Seperti biasa, aku beli kamera mirrorless lawas. Kali ini bukan demi nostalgia, tapi digicam yang suka saya pakai telah menemui ajal.
Ya inginnya sih keluar duit dua jutaan saja. Gak perlu terlalu bagus, toh saya sudah hebat. Gak jauh-jauh Lumix atau Olympus lah, sebab lensanya saya masih punya… ya walau fisheye hiks. Lumix termurah yang ada hotshoe port ya GX1, namun kamera tersebut jenis baterainya tidak umum, langka bukan main… di atas itu mesti GX7, yang saya kaget kok sekarang bisa-bisanya menembus empat juta.
Begitulah… kamera bekas memang harganya naik, disebabkan tingginya permintaan. Ya karena kamera baru harganya semakin tidak waras. Toh kalau cuma untuk motret, kamu tidak perlu pakai kamera keluaran terkini ‘kan.
Kembali lirik Olympus deh. Pilihan pertama saya adalah E-PL7. Sebab dari E-PL7 hingga E-PL10 gak beda jauh, itu dua jutaan udah worth it banget. Namun saya ingat, tiap beli E-PL7 ada aja rusaknya… karena bodinya ringkih. Tutup baterai pasti copot, layar pun kalibrasinya aneh, tampak sangat warm. Rasanya kali ini aku ingin sesuatu yang solid. Tapi pun ada batasan budget, paling banter ambil E-M5 classic ini sih. Namun aku ingin sesuatu yang lebih kompak, terlebih selamanya aku tidak akan pernah pakai EVF.
Ya sudah, saya ambil E-P5. Kamera yang sebetulnya saya sempat punya di tahun 2016-17.

by the way, kalau mau beli strap resmi, sekarang saya terpaksa buka di Shopee, cek saja di sana.
Ini adalah Olympus seri PEN. Hanya “PEN”, tidak pakai “LITE”, jadi tidak ada yang dikurang-kurangi… Sebetulnya ini adalah kamera yang feelingnya E-M5 banget. Walau secara tampilan berbeda, tapi rasa di genggamannya begitu mirip. Build quality sangat solid, suara tutup baterai dan port USBnya rasa flagship, IBIS pun 5 axis. Tidak ada EVF namun layarnya lebih tinggi resolusinya.


Kalau hanya lihat di foto, kamu pasti mikirnya ini sama persis dengan E-PL7. Ya begitulah, semacam E-M5 vs E-M10, desainnya sama tapi build quality beda.
Well speknya biasa saja… 16mp MFT, layar sejuta dot, 5 axis IBIS, touch screen, dll. Baterainya pakai seri BLN, alias sama dengan seri flagship. Kalau E-PL dan E-M10 pakainya BLS yang sedikit lebih kecil.
Sayang sekali sampai tulisan ini dibuat, saya tidak bisa mencoba AFnya. Tapi saya yakin ya bagus-bagus saja kayak Olympus pada umumnya. Semua foto di tulisan ini saya pakai lensa manual Samyang Fisheye.

Demikian, kamera ini masih sangat responsif. Gak ada lag atau apapun. Yang menjengkelkan (selalu) ya menunya… masih model lama. Mana gak ada pilihan untuk mematikan wifi, warna peaking cuma dua, dan kalau mau update firmware tidak bisa via copy ke SD card… harus colok laptop dan download semacam iTunes tapi khusus Olympus. Namun tak seperti E-M1, firmwarenya gak terlalu panjang, cuma sampai versi 1.7.

Sejauh yang saya pakai sih… ya memang enak, seperti Olympus lainnya yang sering saya punya. Akan lebih enak kalau saya segera beli lensa 17mm F/1.8 lagi hahaha.
Daya tahan baterainya bukan main… padahal saya dikasih baterai tua, ada tahun pembuatannya 2012, kayaknya saya dikasih baterai bekas E-P3 atau apalah ini. Untuk keamanan saya tambah satu lagi, ambil Kingma. Well, dengan cara motret saya yang full flash dan layar selalu nyala, biasanya kalau start motret pukul 16:00, sekitar jam 20:00 mesti ganti baterai… nah kalau pakai Olympus yang baterainya BLN, agak lebih panjang, bisa 22:00 baru kedap-kedip. Itu nyaris satu sesi street, sejam lagi juga balik…

Tapi namanya kamera tua, ya tentu saja CMOSnya sudah soak. Kalau lepas baterai, jam di kamera reset. Luangkanlah sejenak untuk atur ulang waktu, agar pas buka file di laptop gak berantakan.
Kamera ini saya dapat di harga 3.2jt. Gak ada box. Mulus, untuk ukuran kamera setua ini. Sebetulnya bisa lebih murah sih, tapi karena saya butuh banget, dan agak jarang juga. Daripada dibeli orang lain, sehingga nanti terpaksa mesti ambil E-PL7, ya sudahlah.
Di lain hari, 3.2jt itu bisa dapat Lumix GX7, yang walau secara foto kalah, namun lebih superior dalam hal lain… ada EVF dan video jauh lebih bagus. Tapi sayangnya GX7 sekarang harganya sudah seperti GX85 sebelum digoreng. Kalau kamu tidak mesti build quality yang kayak batu bata, E-PL7 atau E-M10 lebih hemat sejuta sih… hasil foto saya jamin 100% sama.

Demikian, kamu tak harus sengaja bersusah-susah pakai kamera jadul sih. Kalau saya ‘kan sudah tahu mau motret apa dan paham untuk tidak overkill pakai suatu produk melebihi yang dibutuhkan, terlebih di era ekonomi sulit begini. Namun jika kamu memutuskan cari kamera mirrorless lawas, lini MFT tak akan pernah mengecewakan. Selalu memberikan lebih dari apa yang dibayar.

