“Leica” Edisi Spesial

Setelah bertahun-tahun, aku kembali bertemu dengan kamera ini…

Well, walau dalam wujud yang sedikit berbeda. Waktu itu sekitar tahun 2016, yang kupunya adalah Lumix LX100. Kali ini datang dalam versi Leica D-Lux 109, limited edition pula haha. Tentu saja keduanya adalah kamera yang sama. Buat kamu yang awam, Leica Dlux itu adalah kembaran dari Lumix LX. Nah, LX100 ada dua yaitu first edition (alias D-Lux 109) dan LX100 II (menjadi D-Lux 7).

Belakangan rilis sih D-Lux 8 tanpa didahului versi Lumixnya. Ini agak lain, namun ya tak bakal saya beli juga. Bahkan saya tidak akan pernah merekomendasikan Leica D-Lux pada siapa pun, sebab akan jauh lebih efisien untuk beli versi Lumix saja. Orang yang beli D-Lux itu antara awam atau niat sok keren, namun ya keduanya mengharuskan untuk banyak uang hahaha.

Seperti biasa, kamera ini dikasih oleh sahabat saya, Mas Nanung. Dia beli, bosan, lalu dilempar ke saya hehe. Dan juga seperti yang sudah-sudah, ini bukan review yang terlalu teknis, melainkan gambaran apakah layak kamu mengeluarkan uang untuk sebuah kamera lama yang harganya cenderung naik. Karena kalau sekadar bagus atau tidak… ya pasti bagus, apalagi kalau penggunanya jago.

Nah, tips lengkap menjadi sosok yang efektif, efisien dan elegan bisa kamu peroleh di e-book saya. Silakan download di sini.

Desain

LX100 adalah satu-satunya seri kamera Lumix yang tidak pakai dial mode P-S-A-M, alias kontrolnya independen ada di ring F lensa serta roda shutter speed. Ini mirip Fuji X100. Hanya ada sesuatu yang khas yaitu cetrek-cetrek aspect ratio di lensanya, itu tidak crop dari foto melainkan dari sensor. Itulah mengapa walau ukuran sensornya MFT tapi tidak benar-benar MFT, alias kena crop lagi sedikit. Kalau tidak percaya, lihat saja angka di lensanya… lensa dia bisa zoom 24-75mm. Jika sensornya MFT maka crop factor bakal 2x, seharusnya tulisan di lensanya adalah 12-37.5mm, tapi ini ‘kan 10.9-34 . Alias sensornya tidak bakal dipakai penuh.

Oleh sebab itulah, kalau mau ukuran filenya optimal, aspek rasio yang sebaiknya dipilih adalah 4:3.

Keren ya bentuknya? ganteng banget, mirip Sony RX1, bodi kecil lensa gendut. Tapi ini lensanya bakal keluar memanjang ketika digunakan. Pada FL paling lebar, bukaannya F/1.7 dan kalau zoom mentok turun jadi F/2.8 saja. Mengingatkan pada Canon G7X dan semacamnya. Harap berhati-hati pada debu… ya walau, jika debu sudah bersarang di sensor atau lensa ya sudah pasrah saja, cepat atau lambat bakal kejadian. Syukurnya tidak bakal sampai bikin lensa stuck macam di GR.

Build solid. Tadinya saya kira bakal sangat licin, karena D-Lux selalu menghilangkan grip yang tadinya ada di versi Lumix. Tapi finishing pada varian limited ini bagus sekali, catnya bener-bener terasa nempel di tangan, kayak aspal sirkuit drag race.

Ya begitulah… EVF 2.7jt dot, agak pedes di mata dan ada efek rainbow, kayak GX85 dan semacamnya. Layar satu juta dot, okelah. Mungkin ini hanya perasaan saya, tapi warna layarnya agak lebih bagus daripada LX100. Mungkin faktor kalibrasi, atau mungkin memang fotonya agak beda dari Lumix. Kalau soal menu sih, memang sama sekali dibuat berbeda, lebih elegan dan simpel Leica. Sayang sekali layarnya tidak sensitif terhadap sentuhan… sepertinya ini satu-satunya kamera modern Lumix yang tidak “touch screen”.

Performa

Sejujurnya ini sudah bisa ditebak. Tidak ada kamera Lumix yang lelet, atau tiba-tiba mati karena kepanasan. Kamera yang mirip sekali dengan ini adalah GX85, kecuali jumlah IBIS.

Start up time sekilat, lensa juga bisa mengingat posisi zoom terakhir sebelum padam. AF kalau buat foto apalagi singe point, ngebut banget. Bahkan dalam posisi minim cahaya sekali pun. Di samping lensa ada cetrekan AF / MF / Macro. Seperti sudah saya duga, MF tidak ada meteran jarak fokus -,- . Ada bar sih di bawah tapi cuma gambar bunga dan gunung, menandakan dekat dan jauh. Memang AF dia cepat, tapi ingin juga kadang pakai zone focus ‘kan…

Sekadar buat street, masih enak banget sih. Untuk zoom bisa dari lever di tombol shutter, cukup responsif walau “robotic” sekali. Tentu saja, saya pasti lupa untuk zoom dan hanya pakai di paling wide. Kamera ini tidak ada flash internal, tapi dikasih kok flash kecil. Kalau tak suka, pakai Godox IM-30 saja, jauh lebih bagus.

Ada IBIS, jangan khawatir. Sangat anteng walau pada zoom terjauh. Masih di bawah level IBIS 5 axis GX9 atau Olympus sih, tapi untuk penggunaan harian atau video, lebih dari cukup.

Baterai kamera ini umum sekali. Jangan coba-coba beli merek Leica. Tidak seperti X1, ini ada versi Lumix yaitu BLG-10, itu baterai yang digunakan di hampir semua Lumix GX dan murah. Dari hasil pengetesan saya, untuk hunting terus-menerus selama enam jam full flash, dia makan satu setengah baterai. Saya bilang sih oke…

Hasil foto

Sejujurnya kamera ini pun sangat layak untuk video, tapi saya tidak berminat ngetes terlalu dalam. Ya mirip GX7 lah hasilnya, cuma dia bisa 4K 30p. Sayang banget gak ada mic input, padahal cukup bisa “sinematik”, dia ‘kan bisa bokeh, stabil pula.

Nah sebaiknya bahas saja fotonya.

Pengambilan sebagian foto di tulisan ini dibantu oleh kawan saya Carl, sebab saya ingin juga motret pakai kamera lain kalau di jalan.

Untuk kamu yang bertanya apakah format RAWnya sama dengan Lumix, jawabannya cenderung iya daripada tidak. Kok begitu? ya karena kalau Leica beneran, filenya pasti DNG. Sedangkan ini RWL, untuk membedakan dari RW2 milik Lumix.

Tidak, tak ada warna Leica atau segala macamnya haha. Ini hasil fotonya Lumix banget… Tajam sangat, detail bagus, warna natural, tapi DR sangat miskin. Coba-coba up shadow terlalu ekstrim bakal langsung menghasilkan artefak. Beneran mirip GX7 karakter fotonya… sama sekali tidak jelek, tapi di bawah kamera MFT lain semisal E-M10 II (yang jauh lebih murah).

Jangan khawatir, untuk average user, hasil foto kamera ini masih bakal memuaskan kok. Hanya saja jangan berharap nama “Leica” membawa sebuah keajaiban, karena ini tetap Lumix, tua pula. ISO di atas 3200 jangan coba-coba…

Layak beli?

Ah… ini ‘kan LX100. Tapi sejujurnya menemukan LX100 dengan kondisi yang layak pakai di pasaran kamera bekas tuh susah juga, soalnya dulu pun ketika masih ada di toko, siapa coba yang beli (kecuali saya). Justru D-Lux 109 malah agak banyak di Tokped, ini bisa dimengerti karena D-Lux lebih mahal sekitar 3-4 juta.

Jadi jika LX100 sekitar lima juta, D-Lux sembilan jutaan. Eits, itu kalau regular version ya, dengan kondisi yang katakanlah baik. Unit yang saya pegang itu limited edition, fullset dan mint pula.

Mas Nanung mengeluarkan uang sebelas juta untuk kamera ini. Tapi karena dia satu circle dengan saya, dia bolehkan saya untuk menebus tujuh juta saja. Apa saya senang? tidak! karena kameranya dibeli oleh Carl pakai harga teman haha.

Nah jika memang kamera ini ada yang jual tujuh juta, ya sikat. Hitung-hitung beli GX7 plus satu lensa zoom (walau tidak ada sih lensa F/1.8-2.8 adanya konstan F/2.8). Tapi kalau di atas sepuluh namun kamu sangat ingin kamera ini, maka belinya LX100 II… jauh lebih superior, bagus banget kayak GX9. Barunya sebelas juta.

Olympus E-PL7 dan lensa 17/1.8 totalnya lima jutaan. Foto jauh lebih bener…

Jika melihat altenatif premium compact dengan sensor besar lain seperti Ricoh GR II atau Nikon Coolpix A, ya saya pilih Coolpix A. Memang tidak bisa zoom, AF lelet, gak becus video dll… namun fotonya jauh lebih bagus. Tapi selera orang ‘kan beda-beda.

Dengan melihat bekasnya langka, dan kamera lain pun digoreng habis-habisan, saran saya sih beli LX100 II baru. Selesai urusan. Ganteng, bagus, bertenaga. Tidak ada logo Leica (kecuali kamu mau bayar D-Lux 7), tapi nilainya setara dengan uang yang dikeluarkan. Atau kamu beli saja GX9 dan satu lensa, size mirip tapi jauh lebih kenyang haha…

X
Facebook
WhatsApp
Email
Pinterest
Telegram