Google Pixel : Kameranya, Tips Memotret, dll

Aku ini Apple fanboy jadi pasti pakai iPhone, karena sudah terjebak di ekosistem bersama Macbook dan iPad. Tapi saya gak pernah mau beli Apple Watch entah kenapa haha. Kendati demikian, untuk smartphone, kadang aku selingi dengan Google Pixel. Biasanya karena kameranya sih…

Dahulu kala sebelum “terpaksa” pakai iPhone, saya pasti pakai HTC. Karena satu dan lain hal, mereka selesai. Juga dahulu kala, entah kenapa, terbiasa pakai HTC, smartphone Android lain jadi terlihat seperti mainan… baik built quality sampai UI dan UXnya. Lagi-lagi dahulu kala, Google cuma punya Nexus, ya walau UInya pure Android tapi aku tidak mau kalau ada logo Huawei atau LG hehe. Barulah setelah HTC tamat, bisnis mereka diambil alih Google. Bahkan di awal-awal, Pixel 1-3 itu HTC banget, bahkan made in Taiwan. Maka dari itu, kalau harus pakai Android, ya aku belinya Pixel.

Namun demikian, Pixel tidak pernah masuk resmi ke sini. Pasti aku harus beli dari seller jastip Singapura. Dulu sih enak-enak aja, tapi semenjak ada aturan IMEI, jadi mesti sangat hati-hati

Apa sih yang bikin aku suka sama Pixel. Cuma dua sih, OS dan kameranya. OS karena mereka Android murni gak pakai skin-skin kartun yang ikon-ikonnya macam Candy Crush (walau belakangan Android mereka yang Material U ikonnya jelek sekali, tapi syukurlah saya sudah pindah ke iOS), juga user experience yang sangat smooth, tidak ada aplikasi sampah, Google juga semakin cerdas, pokoknya enak lah.

Yang kedua dan terpenting, kameranya. Pernah lihat orang-orang yang pasang “G-Cam” di smartphone Android dia? itu karena saking bagusnya software pada kamera Pixel. Menurut saya itu agak lucu, kenapa gak beli Pixel aja sekalian daripada repot-repot.

Saya tidak akan bahas gimmick-gimmick macam bokeh palsu, fitur mengilangkan objek, atau zoom ratusan kali. Melainkan tentang betapa cocoknya Pixel untuk street fotografi, portrait dan juga diolah monokrom. Oh iya, foto-foto di sini diambil pakai Pixel 2 dan 3. Mulai dari Pixel 4 dan lebih baru, saya merasa mending beli iPhone saja.

Berbeda dengan Iphone yang entah kenapa harus di versi Pro demi bisa mengakses format RAW. Pada Pixel, dan Android apapun sudah ada dari sananya. Kalau tidak mau pusing ya pakai JPEG saja, sudah pasti bagus, smart HDR, dll. RAW pada smartphone apapun pasti DNG formatnya, dan biasanya segala olahan software pintar akan hilang. Fotonya bakal pucat, tidak kontras, pokoknya gak menarik. Tapi entah mengapa pada Pixel, saat foto RAW, fitur HDR malah tidak bisa dimatikan. Bukankah makanya kita RAW karena ingin semuanya mentah? mungkin demi mencegah fotonya tidak terlihat jelek-jelek amat.

Nah karena itulah, mengedit dengan tone hitam putih akan sangat enak kalau awalnya netral. Sebenarnya dengan memotret RAW maka kita menyia-nyiakan software Google yang hebat itu sih. Tapi mana enak edit monokrom di JPEG, rusak fotonya. Syukurlah “Night Sight” tidak ikutan hilang pada RAW, jadinya kita bisa motret RAW malam-malam dalam keadaan yang foto yang sudah terang nan bersih. Bahkan terlalu bersih, makanya saya tambah-tambahkan grain.

Oh iya, bokeh palsu dalam portrait mode juga tidak akan hilang di mode RAW. Hanya saja aku tidak suka, walaupun bokeh palsu di Pixel cukup rapi, tapi tetap tidak pernah natural.

Untuk street bagaimana…? sayangnya karena tidak ada mode manual, jadi tidak bisa atur shutter speed. Ini cukup merepotkan kalau motret yang lari-lari. Walau mode auto dia push shutter speed secepat mungkin, alangkah baiknya kalau motret yang statis saja. Sejauh yang saya lihat, detail, warna dan ketajamannya mendekati kamera sensor 1″ kayak Canon G7X. Saya selalu pixel peeping file RAWnya ya. Kalau JPEG SOOC, udahlah, pasti bagusan smartphone… apalagi kalau motret gedung malam-malam.

Tahun lalu saya menerbitkan satu buku, nude art, yang semua fotonya saya ambil pakai Pixel 2. Saking cocoknya buat foto-foto gaya grainny monokrom. So, untuk gaya tertentu, saya rasa motret pakai smartphone malah lebih oke daripada pakai kamera.

Sekarang Pixel sudah sampai generasi 7. Aslinya sih harganya $699 bahkan lebih murah, tapi masuk sini bisa 17 jutaan terima beres IMEI terdaftar. Menurut saya itu gila, mending beli iPhone, jelas lebih terjamin masa depannya, nilai jual bekas di masa depan pun stabil, ada rusak apa-apa juga tukang servisnya bejibun, dan pastinya secara genera dalah smartphone yang lebih bagus.

Namun untuk Pixel jadul, kayak 3 atau 4a, pasaran bekasnya sangat menarik, pada di bawah 2 jutaan. Mana ada smartphone harga segitu yang kameranya sangat bagus begitu. Namun kamu harus hati-hati, beli yang IMEInya sudah didaftarkan. Jangan terlalu ingin yang termurah, masalah umum yang sering ditemui adalah baterai drop dan layar shadow. Ini karena unit-unit lawas itu masuknya udah limbah di luar negeri, jadi banyak yang dirakit ulang untuk dijual di negara-negara tak kunjung berkembang. Kalau dapat unit bagus, udah deh, 2 juta kamu dapat kamera yang sangat bagus, mau langsung JPEG mantap, mau foto RAW dulu juga oke, dan malah kayaknya lebih bagus fotonya daripada G7X atau LX10. Saya bisa nilai begitu karena saya selalu mengarsip file-file RAW yang pernah saya ambil, jadi saya bisa compare.

Untuk unit-unit lawas itu kayaknya OS sudah mentok dari tahun kapan. Ya walau ini Google langsung tetap saja dia tidak bisa terus-terusan ngasih software update, karena hardware tetap nebeng ke Qualcomm. Ini salah satu sebab saya hijrah ke Apple. Tapi ya daripada beli kamera pocket 2 jutaan, beli Pixel 4a saja. Bisa dipakai nelepon. Mantap buat portrait malam-malam, juga brilian untuk grainy monokrom.