Sering aku teringat suatu adegan fotografi dalam sebuah film. Begitu membekas…
Itu adalah adegan di film “The Secret Life of Walter Mitty“, yang dibintangi oleh Ben Stiller. Saya berusaha untuk cukup ingat satu adegan itu sajalah, soalnya… dulu pertama nonton ini di tivi berbayar abal-abal sekitar 2014 apa 2015 ya. Pada masa itu aku punya jadwal harian menjemput sekalian pulang bareng pacar saya yang sebut saja namanya Chiori. Tempat kerjanya di salah satu mall, sambil nunggu jam lima, aku suka nyetrit di sekeliling, di dipenuhi lapak-lapak asah batu akik. Tapi nyetritnya pakai hape, pasti mereknya HTC karena waktu dulu aku HTC fanboy. Kenal kamera baru setelah putus dari sini ini.
Ah intinya ya begitu, setelah tiba di rumah sekitar pukul sembilan malam, aku suka nonton tivi. Kala itu masih pasang tivi berbayar abal-abal, tapi lumayan ada BeIN untuk nonton liga Inggris dll. Tayangan yang aku ingat, MasterChef Junior US, Solitary Gourmet, Django Unchained, dan tentu si Walter Mitty ini.
Makanya kalau dengar lagu “Space Oddity” saya agak sesak nafas dihantam kenangan haha. Namun itu tidak seberapa, adegan-adegan di film itu sangat membekas. Gimana enggak, sambil nonton sambil chat santai dengan pacar (mantan).
Ada pun adegan yang aku maksud adalah saat Mitty mengejar-ngejar fotografer bernama Sean demi negatif film untuk cover terbitan terakhir majalah terkemuka, yang diterbitkan oleh kantor si Mitty. Mulai dari pemandangan Islandia, hingga ke gunung es. Nah, si Sean ini sedang dalam misi memotret macan tutul langka yang konon sudah punah. Akhirnya Mitty menemukan dia, sudah berhari-hari di gunung. Dan macan tutul yang diincar oleh Sean pun muncul, dia mengamati pakai lensa tele dengan penuh takjub…
Aneh juga sih, di sana lensa tele kok buat foto satwa liar ya?
soalnya di sini kegunaannya untuk candid kaum dhuafa. Ehem.
Sambil ikut memandang, Mitty heran mengapa Sean tidak juga menekan tombol shutter. Lantas dia pun bertanya, “Kapan akan kau ambil fotonya…?” – Sean pun menjawab, “Terkadang aku tidak ingin memotretnya. Jika aku menyukai sebuah momen, aku ingin menikmati saja tanpa ada gangguan kamera. Bisa melihatnya hidup pun aku sudah merasa sangat senang.”
Itu… sangat keren. Kendati agak rancu juga toh kameranya sudah ada di sana dari tadi, nempel di tripod, kondisi pun nyala. Satu detik menjepret tidak akan mengubah apa pun. Tidak juga sih, haha… jika foto macan tutul langka itu tayang, para ilmuwan dan fotografer akan berbondong-bondong datang, kedaiaman si macan tutul akan segera sirna…
Saat ini… aku sering merasakan hal yang disampaikan oleh Sean.

Aku selalu berdiri di tepi jalan, kadang bergerak. Kamera sudah pasti on karena si Coolpix A ini kalau dimatikan, jarak zone focus pasti reset. Lebih baik aku kehabisan baterai daripada kehabisan momen. Tentu saja yang kuincar adalah ekspresi-ekspresi serta gestur unik dari mahluk bernama wanita dan kalau bisa harus cantik.
Dan kini… saat aku melihat wanita yang terlalu cantik melintas, kadang aku diamkan saja, tidak aku jepret. Bukan karena tidak bisa atau tidak berani… tinggal angkat kamera apa susahnya ‘kan…
Namun ya feeling si Sean sering muncul. Aku jadi lebih suka mengagumi saja… sambil bersyukur, dunia sudah mulai pulih. Gadis-gadis cantik itu tidak lagi pakai masker. Ini kemajuan yang sangat pesat untuk peradaban manusia. Satu-dua tahun lalu, saking lelahnya nyetrit di jalanan yang sepi dan kalau pun ada orang pasti pakai masker, aku sampai mengungsi ke acara wibu demi mencari kerumunan yang terpusat dan pasti banyak cewek.
Ya memang benar, cewek sih banyak, tapi pakai masker semua. Maka setelah aku amati, jalanan mulai agak kondusif lagi, segera aku mudik ke jalanan. Sekarang gadis-gadis cantik di jalanan sudah jarang yang pakai masker. Kalau pun ada, ya skip aja, masih banyak gadis cantik lain yang percaya diri dengan wajahnya kok. Di saat kini situasi jalanan sudah agak lumayan, di event wibu sih masih tetap pada pakai masker. Itu antara wajah aslinya jelek, lagi dikejar penagih hutang, atau berangkat sama selingkuhan.

Pokoknya, walau belum merata karena masih ada juga lokasi yang tak kunjung pulih, namun secara umum sudah sangat lumayan. Maka betapa tercela kalau aku tidak mensyukuri keadaan ini. Kita benar-benar tidak sadar sesuatu itu berharga, hingga hal tersebut hilang. Walau aku jadi bisa memotret dengan membabi buta, tapi gak lah… paling juga sepuluh jepret sekali hunting, itu pun gak semuanya bener. Masa bodoh saat ini baru bisa berburu di Braga, aku tidak masalah backgroundnya sama yang penting subjeknya berbeda. Daripada pindah-pindah tapi orangnya mirip semua lantaran pada pakai masker.
Betapa aku rindu dunia yang seperti ini… secara, aku sempat frustrasi untuk waktu yang sangat lama. Sekarang jalanan ramai lagi. Semoga pula aku tidak menakuti mereka dengan memotret satu meter di depan… bagiku ini lebih terhormat daripada pakai tele. Mereka manusia, bukan macan tutul salju Walter Mitty.
Selain bersyukur terhadap situasi memotret yang nyaman, aku juga mengajak bersyukur atas gear yang kita punya. Baru kejadian nih. Jadi kamera yang sudah tiga bulan kupakai ini (Coolpix A), dari awal memang sudah saya taruh di Tokopedia dengan harga yang tidak masuk akal. Laku syukur, kalau tidak pun yang tak apa. Eh tiba-tiba ada yang check out. Aku senang-senang saja sih, memang aku kalau pakai sebuah kamera tidak pernah lama-lama. Maka langsung aku konfirmasi lantas packing.
Harusnya esok paginya aku request pick up, soalnya dia pakai Paxel yang next day. Namun sepanjang malam, aku merenung. Nantinya aku ganti kamera apa. Kalau mau pocket APSC lagi jelas sudah jarang sekali di pasaran. Palingan aku beli Lumix mirrorless. Tapi untuk bisa mendapatkan set-up seperti Coolpix A 28mm begini sekurang-kurangnya aku harus beli GX85 dan lensa 14mm, itu saja sudah tujuh juta lebih. Lumix lebih cepat dan kaya fitur, tapi hasil foto biasa saja cenderung jelek, wah jauh sekali dengan si Coolpix ini.

Apa lagi sih yang aku cari? dengan kamera murah ini saja aku sudah bisa memotret dengan riang gembira… ya walau banyak anehnya juga si Nikon ini, tapi aku sudah cocok. Atas pertimbangan apa aku harus ganti apalagi ada acara nambah duit. Nanti ketika ingin lagi pocket APSC, bingung harus cari ke mana. Walau sebetulnya aku ada rencana beli Lumix GX9 dan pasti lensa Olympus 17/1.8 (keduanya sekitar 11-12 juta), tapi ya beli saja tanpa harus jual yang sekarang.
Akhirnya… untuk pertama kalinya, saya batalkan pengirimannya. Aku bongkar lagi packing bubble wrap yang susah payah dibungkus semalam. Ketika aku lihat lagi si Coolpix, dia seperti habis menangis karena sempat mau aku jual. Langsung aku cium kameranya… haha.
Sungguh. Kita memang harus banyak-banyak bersyukur.

