Aku Rindu Suasana Kota yang Dulu

Aku merasa tidak enak sebenarnya kalau membuat tulisan semacam ini. Dalam “The Book of Street Portrait vol 2”, aku sendiri yang selalu memaksa orang-orang untuk melawan rasa takut dan malas untuk turun ke jalanan. Namun kenyataan saat ini adalah…

Kalau kau ingin memotret, berangkatlah…

Jangan pikirkan langit mendung, nanti juga cerah ketika kau tiba.

Jangan takut berangkat sendiri, nanti di jalan akan bertemu teman baru.

Jangan ragu karena tak ada model, mereka semua sudah bertebaran menunggu.

Kurang lebih begitulah isinya. Haha. Tapi sekarang aku sendiri yang merasa sangat enggan untuk turun ke jalan. Alasannya karena aku sudah tahu, effort yang dikeluarkan pasti tidak sebanding dengan hasilnya. Terkecuali kalau niatku itu untuk olahraga jalan sehat, ya tujuannya dapet. Jika tujuannya untuk mendapakan foto, itu… rasanya susah.

Sebelum menyalahkan faktor eksternal, akan lebih bijak kalau aku salahkan dulu diriku sendiri. Karena aku punya kesukaan memotret wajah orang asing dari dekat – dan kalau bisa cantik. Karena hal ini tidak akan terjadi kalau aku mau memotret kucing atau siluet sembarang orang. Ya aku sudah mencoba sih untuk memotret hal lain di luar kebiasaan, namun ya begitulah… jangankan memencet tombol shutter, sekadar mengangkat kamera saja malas sekali. Kamera hanya ditenteng sepanjang jalan, baterai pun habis bukan karena dipakai jepret-jepret.

Terkadang aku melihat foto-foto lama di galeri. Membingungkan juga sih, walau tidak terlalu. Kupandangi foto-foto itu, fotografernya aku sendiri kok. Lokasinya juga di sana-sana saja, masih ada. Tapi entah mengapa kok rasanya jauh sekali. Seperti beda dimensi, beda seribu tahun peradaban.

Aku… rindu sekali memotret keramaian di sepanjang jalan Merdeka, apalagi kalau deket-deket lebaran, dari sore sampai malam, ramai meriah terus. Lokasinya bagus, dinamis, penuh pilihan berbagai sudut foto. Aku juga rindu berjalan-jalan di sekitaran kampus, mahasiswi hilir-mudik. Aku juga selalu teringat masa-masa nyetrit di sepanjang jalanan depan TSM, itu kalau sore mataharinya tegak lurus, cahaya lembut tapi terarah pada sosok-sosok cantik dengan rambut panjang berkibar dihembus angin manja.

Sekarang sudah tidak ada lagi… bukan rambut panjang berkibar.

Iya, itu juga mulai langka. Tapi yang aku maksud, keramaian suasana jalan kaki.

Tempat yang dulunya terlihat sangat ramai, cerah, dan menggembirakan… sekarang terlihat sepi, gloomy dan mati. Iya, semua bermula setelah pandemi zombie sih. Dahulu aku gak mau motret di yang namanya jalan Braga. Selama masih ada lokasi lain, ngapain aku harus ke sana. Pemandangannya kacau. Banyak pengamen. Gangguan ada di mana-mana. Namun faktanya, selepas pandemi zombie, mungkin hanya di sana yang kembali ramai. Kawasan kesukaanku yang lain, tetap sepi, dan malah ada yang seperti mati…

Karena dari awalnya yang kucari adalah wajah, maka sudah naluri alami untuk mencari lokasi yang banyak orang berkumpul. Bukan berarti di lokasi yang sepi tidak ada sosok yang potensial. Namun berkait alasan teknis, aku pakai 28mm, ingin jepret tanpa permisi dari dekat, dll dsb, “mencegat” subjek foto di lokasi sepi malah akan membuat mereka berlari menghindar, bisa jadi aku disangka mau merampok. Memang iya sih, merampok foto. 

Kemudian, ini yang paling membuatku sedih. Jadi dahulu kala, aku suka sengaja mencari orang yang pakai masker. Selain karena aku suka sekali lihat foto-foto Mas Tatsuo di Tokyo, ya kelihatannya unik saja gitu. Eh sekarang… semuanya pakai masker.. haha. Dulu aku berkilah, cewek yang pakai masker itu terlihat eksotis karena hanya matanya saja yang berbicara. Sekarang…

Aku bosan sekali motret orang asing bermasker. Ini selain lokasinya terlihat sama, orangnya juga jadi kayak mirip-mirip semua. Kemudian, aduh gimana ya mengungkapkannya biar gak offensif. Intinya aku ‘kan suka mengajak cewek asing berfoto, nah setelah mereka mau, acapkali aku dihadapkan pilihan, suruh tetap pakai masker atau copot saja maskernya. Tentu aku inginnya dicopot, karena kalau tetap pakai masker, apa bedanya dengan orang kebanyakan yang lewat begitu saja. Lalu, setelah mereka buka masker, gimana ya… imajinasi dan ekspektasiku jadi rada buyar…

Tentunya hal itu gak akan kejadian kalau dari awal saya bisa lihat wajahnya. Tapi ya begitulah, kendati stadion Liga Inggris sudah penuh penonton sejak lama, orang-orang di New York sudah melenggang menghirup udara langsung, ya di kita kayaknya malah masker itu sudah macam make up. Kalau gak pakai, pasti ada yang kurang, karena sudah jadi kebiasaan. Malah terkadang saya ke acara cosplay , demi mencari secercah harapan, ya sama aja, cosplayernya pakai masker. Inilah yang sedikit banyak membuatku mulai berpindah haluan, dari tadinya full jalanan, kini jadi portrait yang benar-benar portrait alias bayar model. Hal yang sebelumnya aku tidak perlukan sama sekali, apa boleh buat jadi mesti.

Sekitar tiga tahun lalu, saya sudah mempersiapkan tabungan untuk melakukan ibadah ke Tokyo. Saat uangnya cukup segalanya cukup, datanglah pandemi zombie. Sekarang barangkali aku sudah bisa masuk Jepang kapan saja, tapi entah juga suasanya bagaimana… kalau di sana masker juga jadi aksesoris wajib, aku jadi rada sungkan. Eh tapi dulu ‘kan aku lihat foto-foto Mas Tatsuo, cewek-cewek bermasker ya. Satu-dua bolehlah, kalau kebanyakan, ya begitu-begitu saja hasilnya. Pasti kawan-kawan saya street tog Tokyo merasakan hal itu juga, walau mereka tetap saja enak karena motret di tempat yang bagus dan keren. Kita di sini nih, gak ada aral melintang saja sudah tidak enak situasi motretnya. Hahaha.

Demi mengembalikan keceriaan memotret seperti dulu, entah sudah berapa kali aku beli lagi kamera yang dulu pernah aku pakai. Barangkali kalau pakai kamera yang sama kayak masa itu, semangatnya juga kembali. Ya tidak juga… ada hal-hal yang di luar kuasa saya. 

Pada akhirnya, satu-satunya sosok yang bisa memberikan motivasi untuk diri kita, ya kita sendiri. Tulisan ini dibuat Sabtu sore, itu saat biasanya saya lagi berkeliaran mencari mangsa. Tidak, sekarang aku tidak merasa sayang melewatkan malam Minggu. Lebih baik budget huntingnya saya tabung untuk sewa model. Jaminan dapat foto. Sampai sebegitunya, orang yang biasanya memotivasi untuk street portrait, kini merekomendasikan sewa model saja untuk portrait on the street.

Aku… rindu…

Suasana kota yang dulu.   

”Hei kalian bocah-bocah yang dulu dagang ulekan sambil nemenin saya nyetrit beberapa tahun lalu, sekarang pasti kalian sudah besar. Setiap aku ke BIP, aku cari kalian di atas jembatan penyeberangan. Tak ada. Tak ada siapa pun. Di mana pun kalian, semoga kalian jadi orang sukses.”