Belakangan ini saya merasa, kok jarang lihat lagi foto-foto dari teman saya (disebutnya “warga binaan”). Sudah susah payah saya follow, anda ini macam cewek remaja saja yang feednya kosong. Untung masih ada foto profilnya.
Saya cek profilnya, ya memang jadi jarang tapi ada sih sedikit-sedikit cuma tidak lewat saja. Kayaknya saya keseringan like atau melototin lama foto Tottenham, yang memang sedang gacor-gacornya, jadi foto lain tidak dimunculkan, kecuali saya ubah tampilan feed jadi “following”. Kendati demikian, pas saya tanya satu-satu, memotret sih mereka masih rutin, tapi malas upload…
Saya tanya lagi, malasnya kenapa. Jarang ada yang lihat apalagi like katanya. Dia tahu bakal saya ceramahin bahwa like itu racun, makanya segera dia salahkan alograritma Instagram yang makin ke sini, makin ke sana…
Itu memang benar… platform kesayangan anda itu memang makin ke sini… ya makin ke sana. Namun sebagai fotografer yang karyanya dalam bentuk fotografi, jika hanya itu platform yang kamu punya, ya terima saja dan kalau bisa maksimalkan. Saya pun sama kesalnya, dan saat tulisan ini dibuat, posisi saya lagi shadowbanned (post saya akan disembunyikan, jangankan untuk orang asing, bahkan untuk follower.) lantaran tempo hari saya upload foto yang anti Israel. Sampai sekarang pun fotonya masih ada kok, masa bodoh.
Kegilaan Instragam itulah yang bikin saya merasa perlu untuk punya platform sendiri yang bebas, kumaha aing istilahnya. Makanya saya bikin blog ini. Juga menjadi salah satu alasan, menurut saya sih fotografer harus punya website sendiri. Namun demikian, jangan juga melepas sama sekali Instagram. Karena bagaimana pun salah satu sifat kesenian adalah ingin diapresiasi, dan publik berkumpulnya memang di Instagram. Masa bodoh dengan jumlah like, itu pasti saya sembunyikan. Tapi jangan juga foto saya yang disembunyikan.

“Sekarang feed malah isinya reels street fotografer Tiktok, Kang. Sok-sok candid pakai tele bla bla bla…” keluh salah satu warga binaan saya, sebut saja namanya Neuvilette. “Banyak pula yang like…” semburnya.
Ya kalau itu sih gimana ya, terserah lah haha. Dari dulu sampai sekarang, di bidang apapun di belahan dunia mana pun, yang “populer” ya pasti lebih populer daripada yang idealis. Mau sampai kapan pun, foto Tatsuo Suzuki akan kalah likenya dibanding foto portrait bokeh dan bahkan hasil AI. Makanya, like tidak akan pernah jadi acuan saya. Like itu subjektif dan kadang berdasar pada suka atau tidak dengan sosoknya, bukan fotonya. Lebih parah lagi, juga ditentukan dengan muncul tidaknya foto kita di feed orang. Seandainya rata-rata orang sekali scroll feed sepuluh foto lalu out, nah foto kamu di urutan 200 untuk akhirnya muncul, ya sampai kapan juga bakal kelewat, ujung-ujungnya sepi.
Harus dicatat, saya tidak punya niat menyingkirkan foto-foto atau reels “populer”, biarkan saja, masing-masing. Tujuan saya adalah menyelamatkan warga binaan saya, yang hanya bermodal platform gratis untuk memajang karya, supaya tidak tenggelam dan makin hilang. Sedih juga saya seandainya makin susah untuk menikmati karya-karya street fotografi beneran.
Ada dua cara yang akan saya jelaskan dengan sangat rinci. Ini belum tentu membuat foto-fotomu mendadak brutal like ribuan, tapi minimal jadi muncul, kita lawan lah kegoblogan alogaritma ini…

1. Ads. Beneran, saya akan menyuruh kamu “boost post” pakai iklan. Jadi begini, saya ‘kan bisa lihat insight foto sendiri di Instragam, jadi bisa melihat ramai-tidaknya suatu foto. Tapi kalau like, tetap saya hidden, karena semua foto saya nilainya sama, jumlah like tidak berhak menjadi juri. Nah, pekan lalu saya berencana upload foto itu… cewek yang pegang poster Israel lagi dibakar, cewek bukan sembarang cewek, cantik banget aktris film nusantara itu. Direncanakan Minggu petang, prime day prime time dong. Tapi apa daya, baru lima menit tayang, insight tidak maju. Saya cek di hastag, wah ga muncul foto saya. Jelas dong, auto dibegal sama IG, mana suka dia saya jelek-jelekin negara Wahyudi…
Lantas saya penasaran. Semisal saya boost pakai ads, bakal dia accept atau tidak. “Idealisme” dia pasti pro Zionis… tapi saya memahami, Instagram itu mata duitan luar biasa. Dan kalau pun dia accept, apakah lantas dari tadinya disembunyikan, itu foto saya apa bakal berbalik malah dia push sesuai target jangkauan?
Singkat cerita saya pasang lah. Tarif termurah adalah Rp15.000 untuk sehari, ditambah pajak 10% sekitar Rp16.500. Gampang juga bayarnya, tinggal pakai Gopay atau BCA. Mau lebih banyak juga bisa, jangkauan akan makin luas. Tapi ga perlu, ini ‘kan cuma buang penasaran. Sejam kemudian mulai tayang, dan insight langsung ngebut. Jadi sebelum pasang iklan tuh kita bisa pilih, mau target jangkauan sesuai rekomendasi dia, atau mau manual. Saya pilih manual… cuma saya pilih target audiens yang suka street fotografi, black and white, 28mm, tinggal di Tokyo dll dsb. Itu Rp15.000 bakal menghasilkan 4.200 jangkauan, artinya post yang kamu iklankan akan dipaksa muncul di feed 4.200 orang dan bukan sembarang orang, hanya yang sudah diklasifikasikan berdasar kriteria yang dipilih… walau tetap saja mesti ikut alogaritma dia, tapi ini agak lumayan lah. Dan berdasarkan pengalaman saya membaca insight, itu selalu terpenuhi dan bahkan lebih…
Jadi jangan heran kalau post kamu tenggelam di feed, karena yang didahulukan untuk muncul ya yang bayar. Soalnya itu saya punya foto, memang dia push. Terbukti lah, yang like saya gak kenal tapi saya klik, memang orang beneran. Yang follow ikut naik, komentar, pokoknya interaksi terjalin, dapat audiens baru. Dengan sedikit “doping”, malah akan terbentuk pola-pola interaksi yang akhirnya ikut mendorong pertumbuhan alograrita post tersebut.
Ada sedikit cerita… saya punya teman, sebut saja namanya Guoba. Dia sebagai fotografer tidak handal-handal amat, sebagai pribadi pun kurang beken lah. Tapi supaya terlihat keren, dan mudah untuk mengajak bocil-bocil wibu untuk diajak foto, dia selalu menyuntik like. Jelas itu bot, bukan orang asli. Foto-fotonya yang biasa saja jadi terlihat luar biasa lantaran ada angka 1.500 like bertengger di atas caption. Followernya pun jangan ditanya, semuanya robot. Yang penting terlihat gagah, demi memuluskan ambisi bikin bocil-bocil kesengsem dan mau untuk difoto.
“Kalau akang mau, setiap upload pakai tools saya aja… biar likenya banyak…” ujarnya menawari.
“Gak usah… makasih.” jawab saya.
“Biar keren… like ribuan… gratis buat akang, pakai aja…”
“Gini ya… itu semua bot ‘kan?”
“Betul…”
“Nah, apakah para bot itu nanti akan beli buku fotografi saya? menghadiri workshop atau hunting bareng saya? atau bakal menyapa saya ketika bertemu di jalanan?”
“Ya enggak lah.. namanya juga buat sosmed.”
“Itu dia, pemahaman kita berbeda. Tujuan akhir saya adalah dunia nyata, bukan dunia maya.”
Guoba terdiam. Sebetulnya dia baik anaknya, cuma agak absurd. Saya ini bisa dibilang filsuf, jangan diajak yang konyol-konyol begitu lah. Walau murah atau gratis sekali pun, apa gunanya kalau tidak nyata dan tidak organik.
Eits…. memangnya pakai ads itu organik…? baiklah, begini perumpaannya.
Saat ini, Instagram itu seperti sebidang tanah kering yang susah sekali kalau mau ditanami mawar atau anggrek, terkontaminasi racun. Palingan yang bisa tumbuh dengan mudah ya semak belukar ga berguna… seperti video reels aneh-aneh itu.
Menyuntik like pada post yang sepi itu seperti menusukkan mawar plastik ke tanah kering itu. Dari jauh terlihat bagus, tapi itu bohongan, dan karena itu mawar plastik, tidak akan pernah tumbuh. Tapi untuk ads, itu seperti kita menaburkan pupuk dan cacing ke tanah… dibuat gembur dulu tanahnya biar yang ditanam pun subur, akhirnya akan tumbuh dari akar hingga nantinya berbunga. Sampai di sini bisa dipahami?
Apakah Rp15.000 untuk membangun audiens itu worth it? saya bilang sih, iya. Apalagi kalau majang foto cuma sekali seminggu kayak saya, kenapa tidak… setara beli Garfit setengah bungkus, efeknya dapet audiens baru, sesuai target pula. Coba carikan ahli marketing mana yang menentang pasang iklan? lagian, dengan dapat audiens baru sesuai yang ditargetkan, sangat pas dengan salah satu prinsip karya seni, yakni ingin diapresiasi. Apresiasi bukan melulu like ya, ga mesti saya ulang-ulang. Dari niatnya sekadar biar tidak tenggelam, efeknya malah jadi mulai dan semakin dikenal, baik untuk komersil atau tidak, ya sangat layak untuk beriklan… apalagi harganya sangat murah.
Ini solusi yang… jauh dari ideal, tapi yang paling mendingan. Sadarkah kamu, bahwa jika sebuah layanan itu gratis, maka produknya adalah kita selaku pengguna. Saya punya prinsip, kalau yang gratis tidak membahagiakan, ya keluarkan uang untuk beli kebahagiaan sendiri. Apa sih yang gratis di dunia sekarang ini… cinta saja bayar.

2. Hastag. Saya tidak akan menjelaskan hal-hal yang klise karena kalian sudah pada tahu. Tapi ada satu hal yang saya temukan hasil dari pengamatan…
Pasti sudah pada ngeh kalau sejak beberapa bulan lalu, fitur explore via hastag jadi agak sedikit aneh. Dulu ada “top post” dan “recent post”, betul ‘kan? jadi kita bisa filter post paling populer (menurut si Instagram) dan post terbaru yang pakai hastag itu. Ada sahabat saya yang menggerutu, dia itu trophy hunter alias pemburu hadiah di lomba-lomba foto Instagram (sama sekali bukan hal yang negatif ya) hahaha. Salah satu trik dia, ya post di menit terakhir supaya setidaknya kalau juri filter foto-foto entry via “recent post”, dia paling atas. Semisal entry ada ribuan foto dan ternyata jurinya pemalas seratus foto sudah nyerah, minimal foto dia sudah ada peluang dipilih, karena duluan dilihat. Ah itu pembahasan lain lah, bisa dibaca selengkapnya di sini.
Karena saya tidak ada minat juga ikut lomba atau menyarankan kalian ikutan lomba, hal di atas untuk pembukaan saja, tapi semoga para juri jadi lebih bekerja keras dan cerdas. Namun demikian ya saya juga merasakan repotnya, kalau mau repost foto untuk #STORYOFTHESTREET karena yang muncul foto dia lagi dia lagi.
Tapi tahukah kamu, perubahan pola hastag yang sekarang, menyimpan celah? ini di antara kita saja ya…
Meski kita sudah hapus semua hastag di caption,
foto kamu akan tetap ada di explore untuk hastag yang bersangkutan.
Baru tahu ‘kan haha… tapi entah kapan mungkin kalau dia sadar, bakal dibetulkan.
Bagaimana cara mencuranginya? ya… kalau mau rapi tanpa hastag, pakai saja sekali lalu hapus. Tapi jika mau ekstrim… satu post ‘kan maksimal 30 hastag. Beres upload, hapus aja, ganti pakai 30 hastag lain, begitu seterusnya sampai ribuan kali atau bosan. Efeknya, foto kamu bakal ada di segala macam hastag. Otomatis yang lihat semakin banyak, dan kalau jumlah like cukup memadai, nanti mungkin naik ke “recent top” atau bahkan “top post”. Gila ya… haha.
Namun saya tidak pernah melakukan ini karena merepotkan dan ngapain. Walau organik juga sih tapi rasanya kayak serakah aja. Jatah 30 hastag saja kadang tidak saya pakai. Tapi kalau kamu memang ingin, dan kebanyakan waktu luang… ya terserah saja, saya sih lebih suka pakai ads lantaran lebih simpel dan elegan.

Itulah dua hal yang bisa saya sarankan. Lebih kepada ads sih, kalau cara kedua, lambat laun bakal dibetulkan sama Instagram… dan juga masih harus mengikuti pola alogaritma dia yang menyebalkan. Ada juga cara lain yang lebih umum seperti ngetag-ngetag dan mention akun beken sebanyak-banyaknya… itu tidak pernah saya lakukan sama sekali, jangankan akun brand kamera, akun modelnya saja tidak pernah saya tag haha. Saya tidak mau dikenal dengan cara menumpang nyempil-nyempil di profil orang. Enak saja… saya ini Bezita sang pangeran Saiya…
Sekian. Saya harap street fotografi yang beneran, akan selalu eksis apapun platformnya. Dalam hati kecil, tentu saya akan selalu mengenang tahun-tahun sekitar 2015, saat Instagram masih surga bagi para fotografer. Tapi namanya jaman terus bergerak, lagipula itu platform punya dia, kita hanya bisa mengikuti. Tentu lakukan dengan cara yang strategis… seperti kata Christian Horner.
