Efek Domino

Sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat untuk hunting unit kamera di marketplace. Memang dunia jual – beli di tanah air sedang tidak baik-baik saja…

Aku teringat beberapa tahun lalu. Well, lebih tepatnya sebelum virus zombie 2019 sih. Sudah pasti kamera yang kupakai adalah Ricoh GR II. Itu adalah kamera yang bagus namun sayangnya gampang sekali rusak. Servisnya luar biasa mahal kalau lewat jalur resmi, sedangkan tukang umum jarang ada yang bisa. Gak begitu jadi soal sih, tinggal beli lagi aja, toh mau baru atau bekas, stoknya banyak.

Sampai kadang aku heran, kamera sebagus ini kok jarang ada yang lirik. Orang-orang masih keukeuh pakai mirrorless, yang walau saat itu masih belum kena steroid dan membengkak kayak sekarang, tetap saja besar. Padahal GR sensornya APSC juga kok, cuma lensanya gak bisa diganti. Ya anggap saja pasang lensa fix 28mm, untuk orang-orang seperti saya yang setia pada satu focal length, ga ada masalah sih.

Malahan aku cenderung mempromosikan kamera-kamera kayak GR atau X70. Bahwa kita bisa kok nyetrit pakai kamera kecil, dengan segala keuntungan seperti bobot hingga penyamaran seperti turis di tengah kerumunan. Tapi tetap saja sedikit yang mau pakai… makanya aku bisa dengan leluasa beli di Tokopedia, dengan harga wajar malahan bisa nego agak sadis haha, toh si penjual pun sadar bahwa tidak banyak yang cari kamera semacam itu… daripada kelamaan di etalase.

Lumix LX10. Jaman dulu mana yang tahu… tapi karena G7X II sudah gaib, ini pun disikat… tentu semakin gosong kebanyakan digoreng.

Tentu saja saat ini situasinya sudah berubah. Bahkan sudah sejak satu – dua tahun lalu, kamera semacam ini jadi sulit dicari. Sudah pernah aku tulis sih di artikel lainnya. Bahwa memang dari awal pun, kamera seperti GR atau X70 itu diproduksi cuma sedikit mana sebentar doang pula. Brand paham kok, dia juga punya analis market top. Memang gak banyak yang minat kok.

Makanya ketika tiba-tiba booming, stok yang sudah sedikit itu pun sontak habis. Akibatnya harga-harga mulai merangkak sedikit demi sedikit sampai akhirnya meroket.

Analisisnya panjang. Intinya, ada sebuah tren baru, kamera pocket jadi hits lagi. Dengan embel-embel nostalgia analog, semua orang beli kamera kecil (dalam hal ini Ricoh GR dan semacamnya). Tentu pula karena makin susah didapat dan harganya tinggi, tidak semua bisa dapat dan mampu beli. Munculah terobosan… konten kreator mulai memberi alternatif yakni digicam jadul.

Dengan ilusi tone vintage kayak kamera film, kini semua orang mulai cari-cari digicam. Dari yang tadinya di loakan kita bisa nemu 20 ribuan, naik kasta jadi sejutaan. Gila.

aku punya banyak kok

Kebanyakan user digicam itu awam soal fotografi kok. Ini sudah saya buktikan, saya gabung grup digicam, lalu rutin post foto. Walau agak curang karena saya pasang foto-foto Coolpix A (APSC haha), tapi gak salah juga dong… kameranya ‘kan kecil, lensa gak bisa dibuka, tua pula. Tentu saja foto saya beda sendiri, karena selain faktor kameranya, aku ‘kan agak lebih hebat dari orang kebanyakan.

Pokoknya kalau saya pasang foto slow sync flash, sudah pasti banyak yang nanya. Dan pertanyaannya aneh, “itu filter apaan…?” Hah. Kok filter. Itu ‘kan dibuat dengan teknik bukan filter. Tapi ya mau gimana lagi, memang mayoritas anggotanya awam kok, yang mana mencerminkan populasi penggunanya di dunia nyata.

tentu saja “digicam beneran” gak akan bisa detail dan tajam begini… apalagi yang cuma ada mode auto.

Itulah masalahnya. Dahulu aku bisa beli Ricoh GR kapan saja aku butuh, berangsur jadi harus agak rebutan dengan sesama orang yang antusias di foto street. Eh sekarang, cari barang harus sikut-sikutan dengan segala macam orang yang tadinya gak ada riwayat main kamera. Ini bagus untuk dunia fotografi, tapi buruk ketika kita lagi cari barang.

Nah, sesuatu yang lebih menyebalkan sudah terjadi. Bayangkan, body mirrorless (non Fuji, karena kalau Fuji dari awal sudah digoreng) harganya jadi gak beres. Yang terjadi adalah, orang-orang awam yang tadinya FOMO beli digicam sudah mulai candu sama fotografi, mulai menyadari bahwa digicam itu sebenernya busuk. Segala tone vintage itu hanya ilusi, dan memang benar, tanpa Lightroom digicam hanya kamera tua yang fotonya kusam.

Mulailah mereka coba naik kelas, ya ‘kan. Mau naik ke pocket premium harganya gak bener (plus langka), maka mereka mulai menginvasi mirrorless. Gak langsung ke yang high-end, mulai dari entry level market dulu. Dan tahukah kamu, apa mirrorless yang murah tapi speknya mewah dan menang banyak? Micro Four Third alias Lumix dan Olympus.

Mana ada brand lain dua jutaan ada IBIS, touch screen dll… plus ukurannya kecil, cocok untuk warga FOMO jalan-jalan nenteng kamera.

Aku jadi merasa bahwa kiamat itu makin dekat haha. Olympus dan Lumix yang selama ini kuanggap sebagai jalan ninja, sudah mulai disikat juga sama kaum-kaum FOMO… ambil contoh, body E-M10 II yang beberapa saat lalu yang mudah sangat didapatkan di bawah dua juta karena dianggap sampah karena walau fotonya bagus tapi layarnya sering putus flexibel, sekarang batangan pun pada pasang 3.5 jutaan. Sedih.

Lumix GF series jangan ditanya, produk yang bisa buat selfie sudah raib duluan. GX85, alias kamera MFT paling umum, yang dahulu kala empat juta sudah sama lensa kit, sekarang pada berani lima juta body only dengan kondisi tidak mulus-mulus amat.

Kalau yang di bawah mulai bergoyang, pasti lama-lama naik ke tengah dan atas dong… kayaknya sih begitu. Mid range sudah mulai kena juga. E-M5 II sekarang minimal tujuh juta. Pen F, ah kacau, sudah seharga Sony A7 III. Tapi untuk segmen atas seperti GH6 dll masih stabil, karena tidak ada juga kaum FOMO yang beli, lagian sebelum mereka sempat beli pasti keburu dicegah sama temannya agar beli Sony full frame saja. Demikian karena saya ini pengurus grup MFT jadi sangat familiar dengan harga normal, di bawah saya cantumkan tabel fluktuasi nilai pasar…

harga tercantum adalah harga rata-rata body only tanpa lensa, dan diasumsikan fullset plus box. Sementara dibatasi dulu hanya sampai mid-range, dengan alasan yang sudah ditulis sebelumnya.
kira-kira begini ekspresi saya ketika tahu Pen F yang tahun lalu kujual 7.5 juta,
sekarang harganya 13 jutaan.

Karena tiap hari aku selalu buka Tokopedia, aku ingat betul… dulu ada dua sosok seller yang mulai goreng-goreng pocket premium. Ada tuh orang Bandung dan Bali, yang menjadi pelopor GR II dan X70 menyentuh angka enam juta untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Untuk kemudian naik sedikit demi sedikit dan kini bisa sembilan juta! walau dihina-hina toh laku juga, yang lain ikutan dong… masa iya si B jual enam juta, si A dengan kurang kerjaannya pasang empat juta. Mana sekarang Tokopedia bisa mudahnya bisa spam dengan embel-embel reseller, ya harga jadi makin parah lah… sudah bener cari seller beneran, dengan harga murni.

Begitulah… permintaan meningkat, stok terbatas, oknum tukang gorengan bermunculan. Sejujurnya tidak ada yang bisa kita lakukan. Dan mungkin makin lama akan makin parah… saya sempat berpikir, seandainya brand kamera agak sedikit cerdas, daripada susah payah bikin terus kamera full frame, kenapa gak banyakin aja pocket APSC. Ibarat brand motor, ngapain produksi CBR terus-terusan toh orang carinya Beat dan Vario.

itulah mengapa aku keep kamera ini… nanti mau cari pasti susah lagi.

Setidaknya itu yang kupikirkan, sampai aku melihat acara peluncuran Fuji X100VI di Indonesia, yang dibatas hanya sedikit plus harus antri di mall Jakarta. Yang mana mayoritas pengantri adalah tukang gorengan. Saya paham betul karena ada teman saya yang ikut mengantri. Dia beli 26 juta, hanya untuk kemudian dijual kembali di angka 45 juta. Ada yang beli? ada lah… toh sekalipun kamu bawa uang sambil nangis-nangis depan toko kamera pun, tetap tidak akan dapat karena barangnya gak ada. 

Sepertinya, berapa banyak pun stok yang dikeluarkan masih belum akan memenuhi permintaan pasar. Tapi itu lebih baik daripada tidak berbuat apa-apa sama sekali. Toh ketika X100VI muncul di pasar gorengan, harga X100V jadi turun. Seadainya para produsen kamera mulai bikin lagi premium compact dan mirrorless entry level harga terjangkau, mudah-mudahan kebutuhan pasar agak tercukupi… sehingga tengkulak kamera pun bakal pikir-pikir untuk menimbun barang dan mainin harga. Ya walau kegiatan mainin harga sekarang sudah bukan monopoli cukong saja sih, user biasa juga ikut-ikutan.

Sampai saat itu tiba… ya sikut-sikutan aja. Kalau akhirnya dapet, silakan pamerkan jangan lupa kasih caption “hidden gems”… karena memang sangat hidden.