Aku Berhenti ke Event Wibu

Setelah memikirkannya untuk beberapa hari, aku memutuskan untuk tidak mau lagi pergi ke event wibu. Bahkan pekan lalu, tiket yang sudah dibeli dari jauh-jauh hari, kubuang ke sungai. Haha.

Alasannya tidak jauh-jauh dari fotografi tentunya. Kalau kalian mengikuti tulisan-tulisan dan foto-foto saya beberapa bulan terakhir, saya selalu mengetes lensa atau kamera di event wibu Jejepangan. Ya karena saya sering ke acara begituan. Mulanya sekali dua kali, akhirnya keterusan. Dari yang tadinya hanya kalau gratis dan lokasinya harus strategis, sampai akhirnya sampai tandain tanggal di kalender.

Sebelum “debut” ke event wibu, saya selalu mempertimbangkan satu hal sebelum membeli lensa. Yaitu gadis bernama, sebut saja Hu Tao. Aku selalu membayangkan, apakah nanti dia akan cantik ketika difoto dengan lensa ini di lokasi itu, semacam itulah. Aku bahkan beli Leica 9mm demi dia, karena terakhir foto dengan dia pakai lensa Samyang fisheye, sangat bagus. Maka kalau pakai ultrawide bebas distorsi, mungkin lebih keren.

Namun setelah ke acara wibu, pertimbangan saya ya untuk foto-foto cosplayer itu. Walau niat awalnya, aku itu ingin “curi-curi” street di tengah event, ternyata gak bisa. Malah pernah aku beli lensa F/0.95 padahal gak ada sejarahnya aku street pakai lensa focal length panjang yang bokeh. 

Untuk diketahui, beberapa hari sebelum membuat keputusan ini, saya beli kamera Fujifilm. Bayangkan, Fujifilm. Ini beli bukan minta (baca kisah ini). Saya ini hater sekaligus fans Fuji. Saya benci mereknya serta segala citra yang mereka buat di sosial media sini, makanya itu logo Fujifilm dan tulisan X-E3 saya tutup lakban. Tapi saya juga tidak menampik, kalau mau JPEG instan penuh warna yang indah, maka Fujifilm masih bisa dikedepankan. Jadi ya saya beli, karena saya tahu persis produknya dan saya suka, masalah mereknya saya tutup itu terserah saya, ‘kan dapet beli bukan minta.

Harusnya saya beli Ricoh GR. Saya ini street tog. 

Semua itu untuk apa? karena segala wig warna-warni itu sudah merasuk ke dalam pikiran. Aku jadi merasa harus memotret warna nan bokeh, demi nanti para cosplayer cewek remaja itu gembira pas dikasih file fotonya. Dia tidak harus tahu bahwa orang yang barusan motret dia itu aslinya manusia setengah dewa. Niatan kabur dari jalanan untuk pindah “nyetrit” di event, gagal total.

Aku kabur ke event wibu lantaran kondisi di jalanan, parah. Orang-orang tetap pakai masker. Cewek juga jarang. Makanya ketika aku ke event, ada secercah harapan bahwa populasinya akan lebih baik. Ternyata tidak juga, bagaimana bisa Raiden Shogun atau Yoimiya, pakai masker. Apa poin dari berdandan sedemikian rupa kalau wajahnya masih ditutup masker. Rata-rata kalau ditanya, jawabannya “gak percaya diri” sih. Kontradiktif sekali, orang yang tidak percaya diri tapi berdandan dan kostum maksimal untuk dinikmati publik pada acara terbuka.

Dari sudut fotografi, jauh lebih mending motret “orang normal” yang bermasker daripada orang yang pakai kostum dan wig tapi bermasker. Maksain banget kelihatannya. Street enggak, portrait juga enggak. Buat apa. Ingat, tujuanku dari awal adalah fotografi.

Budaya masker juga sangat membantu lelaki yang menyamar bercosplay jadi karakter cewek. Sering tertipu? iya. Pernah lihat crossdresser masuk ke toilet wanita? masa bodoh.

Aku sampai bikin akun Instagram khusus untuk mengakrabkan diri dengan komunitas wibu-wibu itu. Tidak sendiri sih, dibantu dua teman. Saya masih menyimpan harapan, bisa kenalan di event, untuk kemudian dibawa foto-foto casual di jalanan sebagai sosok normal. Itu pernah terjadi dua-tiga kali, tapi sebagian besar cosplayer yang saya temui, ahh… jangankan di event, di feed Instagram dia saja pakai masker semua, bagaimana saya tahu wajahnya untuk diajak foto casual. Saya tidak suka follow dulu lalu mentau keadaan baru ajak portrait, bertele-tele, tujuan saya untuk memotret bukan melamar dijadikan istri. 

Segala effort dan biaya yang aku keluarkan tidak berbuah dengan sepadan, maka sudah sepatutnya aku mengakhiri. Saya bukan orang bodoh yang bakal diam di zona yang tidak bikin saya berkembang apalagi bertambah kaya. Ya, jangankan cuma hobi, agama saja kamu bisa pindah, jadi kenapa tidak…

Yang terburuk, gara-gara ke event, aku meninggalkan “street”. Pola fotografi saya jadi tidak seimbang. Saya pun tidak merasa lebih hebat dalam hal fotografi setelah main-main ke acara wibu, yang ada jadi makin bodoh… dikit-dikit bokeh, komposisi dan cahaya jadi terpinggirkan. Aku tidak peduli dengan orang lain, yang jelas aku ini masih berambisi jadi penerus Tatsuo Suzuki dan Daido Moriyama. Karena hal-hal ini alih-alih bikin aku makin dekat ke tujuan, yang ada saya malah tersesat. 

Ya anggaplah keputusan saya ini full dari faktor fotografi. Tidak ada pengaruhnya dari segala culture shock lihat anak SMP gelendotan sama lawan jenis kayak koala, orang tua yang pacaran dengan boneka, atau budaya jualan foto vulgar di internet. Belum lagi jika melihat hal-hal aneh yang saya alami, yang padahal bukan salah saya… kamu bisa baca di sini dan di sini. Bahkan mungkin kalau saya tidak sabaran, sudah beberapa kali saya pukuli orang-orang bodoh di event. Haha. Memang tidak berkait dengan fotografi, tapi lumayan juga bikin jengkel… namun tetep sih faktor utamanya karena kegagalan saya mendapat kepuasan dalam hal fotografi. Dan itu salah saya, karena berharap terlalu besar. Saya tidak mau susah-payah mengubah hal yang di luar kepentingan saya, ya sudah aku saja yang pergi hehe.

Ya itulah kisahnya. Doakan saja jalanan kembali membaik, sehingga saya tidak harus cari pelarian untuk memuaskan dahaga memotret. Saya tidak cukup punya waktu untuk beriringan nyetrit dan ke event wibu, makanya sebagaimana saya pernah meninggalkan jalanan untuk motret cewek-cewek pakai wig, sekarang saya akan kembali ke jalanan.