Kamera Dua Jutaan : Olympus PEN E-PL8

Aku ini orangnya sederhana. Bisa menikmati nan bahagia dengan sesuatu yang relatif terjangkau. Apalah itu artinya spesifikasi dan pendangan orang lain, bukan itu yang membuatmu bahagia saat memotret. Bisa menemukan sesuatu yang tak disangka sangat bagus padahal harganya murah, semakin bertambah saja rasa puas.

Rekomendasi kali ini adalah Olympus PEN E-PL8. Kok Olympus terus? ya memang pada range 2-4 jutaan di marketplace second hand, saya rasa gak ada yang value per money lebih worth daripada Olympus. Ini adalah seri yang sering dianggap remeh nan terlupakan karena ada hurup L yang artinya “lite”. Mendengar kata “lite” pasti kita pikirnya ada sesuatu yang dikurangi daripada seri PEN non “lite” apalagi OM-D. Dan memang ada kok, tapi gak signifikan.

dipasangkan lensa 25mm F/1.8 silver juga

Desain, handling, tombol-tombol

Desain kamera ini begitu simpel. Kotak saja. Ada grip tapi secuil. Memang ukurannya kecil sekali, tapi Ricoh GR lebih kecil lagi dan tetap bisa punya grip layak. Entah mengapa dari dulu sampai sekarang, produsen kamera tuh… eh sekarang kamera mirrorless kecil nyaris punah sih.

tampilan fisiknya, dipasangkan Leica 15mm. tapi lensa ini harganya dua kali lipat bodinya

Ya handling cukup saja sih. Untuk telapak tangan ukuran sedang seperti saya, enak-enak saja. Semua tombol bisa diraih dengan mudah dengan satu tangan. Nah inilah salah satu alasan mengapa nama dia “lite”, karena ada satu roda yang dihilangkan di atas. Pada PEN normal atau OM-D, ada dua roda, lumrah disetel satu untuk shutter speed satu lagi pasti F number. Di E-PL8 hanya bisa salah satu, saya set shutter speed karena saya lebih sering mengubah shutter speed daripada F. Lantas bagaimana cara ubah nilai apertur? pakai tombol empat arah yang atas, klik dulu nanti tinggal geser bisa lewat roda atas bisa juga arah kiri-kanan. Solusi yang masuk akal. Anehnya pada PEN biasa atau OM-D, sama juga itu tombol arah atas fungsinya demikian padahal bisa ubah langsung lewat roda, dan gilanya tidak bisa dikustom jadi fungsi lain. Maka kita sebut saja tombol arah atas itu sebagai tombol exposure compensation. Oh iya, tombol-tombolnya sangat kecil dan tidak seenak E-M5 II rasa klik-kliknya, ya tentu saja. Kalau dibanding E-M10 II saya rasa mirip-mirip.

Tidak, kamu tidak bisa mengubah F pakai ring apertur pada lensa Panaleica. Entah apa pikiran dua sekawan Lumix dan Olympus, satu aliansi tapi tidak kompak.

Oh iya layarnya bisa dilipat hadap depan. Tapi… rotasinya ke bawah… entah apa pikirannya karena ini jadi tidak berguna ketika kameranya kita taruh di tripod atau meja untuk selfie atau vlog. Dan ini sudah dari dulu bahkan sampai E-PL10. Melipat layanya jangan langsung ditekuk, harus geser dulu ke bawah untuk mengakses engselnya. Ya bagus sih jadi aman, tapi kalau temanmu mau pinjam harus dikasih tahu dulu supaya tidak main buka layar saja, bisa patah engselnya.

Kamera ini tidak punya internal flash. Menyebalkan. Tentu diberi flash eksternal kecil, tapi ini bertentangan dengan iklan mereka bahwa ini adalah kamera travel… apanya yang travel kalau nyuruh orang lain bawa benda ekstra. Lalu hot shoe cover jangan sampai hilang karena nanti port aksesorisnya terbuka. Itu gunanya untuk EVF tambahan. Persoalan flash ini selesai di E-PL9 karena akhirnya mereka sadar untuk tidak aneh-aneh. Tapi E-PL9 lebih susah lagi dicari, kalau E-PL10 jangan harap ada, itu baru muncul setelah Olympus Indonesia menghilang.

Rasa memotret

Ini yang terpenting, dan sebetulnya tidak ada beda apa-apa dari E-M10 atau sejenisnya, karena sensor dan prosesornya begitu-begitu saja. Resolusi layar di atas kertas pun sama saja dengan E-M5 II, E-M10, E-M10, E-P5 dan apa saja yang satu juta piksel. Tapi warna layarnya tidak sebagus E-M5 II, dan lagi-lagi miripnya dengan E-M10. AF speed dan akurasi, sama saja. Kecuali dengan E-M1, karena cuma itu yang phase detection, sisanya pasti contrast detection.

Nah yang beda adalah suara shutter pada E-PL8. Suara shutter flangenya jelas tidak selembut E-M5 II, tapi juga tidak kasar kayak E-M10. Ini kayak di tengah-tengah lah. Saya rasa faktor stabilizer karena hanya 3 axis, dibanding kawan-kawannya yang 5 axis. Oh apakah 3 axis terasa lebih inferior daripada 5 axis? sejujurnya sih tidak… tapi tangan saya agak lebih stabil dari orang kebanyakan, jadi ya begitulah.

Sisanya ya sama saja. Setelah buka filenya di laptop, kamu akan susah bedakan ini dari kamera Olympus apa. Apalagi dengan lensa yang bagus, ya sudah, memotret dengan senang. Hanya saja kalau pakai lensa yang agak besar, bentuknya jadi aneh. Seringnya saya pasangkan Leica 15mm, pas sekali dari segi ukuran, dilihat pun tampan.

E-PL8 dan lensa 12-40 Pro

Value

Kamera ini murah sekali, cuma 3 juta kurang bisa dapat yang sangat mulus lengkap dengan kit pancake 14-42 ez. Kalau sudah punya lensa lain, jual saja lensa kitnya, bisa laku 1-1.3 juta. Maka nilai bodi kamera ini hanya 2 juta saja. Ini adalah obral!

Coba kita lihat teman satu aliansinya yakni Lumix. Harga yang sama akan memberikanmu Lumix GF9, dengan asumsi lensa kitnya sama-sama dijual, ya sama juga sisa 2 juta. Video jelas lebih superior 4K GF9 namun ketika motret, aduh… pedes banget, warna jelek, dinamic range pun belum ditemukan. Lagipula kamu tidak akan bikin video yang terlalu serius dengan kamera semacam ini, maka full HD di E-PL8 pun cukup sih. Image stabilizer E-PL8 ada di bodi, GF9 ada di lensa. Dengan E-PL8 kamu masih akan dapat stabilizer walau pakai lensa manual seperti Laowa atau TTartisan, dengan GF9 kamu harus beli lensa Lumix tertentu yang ada “Mega O.I.S” atau “Power O.I.S” yang hanya ditemukan di lensa premium atau lensa kit dengan kualitas ya seadanya.

Olympus lainnya dengan harga mirip-mirip adalah E-PL7. Beda seratus dua ratus ribu, ‘kan ngapain mendingan ini, lebih baru. E-M10 II sekitar 3 juta tapi tanpa lensa. E-P5 jarang ada yang punya. Oh dan kalau spesifik kamu ingin warna hitam-silver seperti punya saya, entah kenapa agak jarang… kok orang lebih banyak beli yang putih. Mungkin di masa lalu ini adalah kamera stylish untuk cewek. Ya walau fungsi kamera ini jelas lebih dari sekadar untuk selfie.

Kalau dibanding merek lain… apa ya. Sony paling dapet NEX 5, itu kamera tahun berapa haha. Fuji mentok di X-A10 atau X-A2, jauh kemana-mana bagusan ini dari segi build quality hingga rasa memotret. Untuk pocket premium palingan RX100 II. Maka saya rasa kamera ini sangat worth it dan menang banyak sih.

Ingat, kamu tidak perlu kamera mahal untuk membuat foto yang “mahal”. Selamat memotret!