Olympus Pen F , Sebuah Akhir

Saat menulis ini, di hadapan saya ada unit Olympus Pen F. Akhirnya kesampaian juga punya. Tidak beli, melainkan hasil barter. Seorang sahabat yang juga maniak Micro Four Third, menginginkan lensa Leica 9mm untuk ditukar body Pen F. Tanpa banyak mikir, saya setuju. Selain karena saya sudah kebanyakan lensa wide, memang sejak dulu saya ingin sekali kamera ini, tapi karena satu dan lain hal, gak pernah punya. Dan sebagai fans fanatik mirrorless apalagi Micro Four Third, Pen F lebih dari sekadar kamera, melainkan juga penanda waktu…

Saya tidak akan review panjang lebar kamera ini karena ya sama-sama saja dengan kamera Olympus lain. Saya pasti bilang bahwa fotonya bagus, bobotnya enteng, menunya buruk, ya begitu-begitu lagi. Ini kamera Olympus pertama yang 20mp, tapi saya gak pernah peduli megapiksel. Seluruh foto dalam artikel ini, seandainya nama filenya DSC atau semacamnya, saya pasti tertukar mana yang hasil Pen F mana yang E-M5 II, karena sama-sama saja. Untungnya nama filenya PENF dan EM5.

Ya, fisiknya keren. Bodinya kokoh tapi gak enak digenggam karena tak ada grip sama sekali. Tidak anti air dan slot SD cardnya menyatu dengan baterai. Tidak ada jack audio juga. Bagusan E-M5 II berarti ‘kan. Memang konon katanya, dahulu kamera ini dilabeli sebagai kamera street photography. Entah juga apa syarat sebuah kamera bisa dikatakan begitu, sedangkan kamera lainnya tidak. Haha. Kalau pertimbangannya size, E-PL8 lebih “street” lagi. Kalau acuannya auto fokus, E-M1 lebih bener karena punya phase detection. Ya mungkin dengan EVF ada di sisi kiri tuh secara otomatis membuat kamera apapun jadi rangefinder kayak Leica kali ya…

Apapun itu, tidak ada yang salah dari kamera ini. Dahulu kala, harganya 17 juta. Itu lebih mahal daripada Fuji X100F atau XPro2. Sekarang sih bekasnya di angka 7-8 juta bergantung kondisi. Biasanya kalau ada yang jual bekas dengan kondisi prima (dan harga masuk akal), gak pakai lama langsung sold. Termasuk item antik, populasinya tidak sebanyak E-M5, ya karena dulunya mahal sekali.

Aku mengingat kamera ini bukan hanya sebuah alat. Melainkan juga penanda waktu. Karena saya mengikuti perkembangan kamera mirrorless sejak awal, kemuculan Pen F ini selalu saya ingat sebagai awal dari sebuah akhir, sayangnya. Pada periode itu, popularitas kamera Micro Four Third mulai tergerus di pasaran. Ciri khas dan kelebihan mereka sebagai kamera interchangeable lens dengan ukuran mungil, sudah makin hilang. Pen F dan Lumix GX8, bahkan lebih besar daripada Sony A7 yang punya sensor full frame. Lumix dan Olympus memang masih terus membuat seri GF dan E-PL yang beneran kecil, namun tidak punya fitur sebanyak seri atasnya, lagian juga lebih ke rakit ulang seri sebelumnya, hanya ubah model sedikit.

Etalase Lumix dan Olympus di toko kamera umum makin habis. Terutama Olympus, karena praktis setelah Pen F, distributor mereka di tanah air seperti tidak eksis lagi. Saya tidak ingat pasti, apakah setelah Pen F, kamera berikutnya seperti E-M5 III dan E-M1 II masih dalam naungan OCCI. Yang jelas, E-M1 II , X dan seterusnya bagi saya tidak menarik dan tidak masuk list beli. Bukan karena tidak bagus, tapi karena harganya yang lebih mahal daripada mirrorless full frame. Dan tak lama setelah itu, tidak ada lagi OCCI, kalau mau OM-D seri baru, ya beli dari penghobi yang bawa dari luar negeri. Sedih.

Lumix berhasil survive karena seri GH, yang walau mahal tapi tidak semahal E-M1, selalu punya tempat di hati para pegiat video. Kemudian juga mereka mulai menggarap sensor full frame, seri S sampai sekarang eksis dan berkembang, hingga etalase Lumix di toko kamera umum kembali tampak mewah. Olympus tidak, mereka tetap bertahan di platform MFT, yang mana walau saudaranya Lumix masih main di sana, tapi praktis tidak ada lagi seri GX dibuat oleh Lumix, tersisa seri G dan GH saja.

MFT kehilangan identitasnya sebagai kamera mirrorless kecil dan terjangkau, dan salah satu yang paling diingat ya Pen F. Walau bentuk dan built quality keren, tapi value per money sangat buruk. Brand kamera harus sadar bahwa tidak semua fanboy itu ngefans dengan mereknya, melainkan pada produknya. Kalau produknya sudah tidak layak pun miskin keuntungan signifikan untuk dibeli, maka fanboy pun tidak ragu untuk pindah brand. Makanya muncul anekdot di kalangan anak kamera, bahwa semua akan Sony pada waktunya…

sampel dengan lensa 12mm F/2

Catat prediksi saya. Walau sudah berubah nama jadi OM-System dan sosmednya tiap hari propaganda genre landscape seolah-olah kamera yang bagus itu hanya dinilai dari foto landscape, selama Olympus (atau OM) hanya bikin seri over price seperti OM-1 (30 jutaan) dan melupakan seri ramah konsumen yang kecil dan murah, maka nostalgia yang akan mereka dapat hanya sebatas nama OM, bukan kejayaan finansial dan produk yang laku keras seperti dahulu.

Mereka bikin E-P7 sih, pewaris sah dari PEN-F. Tapi ya tentu tidak ada di Indonesia, hanya ada di pasaran Jepang dan Eropa. Saya sempat mempertimbangkan dengan sangat serius untuk beli satu, tapi beli elektronik lewat Amazon atau Rakuten, sangat bikin saya waswas, mulai dari durasi pengiriman hingga potensi pajak yang harus ditebus di bea cukai. Itu belum termasuk potensi dapat unit JDM (yang hanya berbahasa Jepang). Sebuah jasa titip yang pasang iklan di Tokped, pernah menyanggupi request saya untuk belikan E-P7 dari Jepang. 11.8jt nett sampai depan pintu. Kendati masih mahal, tapi saya tidak keberatan. Namun karena mereka itu jasa titip umum, bukan spesialis kamera, mereka bahkan tidak bisa memastikan apakah E-P7 yang mereka beli bakal ada menu bahasa Inggrisnya. 

11.8 juta itu bisa beli body only Fuji X-E4 bergaransi resmi.

Aku juga mengingat Pen F sebagai salah satu kamera terakhir yang diulas oleh Kai Wong dalam payung DigitalRev. Aku adalah penggemar berat Kai dan Lok saat mereka review kamera di jalanan Hong Kong. Pada masa-masa akhir keemasan DigitalRev, Kai harus pindah ke London (karena dia memang warga negara Inggris). Maka videonya jadi ada dua versi, Kai di London dan Lok di Hong Kong. Kalau jalan sendiri-sendiri, episode-episodenya sangat tidak enak ditonton. Kai pakai videografer lain di London, yang mana sudah tidak seotentik Hong Kong vibenya. Lok pun bahasa Inggrisnya sudah dimengerti. Tidak ada “tek-tok” kalau tanpa Kai.

Dan tak lama setelah itu, Kai cabut dari DigitalRev. Dia lanjut video solo. Dan anehnya malah bagus, padahal sama-sama di London dan tanpa Lok. Seperti lebih lepas dalam berkarya. Tak lama kemudian Lok ikutan cabut. Di akhir 2020 mereka duet lagi sih, walau tidak dalam satu channel.

Sebagai fans yang sedikit banyak keputusan terjun di dunia fotografi dan beli gear akibat pengaruh mereka, ya saya merasa sedih juga. Makanya saya selalu ingat Pen F sebagai salah satu episode akhir-akhir sebelum bubar. Channel DigitalRev masih ada kok, tapi jangan harap ada episode baru. Nikmati aja review kamera-kamera jadul, sembari nostalgia.

sampel dengan lensa 17mm F/1.8

Ahhhh, Pen F. Kenangannya seolah banyak sekali padahal saya baru punya dua pekan. Bahkan baru dipakai tiga kali, semuanya di acara wibu. Kesimpulannya, apakah layak beli unit bekas kamera ini…? well kalau kamu memang ingin, dan suka kamera yang fisiknya agak retro ya ambil. Kalau mementingkan fungsi, E-M5 II adalah kamera yang lebih bagus dan berguna, plus lebih murah.

Tidak usah diceritakan lagi betapa besar harapan saya melihat Olympus meramaikan dunia kamera seperti dulu. Jangan-jangan mereka tidak punya harapan serupa. Sekian.