Akhirnya punya. Sejak lama aku ingin beli kamera ini, namun ada satu hal yang bikin selalu batal…
Jadi saya ini cukup tua untuk mengalami periode awal-awal kemunculan mirrorless. Dulu adanya ya Lumix, Olympus, Sony dan Samsung. Berikutnya Fuji bikin, lantas duo Canon dan Nikon menyusul… tapi EOS M dan Nikon 1 ya, bukan EOS R atau Nikon Z.
Nah dibanding Nikon yang pakai sensor 1″, Canon seolah agak lebih wajar karena sensornya APSC. Di atas kertas sih speknya menggoda, semisal dahulu EOS M3 kok kayaknya keren aja gitu 24mp APSC, di saat yang lain masih 16mp. Namun yang mengganjal untuk beli adalah populasi lensanya. Dahulu paling cuma ada… di bawah sepuluh lah. Dan bahkan hanya satu yang aku hapal yakni 22mm F/2. Selain itu kayaknya lensa zoom bukaan kecil deh.


Wah itu deal breaker sekali. Walau mungkin aku tidak akan sampai mengoleksi puluhan lensa, tapi ya masa selamanya stuck pakai 22mm. Bandingkan dengan mount MFT yang akhirnya kupilih, ada puluhan lensa dan terus bertambah seiring waktu. Apakah EOS M mount pun lensanya jadi banyak? boro-boro, sistemnya saja dimatikan oleh Canon.
Di antara beberapa biji kamera EOS M, dari dulu yang aku agak tertarik ya EOS M6. Keren aja gitu kelihatannya. Spek seolah oke, video foto sama bagusnya, desain juga cocok dengan saya yang tak butuh EVF. Apalagi, sekarang harganya bukan main terjangkau dan masih banyak yang jual “baru” (dengan tanda kutip tentunya).
—

Tetap saja tiap ada pikiran mau coba, langsung terbayang lensanya ya cuma bakal si 22mm itu haha, dan kalau bosan dijual lagi apakah ada yang mau.
Beruntung, saya tak harus susah payah beli. Lagi-lagi sahabat saya yang punya hobi beli kamera old stock yakni Mas Nanung, mengirimi saya secara cuma-cuma. Di Masa lalu saya pernah juga dikirimi Leica D-Lux 109 Audi Edition dan bahkan Sony RX1. Bayangkan… Sony RX1…! siapa coba yang mau keluar uang belasan juta untuk BNIB old stock kamera itu kalau bukan Mas Nanung haha.
Kali ini pun dia beli kondisi baru stok lama, garansi resmi DataScrip pula. Tentu pula setelah beberapa pekan dia bosan, dan kameranya dikirimkan ke saya, untuk dipakai sepuasnya. Tak pakai lama, kameranya sudah di tangan saya… lengkap dengan lensa kit serta fix 22mm. Anu… lensa kit tak akan pernah saya pakai ya, jadi semua foto di tulisan kali ini diambil menggunakan lensa 22mm.


Well, kesan pertama pegang sih… kamera ini ‘kan harganya sekitar lima juta “baru”. Dengan melihat bahwa Lumix GX85 bekas saja sudah digoreng enam juta, kok rasanya EOS M6 seolah sangat worth it ya. Saya kaget kalau tak ada yang melirik.
Tapi itu ‘kan kesan pertama… nah bagaimanakah kesan-kesan berikutnya…?
Desain, layar, menu.
Bagus loh. Made in Japan. Terasa sangat solid namun tidak berat kayak E-M5 misalnya. Ini sudah jelas plastik dan kayak masih ada ruang-ruang kosong, tapi padat kokoh. Gripnya sangat enak… lebih enak daripada Lumix atau Olympus mana pun yang ukurannya mirip-mirip.
Posisi tombolnya standar saja. Nah ini nih, feel cetrek-cetreknya agak kerasa murah. Roda dialnya kebanyakan… selain ada roda exp comp yang selamanya tak pernah saya sentuh, ada tiga roda dial lain. Biasanya satu untuk F satu untuk SS, nah satu lagi entah untuk apa toh tak bisa dikustom juga… jadinya ya untuk SS lagi.

Ada lubang untuk mic, layarnya juga sensitif sentuhan dan bisa selfie. Resolusinya sih biasa aja, sejuta dot. Tapi kalibrasi warnanya enak gak kayak Lumix atau Olympus E-PL, namun gak senikmat OM-D E-M5 II. Dan itu layar sentuh bukan cuma buat titik fokus, tapi sampai ke dalam menu pun bisa. Menyenangkan!
Ah, menunya bagus sekali… karena dulu saya pernah pakai G7X III, nah mirip lah. Kendati saya harus mengingat lagi, apa itu “servo”, “TV” dan semacamnya. Biasanya saya ngomel soal menu Olympus yang terlalu rumit, tapi setidaknya menu Olympus ngasih penjelasan tentang fungsi yang dipilih. Di Canon ini terlalu bersih, dan ya tak ada apa-apa lagi. Setting awal semua menu terjamah beres lima menit saking simpelnya.

Karena saya tidak menemukan cara untuk hapus beberapa foto sekaligus, maka sebelum pakai, saya cek dulu apakah ada update firmware di web Canon untuk kamera ini. Eh… dasar jual lepas, dari versi 1.0 cuma mentok di 1.0.1. Alias sekali doang dapat, seolah-olah kamera dia sudah sempurna dan tak ada yang mesti diperbaiki. Padahal… ah nanti saja dibahasnya.
Rasa memotret
Modenya banyak sekali, tapi selamanya mungkin hanya saya pakai dua : Manual dan kadang Movie.
Ya enak sih, kamera ini bisa dioperasikan pakai satu tangan saja. Semua hal yang dibutuhkan ada di tombol atau quick menu. Walau live view dia terlihat penuh sesak, tapi bisa kok diatur jadi agak bersih. Bahkan mau motret dengan kondisi layar padam pun bisa, namun jangan berharap bisa stealth kayak Ricoh GR karena suara shutter kamera ini berisik sekali… dan tidak ada electronic shutter.
Baterai kamera ini luar biasa awet, saya motret non stop dari jam 16:00 dan baru habis sekitar pukul 22:30. Sedikit catatan, jika pakai baterai third party maka tidak akan ada indikator baterai di kameranya. Pokoknya tahu-tahu habis haha. Lalu, charger originalnya akan menolak untuk mengisi baterai merek lain. Ini cukup menyebalkan sebenarnya.

IBIS tampaknya tidak ada. Buat foto sih gak masalah. Ada electronic IS tapi hanya untuk video. Jadi kalau mau IS beneran harus dari lensa, sayangnya 22mm tidak ada IS. Tapi sekali lagi, kalau untuk foto sih saya ga begitu perlu.
Baiklah… kalau penasaran bagaimana AF kamera ini… jawabannya adalah, biasa saja. Itu ketika siang hari ya, tapi kalau malam berubah jadi luar biasa… buruk. Makanya dari dulu saya gak peduli dengan Phase Detection segala macam, ini buktinya… Contrast Detection pada Lumix 2011 jauh lebih baik daripada kamera ini. Dan kamera ini harusnya tidak boleh seburuk ini… EOS M6 itu kamera tahun 2017 loh. Apa yang mau disalahkan? lensa? ‘kan cuma ada ini ini lagi lensanya.
Kalau lagi video, dia memang bisa pindah-pindah AF dari subjek ke objek lain secara otomatis, gak kayak Lumix yang butuh effort ekstra. Namun itu pun, tidak bisa dibilang cepat juga… mana agak ndut-ndutan. Nah jelas ya, tidak semua PDAF itu bisa disamaratakan cepat kayak Sony.
Semua itu diperparah dengan MF yang tidak ada meteran zone focus. Boro-boro ada satuan meter detail, sekadar gambar gunung (far) dan orang (near) pun tidak disediakan. Jadinya ya cuma mengandalkan peaking.

Hm… saya rasa sih kalau kamu motret yang santai di kondisi cahaya baik dan subjek yang diam, ya baik-baik saja. Sayangnya itu tidak berlaku bagi saya… entah mengapa, sepertinya berapa pun shutter speed yang kita atur, flange shutter dia seolah lambat dan berat. Sudah begitu ada sedikit delay. “Sedikit” itu kalau siang hari ya, karena begitu malam tiba…
Kendala utama
Satu hal yang baru kali ini saya rasakan, dan sangat fatal, adalah… shutter lag yang gak kira-kira. Entah atas dasar apa, kalau motret malam hari, dia baru menjepret DUA DETIK setelah tombol shutter dipencet. Tidak peduli mau pakai setingan apa, mau layar dijadikan terang kek, mau pakai F kecil kek, ISO 6400 kek, flash internal, eksternal atau tanpa flash, SAMA SAJA…!
Bahkan yang lebih gila… saya sudah pakai MF dan flash eksternal (Godox IM30) manual yang hanya satu pin. Secara logika, kamera sudah tak perlu mikir apa-apa lagi. Mau saya pakai setingan apa kek, kalau saya pencet ya jepret ngapain dipersulit. Fokus gak usah lagi mikir, TTL pun tidak karena manual tanpa ada hubungan dengan shutter speed dll. Tapi dia tetap saja menolak untuk langsung jepret. Satu-satunya cara untuk mengurangi delay adalah membidik sesuatu yang bercahaya semisal layar TV nyala.

Sudah saya ubek-ubek forum, dan ya memang begitu. Tidak ada cara mengatasinya, ini memang keterbatasan hardware. Atau tepatnya, mungkin kameranya sengaja dibuat bodoh supaya gak ada yang beli. Sumpah… astaga. Kamera mirrorless terlemah yang pernah saya pakai adalah Lumix GF3 (2011), dan tidak pernah saya temukan hal semacam ini. Jadinya saya bingung, selama bertahun-tahun bikin mirrorless, Canon ngapain aja sih. Ini tidak seperti keterbatasan, melainkan cacat yang disengaja.
Jelas… gaya foto saya adalah foto malam hari di tengah kerumunan yang penuh gerakan tak terduga, yang mana setiap detik sangat berharga. Amburadul semua. Kadang malah saya harus terus-terusan half press shutternya supaya si kamera minimal “siap jepret” , namun ya tak begitu banyak membantu sih. Dua detik itu sudah cukup untuk bikin subjek incaran saja berpindah sejauh lima meter. Itu sangat gila… frame yang harusnya saya dapat, rasanya kayak dicuri.

Tanpa alasan yang jelas, mungkin ketika kameranya mendeteksi lingkungan sekitarnya gelap – atau mungkin saat jam internal menunjukkan malam hari, dia langsung kayak ogah-ogahan. Barangkali kamera ini hanya didesain untuk motret siang hari… Kalau maksa mau malam hari, ya harus subjek yang diam.
Sudah saja pakai digicam 300rb…!
Gara-gara segala delay itu, saya kehilangan sekitar 50% frame. Entah kameranya menolak menjepret, atau fokusnya tidur. Ini sudah di luar batas. Saya paham, gaya foto saya agak menyulitkan, tapi faktanya kamera lain yang jauh lebih tua kok bisa-bisa saja.

Simpulan
Saya sampai lupa bahas hasil fotonya. Ya selama fotonya berhasil, hasilnya bagus. Hanya saja kamera ini tidak cocok dengan saya yang 90% fotonya malam hari, sudah gitu dengan cara motret yang agak menantang, makin makin deh kamera ini.
Sepertinya EOS M sistem memang sudah cacat dari awal. Karena kalau memang dasarnya sudah bagus, Canon tak perlu repot-repot restart jadi EOS R. Tidak bisa juga dibilang jadi EOS R karena full frame toh ada kok EOS R yang APSC kayak EOS M.
Entahlah… kamera ini harganya lima jutaan. Kadang seolah “baru” tapi kayaknya sih enggak. Dengan pilihan lensa yang sedikit (dan tetap sedikit walau sudah ditambah TTartisan dan semacamnya), cara pakai yang tidak enak, serta masa depan yang sudah tertutup. Ah… saya sih tidak merekomendasikan.

Di awal saya bilang, dengan melihat Lumix GX85 yang bekasnya sudah digoreng, maka EOS M6 “baru” seolah sangat worth it. Tapi jika kita cermati, ada alasan mengapa harga bekas Lumix GX85 semakin naik sedangkan EOS M6 “baru” semakin murah dan berlimpah di pasaran. Soalnya walau harganya cuma lima juta, tapi nilai kamera ini hanya setengahnya. Sebab, dia cuma befungsi setengah dari kamera lain alias cuma jalan kalau siang. Begitu malam, selesai… atau mungkin kamu sama sekali tidak akan mencapai malam, sebab daya tahan baterai kamera ini pun jauh dari membanggakan.
Sebetulnya saya dipinjami kamera ini ya sekalian kalau mau dijual boleh saja. Tapi tidak berarti hasil dari pengujiannya harus saya bagus-bagusin biar laku. Kalau jelek ya jelek saja. Bahkan bukan cuma jelek, tapi jelek sekali. Saya sampai ingin marah tiap kelewat momen hahaha… kok kepikiran gitu ya dia, ketika AF sudah agak lumayan, eh malah ditambahin masalah baru.
Namun kendala di atas mungkin hanya berlaku untuk saya. Kalau kamu sukanya motret saat pagi atau siang, ya kamera ini baik-baik saja. Sayangnya, kalau ada teman yang mau beli kamera dengan budget lima juta, sama sekali tidak akan saya sarankan beli kamera ini, atau EOS M lainnya yang barangkali lebih sinting lagi.
Mending belikan Lumix GX85, Olympus E-M5 II atau Fuji X-E3. Kamu bakal dapat kamera yang normal-normal saja dengan pilihan lensa yang beragam. Untuk memilih EOS M6, kamu harus kaya sekali atau kurang kerjaan sekalian. Mau dibeli atau tidak, sistemnya memang sudah mati. Barang yang tersisa di pasaran tinggal stok lama atau unit daur ulang. Mending investasi di sistem yang masih punya masa depan deh. Kalau ngotot mau Canon, ya ambil EOS R series.

Kompromi pada kamera ini terlalu ekstrim untuk ditoleransi. Produsennya saja tidak ada upaya apa-apa, semisal kasih update firmware. Rugi dong… mending beli kamera lain yang bisa digunakan 24 jam, bukan dibatasi 12 jam saja. Lima juta itu duit banyak, lebih dari cukup untuk beli kamera lain yang waras, bukan yang gila dari lahir hahahaha.
Pasti semisal kamu penasaran dengan kamera ini, kamu bakal cari review di Youtube, dan jangan heran ketika reviewer top seperti Kai Wong, Chris Niccols, Ted Forbes dll yang biasanya rutin membahas kamera, kok tidak pernah ada video tentang kamera ini. Entah memang tidak dipinjami unitnya, atau mungkin pernah tapi videonya harus tidak tayang saking parahnya produk ini. Makanya video review yang banyak beredar ya dari orang Indonesia, karena di sini Canon sangat disukai, apalagi “unit baru” ehem masih banyak masuk.
Jangan berpikir EOS M adalah hidden gem. Sebaliknya, dan sayangnya, ini adalah bom waktu.


