Sampai Kapan Begini Terus?!

Sekitar tahun 2015-16, aku lagi seneng-senengnya turun ke jalan. Hampir tiap hari nyetrit. Kameranya pakai Ricoh GR II, motretnya stranger cantik yang melintas hilir mudik. Rasanya gembira sekali, aing macam gabungan Daido Moriyama dan Tatsuo Suzuki aja pokoknya. Pulang bawa foto banyak, edit monkrom seperti biasa, iklim upload juga asyik karena Instagram masih tempat yang menyenangkan bagi fotografer…

Ketika lagi edit foto, kadang aku buka foto-foto Tatsuo maupun street tog Jepang lainnya, sekadar cari inspirasi. Aku lihat banyak sekali sosok yang pakai masker flu. Apakah udara Tokyo sekotor itu atau bagaimana, aku kurang paham. Tapi yang jelas, melihat sosok wanita penuh tergesa-gesa dengan latar belakang gedung-gedung di Shibuya serta jalanannya yang penuh sesak segala manusia, sosok si cewek yang wajahnya tersembunyi di balik masker, hanya menyisakan matanya yang seolah berbicara nan menyiratkan segala cerita.

Aku terkesima. Kala itu di sini tidak ada orang yang pakai masker, kecuali Om Mobi. Maka kalau lagi nyetrit, misalnya aku berhadapan dua pilihan : ada dua cewek (seolah cantik), yang satu bermasker sedangkan satu lagi tidak, maka aku akan berjalan lantas snap yang pakai masker, karena unik…

salah satu spesies maskerus pertama jauh sebelum pandemi zombie. foto tahun 2015

“Mudah-mudahan yang kayak gini agak banyakan…” gumamku kala itu.

Xian ying beberapa tahun kemudian doaku menjadi nyata, malah dikabulkan dengan cara yang terlalu spektakuler. Setahun dua tahun masih maklum, makin ke sini sudah tidak lucu lagi. Aku jadi malas nyetrit. Sudah atmosfir dan lokasinya begitu-begitu saja, sepi pula, dan terparah ya orang-orangnya terlihat sama.

Aaaah, aku rindu Bandung yang dulu.

Percaya atau tidak, saat tulisan ini dibuat, aku sudah tiga bulan tidak “nyetrit”. Tidak ke Braga, tidak juga ke lokasi lainnya. Aku sampai bikin slogan sendiri untuk mengecam diri sendiri, bunyinya “perbanyak gear kurangi motret” , saking aku tidak henti beli kamera atau lensa, tapi jarang motret. Praktis aku cuma angkat kamera kalau ada event cosplay atau Jejepangan, yaitu sekitar dua pekan sekali. 

Di masa lalu kalau aku ke event Jejepangan, yang aku saksikan adalah band-band dengan lagu keras. Oh juga ada aksi ngobel-ngobel mulut sendiri sampai berdarah-darah oleh sang vokalis. Apa ya namanya? pokoknya seru. Sekarang adanya cuma free hug atau joget bareng idol group. Entahlah, tapi masa bodoh. Aku ke sana untuk memotret sosok-sosok yang cantik, boleh dengan pendekatan street, boleh juga full portrait.

Aku ke acara seperti ini untuk melarikan diri dari jalanan yang makin tidak karuan. Tapi astaga ya Tuhan, kenapa banyak sekali cosplay Rikimaru. Semuanya ninja. Pakai masker. Bahkan Nahida dan Collei dari Genshin pun pakai masker, sedang ada kebakaran di hutan Sumeru atau bagaimana sih…

Pertama-tama, aku tidak akan bilang kalau masker itu untuk menyembunyikan wajah jelek. Tidak pernah dan tidak akan pernah. Tapi ya ampun, ‘kan pandeminya sudah selesai, udahan dong pakai maskernya… apa sih poin dari susah-payah berdandan maksimal jadi tokoh anime kalau ujungnya dirusak dengan masker Rp1500,-. Ini seperti beli Leica lantas dipasangi silikon karet… (walau saya tidak pernah lihat user Leica seperti itu, kalau Sony sih sering). 

Kedua, aku tidak akan mengejek atau bersikap lain ketika ada cewek berani lepas masker lantas tidak sesuai ekspektasi. Aku akan tetap mengapresiasi dan berterima kasih… karena aku hanya ingin memotret cantik alami kalian… (dan kalau ada mesin waktu, aku akan balik ke 2016 untuk menghajar diri sendiri yang dulu). Jadi harapanku tuh… datang, nemu yang cantik, ajak portrait semoga dia percaya diri untuk lepas masker, nah nanti ke depannya kita foto non cosplay sebagai manusia normal… tentu aku bayar karena aku anti colabs. Tapi ini susah sekali diajak buka masker, dan aku tidak mau memaksa karena itu prinsip hidup masing-masing. Minimal aku mau tau wajah aslinya, aku tanya Instagramnya, dan Allahuakbar di feed dia pun pakai masker semua. Kemana wajah aslinya… gak cewek gak cowok, sama.

Bang elu kan ga pernah pajang foto muka sendiri…” kalian pasti komen begitu dalam hati. Tepat sekali, karena saya gak suka jadi subjek foto, saya sukanya menjadi orang yang mengambil foto. Tapi ketika engkau begitu narsisnya hingga seisi feed muka kamu semua, dan masih pakai masker… itu kengerian yang sangat nyata. Bagaimana aku bisa mengenali kalian kalau kita bertemu. Mengenali wajah saja sudah sulit, apalagi hanya berpedoman pada mata dan alis.

Bang kenapa gak portrait private session yang bayar aja?” tanya kalian lagi. Ya ini dalam rangka usaha saya cari model untuk portrait tertutup. Walau saya tidak kaya-kaya amat untuk keluar ratusan ribu sekali foto, tapi tak apalah. Kenyataannya ‘kan tidak semudah itu, jangankan di ruang publik, di sosmednya sendiri pun pada jadi brand ambassador Sensi kok…

Tapi tidak semua cosplayer di acara cosplay pakai masker kok. Paling cuma 95%. 

“Cuma” …

Walau demikian kalau lagi di event, aku tidak akan membeda-bedakan sikap kok. Kalau kostumnya bagus, pasti aku potret. Apalagi jadi Nilou atau Yoimiya, waifu saya banget. Paling ya sedikit diubah aja kalimat penutupnya, kalau sama yang gak mau buka masker, aku akan bilang “terima kasih“, sedangkan pada yang gak pakai masker aku akan bilang “terima kasih sudah mau menampilkan pesona kecantikan wanita Indonesia…

Mana yang kira-kira hasil fotonya lebih bagus? ya kalian pikirkan saja sendiri, haha. 

Kendati begitulah realitanya, setidaknya walau hanya di acara dengan ruang lingkup kecil, aku ingin sekali merasakan lagi keceriaan memotret. Ini ego saya, harapan saya, curhat saya, yang pasti tak ada artinya.

Kalau di jalanan sih, aku udah pasrah. Makanya untuk kalian yang sudah percaya diri tampil tanpa masker, dari hati kecilku yang paling jahat, ijinkan aku untuk berterima kasih…

Btw saya tidak pakai masker kalau di tempat umum. Karena tidak ada sesuatu yang mengharuskan untuk, pun saya tidak sedang diincar oleh debt collector. 

Aku… hanya membayangkan, kapan semua ini akan berakhir. Aku paham rasanya keluar rumah tanpa celana dalam. Tapi kalau sampai tidak berani keluar tanpa masker… rasanya aku benar-benar ingin pindah ke luar negeri. Jangan-jangan di Tokyo sendiri, selaku lokasi pelopor orang-orang bermasker, sudah bebas-bebas saja. Bukan bebas dari segi aturan, melainkan pikiran mereka sudah bebas dari ketakutan dan kegelisahan (apapun bentuknya itu) akibat segala mimpi buruk ini…

Aku rindu… dunia yang dulu. Aku juga rindu kalian yang dulu, yang cantik apa adanya…

Salam.