunter akan pikir-pikir kalau harus keluar modal lagi, secara… foto yang sama aja mereka pakai berulang-ulang di banyak lomba kok. Ya pokoknya jangan terlalu berharap menang, karena ada pihak lain yang tanpa berharap pun sudah tahu akan menang.
Salam. Memotretlah untuk kesenangan.

